Kamis, 19 November 2009

AKAR DARI KARMA DAN REINKARNASI


Jiva yang terikat di dunia material ini karena dikhayalkan oleh tenaga maya atau triguna, mempersamakan diri dengan badan material baik yang halus maupun kasar. Oleh karenanya mereka melakukan berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk kepuasan indria-indrianya dan dengan berbagai cara berusaha menguasai objek-objek material. Dan oleh karenanya mereka melakukan berbagai macam kegiatan berdosa yang mengantarkannya memperoleh berbagai macam jenis kehidupan. Dalam Padma Purana diberikan pernyataan rinci tentang berbagai jenis kehidupan makhluk hidup yang berbeda sebagai berikut :
1. Jalaja-nava-laksani, 900 ribu jenis bentuk kehidupan yang hidup di air
2. Sthavara laksa-vimsati, 2 juta dalam bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya
3. Krimsyo rudra sankhyakah, satu juta seratus jenis makhluk hidup kecil (serangga, reptil dan binatang melata lainnya).
4. Paksinam dasa laksanam, 1 juta jenis burung-burung
5. Trimsah-laksani pasavah, 3 juta jenis kehidupan binatang
6. Catur laksani manusah, 400 ribu jenis manusia

Semua jenis bentuk kehidupan tersebut di atas termasuk manusia dibedakan atas dasar tingkat kesadarannya, yang dapat dibagi sebagai berikut yaitu :
Delapan jenis bentuk kehidupan di bawah manusia dibagi atas dua tingkat kesadaran yaitu:
1) acchadita/abruta cetana atau kesadaran tertutup dan
2) sankucita cetana atau kesadaran yang mengkerut.
Adapun 400 ribu jenis kehidupan manusia digolongkan pada tiga tingkat kesadaran yaitu :
3) mukulita cetana, kesadaran yang mulai membentuk kuncup
4) vikacita cetana, kesadaran yang mulai mekar, dan
5) purna vikacita cetana, kesadaran yang mekar sepenuhnya

Setelah melalui proses evolusi ataupun perpindahan dari satu badan ke badan yang lain dari jenis kehidupan yang rendah ke jenis kehidupan yang lebih tinggi selama 8 juta kali, akhirnya atas karunia Tuhan dan hukum alam, sang makhluk hidup memperoleh bentuk kehidupan sebagai manusia. Hal ini dijelaskan dalam Brahma-vaivarta Purana:

asitim caturas caiva laksamstan jiva-jatisu, brahmadbhih purusaih prapyam manusyam janma-paryayat
Artinya : ada sebanyak 8.400.000 bentuk kehidupan, dan sang jiva akan mendapat bentuk badan kehidupan manusia setelah mengalami perubahan atau evolusi ataupun perpindahan badan sebanyak 8 juta bentuk kehidupan lainnya di bawah manusia.

Karena itulah bentuk kehidupan manusia sangat jarang dan sulit dicapai – durlabham manusa janma, di samping itu kehidupan manusia ini tidak kekal atau sementara namun sangat bermakna – tad apy adhruvam arthadam.(Bhag.7.6.21) Kehidupan manusia ini khususnya dimaksudkan untuk mengenal tentang keberadaan Tuhan dan identitas diri kita serta kewajiban-kewajiban dalam hubungan antara jiva dengan Tuhan, dengan kata lain menempuh jalan untuk kembali kepada Tuhan. Jika tidak demikian maka akan jatuh lagi dalam berbagai jenis kehidupan yang lebih rendah dan melanjutkan evolusi sesuai karma kita masing-masing. Bahkan selama kehidupan manusia inipun kita sudah mengalami proses perpindahan badan dari bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak menjadi dewasa, dari badan dewasa merosot menjadi tua lagi dan akhirnya meninggal.


Bhagavad-gita 2.13 :
dehino ‘smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara tatha dehantara-praptir dhiras tatra na muhyati
Seperti halnya sang roh terkurung dalam badan, terus menerus mengalami perpindahan di dalam badan ini, dari masa kanak-kanak sampai masa remaja, sampai usia tua, begitu juga sang roh masuk ke dalam badan lain pada waktu meninggal. Orang yang tenang tidak bingung karena penggantian ini.

Bhagavad-gita 2.27 :
jatasya hi dhruvo mrtyur dhruvam janma mrtasya ca tasmad apariharye ‘rthe na tvam socitum arhasi
Orang yang sudah dilahirkan pasti akan meninggal, dan sesudah kematian, seseorang pasti akan dilahirkan lagi. Karena itu, dalam melaksanakan tugas kewajibanmu yang tidak dapat dihindari, hendaknya engkau jangan menyesal.

Jadi segala aktivitas dalam kehidupan sebagai manusia hendaknya dimaksudkan untuk menghentikan proses perputaran kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit melalui proses pengabdian suci cintakasih rohani kepada Tuhan, Sri Krishna. Jika kita membentuk kehidupan kita sedemikian rupa untuk selalu sadar akan Tuhan, dan mengembangkan cinta bhakti dan pelayanan kepada-Nya, maka atas karunia Tuhan yang tiada taranya, pada saat meninggalkan badan ini kita dapat berpulang ke dunia rohani dan tidak akan pernah lahir lagi ke dunia sementara yang penuh penderitaan ini, dukhalayam asasvatam.

Senin, 16 November 2009

TUHAN DAN JIWA, SAMA DAN JUGA BERBEDA


Walaupun jiva dapat dipengaruhi oleh maya, namun tidak ada setitikpun penyusun duniawi di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tad tac-cakti parinama vada (teori perubahan energi) yang dijelaskan oleh Maharishi Vyasadeva dalam Vedanta Sutra, dapat dimengerti bahwa sekalipun jiva dapat jatuh dalam pengaruh maya, namun jiva sama sekali bukan hasil ciptaan maya-shakti. Oleh karena itu jiva dikatakan berbeda dari maya. Sripad Madhvacarya menjelaskannya sebagai jiva-jada bheda. Demikian pula jiva juga tidak sama dengan brahman, Kesadaran Yang Mahabesar (brhad-cit). Sehingga jivatma tidak akan pernah sama dengan Tuhan (brahman) ataupun menjadi brahman. Dia tetap berbeda dari brahman, bahkan dalam tingkat pembebasan sekalipun. Inilah brahma-jiva bheda. Brahma Yang Tertinggi adalah satu dan tiada dua-Nya. Beliau adalah Prinsip Kebenaran yang Mahamutlak (advaya-jnana-tattva). Sekalipun Beliau tunggal namun kekuatan-Nya yang tiada dapat dipahami penuh keanekawarnaan dan tenaga rohani-Nya (cit-shakti) adalah tenaga Beliau yang paling sempurna, tiada bandingannya.

Namun jiva sebagai pancaran dan percikan-Nya ada dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para jiva ini memiliki jati diri masing-masing yang juga kekal. Antara jiva satu dengan jiva yang lain adalah berbeda, jiva-jiva bheda. Begitu pula kekuatan duniawi yang mengkhayalkan juga beranekawarna karena merupakan pantulan yang terputar balik dari tenaga rohani yang asli. Dengan demikian ada perbedaan antara energi duniawi yang satu dengan energi duniawi yang lain, jada-jada bheda. Lima perbedaan ini (panca-bheda) diuraikan oleh Sripada Madhvacarya, merupakan titik tolak dari dvaita-vedanta.

Sekalipun ketiga kekuatan ini berbeda, namun tiada lain merupakan manifestasi dari krishna-shakti. Kemanunggalan di sini dapat dijelaskan hanya melalui suddha-advaita vedanta yang diuraikan melalui tad tac-cakti parinama vada yang diajarkan oleh Maharishi Vyasadeva dan para Acarya. Konsep bheda (dvaita) tidak mampu menjelaskan keseluruhan kebenaran dengan sempurna. Sedangkan konsep abheda (advaita) yang mutlak juga tidak benar. Oleh karena itu keduanya, bheda dan abheda yang diwujudkan oleh kekuatan Krishna yang tiada dapat dipahami (acintya-shakti), itulah yang tepat. Inilah acintya bheda-abheda tattva.

Sekarang apabila maya tidak ada urusan dalam pembentukan svarupa dari jiva, apakah cit-shakti yang menciptakan para jiva dengan sifat kemarjinalannya (tatastha-svabhava) itu? Sama sekali tidak. Karena cit-shakti merupakan shakti yang sempurna dari Krishna, sedangkan para jiva terwujud dari jiva-shakti Krishna. Cit-shakti adalah kekuatan yang lengkap dan sempurna, cit-shakti juga dikenal sebagai svarupa-shakti, energi yang mewujudkan ketuhanan dari Tuhan Sendiri, sedangkan jiva-shakti adalah manifestasi kekuatan yang tidak lengkap.

Oleh karena itulah, sejatinya jiva dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat alamiah dan mendasar. Sebagaimana diuraikan dalam Caitanya caritamrta. Madhya 20.108-109 :
jivera 'svarupa' haya krsnera 'nitya-dasa'
krsnera 'tatastha-shakti', 'bhedabheda-prakasa
suryamsa-kirana, yaiche agni-jvala-caya
svabhavika krsnera tina-prakara 'shakti' haya
Kedudukan dasar dari makhluk hidup adalah menjadi pelayan kekal dari Tuhan (Sri Krishna). Sebagai manifestasi dari tenaga marjinal Tuhan, ia secara simultan sama dan berbeda dengan Tuhan seperti partikel dari sinar ataupun api. Tuhan (Sri Krishna) memiliki tiga jenis tenaga atau shakti yaitu cit-shakti, tatastha-shakti, dan maya-shakti.

Lalu Caitanya caritamrta. Madhya 22.10-13 :
sei vibhinnamsa jiva dui ta' prakara
eka 'nitya-mukta', eka 'nitya-samsara'
'nitya-mukta' nitya krsna-carane unmukha
'krsna-parisada' nama, bhunje seva-sukha
'nitya-bandha' krsna haite nitya-bahirmukha
'nitya-samsara', bhunje narakadi duhkha
sei dose maya-pisaci danda kare tare
adhyatmikadi tapa-traya tare jari' mare
Para jiva dibagi menjadi dua kategori. Golongan pertama adalah nitya-mukta atau nitya-siddha yang terbebas secara kekal dan yang kedua adalah nitya-baddha yang terikat secara kekal. Mereka yang tergolong dalam nitya-mukta atau nitya-siddha selalu sadar akan Krishna dan mereka mengabdi dalam pelayanan cinta bhakti rohani kepada kaki padma Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pelayan kekal Sri Krishna. Mereka menikmati kebahagiaan rohani yang kekal dalam melayani Sri Krishna.


Selain penyembah-penyembah yang terbebaskan selamanya, ada roh-roh yang terikat yang selalu berpaling dari pelayanan rohani kepada Tuhan. Mereka terus-menerus terikat di dunia material ini dan mereka menjadi sasaran atas kesengsaraan material, yang terbawa bersama dengan penerimaannya atas berbagai bentuk badan jasmani dalam keadaan yang bagaikan neraka. Karena menunjukkan sifat penentangan yang mereka miliki terhadap Kesadaran Tuhan, roh-roh yang terikat dihukum oleh jahatnya tenaga luar yang mengkhayalkan atau maya. Dia tersiksa oleh tiga jenis penderitaan yang disebabkan oleh badan atau pikiran, sikap permusuhan dari makhluk hidup lainnya dan bencana-bencana alam yang disebabkan oleh para dewa.

Dengan memahami kedudukan dasar jivatma sebagai bagian percikan kecil dari Bhagavan, maka dapat pula dimengerti bahwa kecenderungan alamiah dari bagian adalah melayani keseluruhannya. Jadi Bhagavan Caitanyadeva mengatakan bahwa svarupa, atau jati diri sang roh sesungguhnya adalah pelayan Krishna. Apabila dia berada di posisi marjinalnya maka dia akan cenderung tertarik ke salah satu sisi, sisi rohani atau sisi khayal.

Dalam sisi rohani dia akan berlindung kepada cit-shakti, dan membuatnya kebal dari kedukacitaan maupun kesukacitaan yang bersifat semu. Di wilayah ini svarupa dari sang roh sepenuhnya berada dalam kesempurnaannya sebagai dasa, hamba, yang berhubungan dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ikatan cintakasih. Bila dia memilih sisi khayal atau sisi duniawi maka dia akan menerima sebentuk tubuh duniawi yang menyelubungi jati diri sejatinya. Di sisi ini karma, hukum sebab akibat akan mengikatnya. Perjuangan keras hanya demi mendapatkan setitik kesenangan yang bersifat sementara.

Jalan karma memberikan seseorang kesenangan dengan perantaraan hukum sebab akibat. Kebahagiaan yang diperoleh tidak akan pernah kekal adanya, karena didasarkan atas pemahaman akan jati diri sejati yang salah. Jalan jnana atau yoga, mengantar sang roh sampai kepada pembebasan dari maya, namun di sini dia terangkat sampai tingkat kemarjinalannya. Pada keadaan pembebasan yang demikian, jati diri sejati sang roh diabaikan atau bahkan dilenyapkan (nirvana). Keadaan kekosongan, sunyata. Tetapi hal inipun tidak kekal, karena sekali lagi dia dapat melihat kedua sisi dunia yang berbeda. Kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam alam maya selalu ada.

Hanyalah jalan bhakti, yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari cit-shakti sendiri, yang dapat menempatkan sang roh dalam jati diri sejatinya yang kekal. Sehingga kesempurnaan tertinggi bagi sang roh hanya dimungkinkan dicapai melalui bhakti yang murni.

Rabu, 11 November 2009

PANCARAN KECIL DARI SINAR SANG JIWA TERTINGGI


yathagneh ksudra visphulinga vyuccarantyevam evasmadatmanah sarve pranah sarve lokah sarve devah sarvani bhutani vyuccaranti
Seperti halnya percikan-percikan bunga api yang terpancar dari api yang berkobar, demikian pula semua jiva dengan sifat-sifatnya yang khusus terpancar dari paramatma (Sang Jiwa Tertinggi Yang Utama), begitu pula dewa-dewa, planet-planet, dan makhluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
(Brhad-aranyaka Upanisad 2.1.20)

isvarera tattva yena jvalita jvalana jivera svarupa yaiche sphuliogera kana
Tuhan bagaikan kobaran api yang sangat besar, dan para makhluk hidup (jivatma) adalah bagaikan percikan-percikan kecil bunga api dari api itu.
(Caitanya caritamrta. Adi 7.116)

Bagaikan percikan-percikan bara yang melompat-lompat keluar dari dalam kobaran api yang besar, demikian pula jiva-jiva yang tiada terhitung banyaknya, bagaikan pancaran, bagian-bagian kecil dari cahaya matahari rohani, Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Walaupun para jiva ini tiada berbeda dengan Sri Hari, mereka juga secara kekal berbeda dengan Dia. Perbedaan yang kekal antara jiva dengan Isvara (Tuhan Yang Maha Esa) adalah bahwa Isvara merupakan Tuhan dan penguasa dari maya-shakti (energi illusif), sedangkan jiva dapat jatuh dalam kendali maya, bahkan dalam keadaan terbebas (moksa) sekalipun, ini adalah karena dipengaruhi oleh sifatnya yang alamiah, yang paling mendasar.” Dalam pengertian, walaupun sang jiva telah terbebas dari ikatan maya (moksa), namun bila dia tidak berada dalam perlindungan langsung dari cit shakti (kekuatan rohani Tuhan) maka selalu ada kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam ciptaan alam material.

Ini merupakan apurva-siddhanta, kesimpulan yang paling akhir, dan didukung oleh berbagai pernyataan dalam Veda serta Upanisad. Dikatakan dalam Brhad-aranyaka Upanisad, jiva-jiva yang tiada terhitung jumlahnya memancar dari para-brahma, bagaikan percikan-percikan kecil dari kobaran api. Ada dua kedudukan yang harus dipertimbangkan oleh jiva-purusa (sang jiwa) yaitu alam duniawi yang tanpa kesadaran (acit), dan dunia rohani yang mahasadar (cit). Para jiva berada dalam posisi ketiga, yang bagaikan keadaan saat mimpi (svapna-sthana) seperti keadaan tidak tidur maupun tidak terjaga sepenuhnya, dan adalah merupakan pertemuan (tata-stha) di antara keduanya. Karena berada pada tempat pertemuan kedua dunia, dia melihat baik jada-jagat (dunia kebendaan) maupun cid-jagat (dunia rohani) tersebut. Seperti seekor ikan besar yang terkadang berenang ke tepian sebelah barat, lalu kadang ke tepian sebelah timur dari sebuah sungai, begitu pula para jiva selalu bergerak ke kedua sisi, yaitu keadaan bagaikan mimpi dan keadaan keterjagaan.

Dengan berada di tengah-tengah, jiva dapat melihat dunia rohani di satu sisi, dan juga alam duniawi di sisi yang lainnya. Shakti rohani dari Sri Bhagavan di satu sisi adalah tiada batasnya, dan maya-shakti di sisi yang lain juga sangat kuat, jiva-jiva dalam bentuknya yang halus (suksma) berada di antara keduanya ini. Krishna memiliki ketiga shakti ini, antaranga, kekuatan dalam, bahiranga, tenaga luar, dan tatastha, tenaga marjinal. Para jiva secara alami bersifat marjinal, karena mereka diwujudkan dari tatastha-shakti (kekuatan marjinal) Krishna.

Sifat marjinal ini disebut tatastha-svabhava, yang memungkinkannya melihat kedua sisi. Sifat alamiah dari keadaan pertengahan ini adalah ia memiliki kecenderungan untuk berada di bawah pengendalian kedua shakti yang lain. Apabila jiva memandang Krishna, yaitu ke arah dunia rohani, maka dia akan dipengaruhi oleh krishna-shakti. Akan tetapi bila dia memandang maya, maka dia akan menentang Krishna dan menjadi dikuasai oleh maya.

Kekuatan Tuhan yang mahasempurna disebut svarupa-shakti, karena shakti ini berada dalam rupa Tuhan, dalam Diri Tuhan. Kekuatan ini cinmaya, sepenuhnya sadar (penuh kehidupan), dan maka dari itu kekuatan ini merupakan lawan atau antitesis dari zat kebendaan yang mati. Energi ini dikenal pula sebagai cit-shakti, kekuatan yang mengandung prinsip kesadaran. Karena shakti ini sangat berhubungan erat dengan Tuhan, dengan berada di dalam rupa pribadi-Nya, selanjutnya energi ini dikenal pula sebagai antaranga shakti (kekuatan yang berada di dalam). Karena kekuatan ini lebih luhur daripada kekuatan marjinal dan kekuatan luar baik dari segi bentuk maupun kemuliaannya, maka dia juga disebut para-shakti, kekuatan yang mahatinggi.

Svarupa-shakti ini dibagi menjadi tiga. Sandhini, kekuatan yang memperantarai keberadaan rohani Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna beserta para rekan kekal-Nya, samvit, kekuatan yang menganugerahkan pengetahuan rohani mengenai Tuhan, dan hladini, kekuatan yang dengannya Krishna menikmati kesukacitaan rohani serta menganugerahkan kebahagiaan kepada para bhakta-Nya.

Insan Yang Mahatinggi dikenal sebagai parabrahma berwujud sac-cid-ananda. Sifat-sifat ini (keabadian, penuh pengetahuan, dan kebahagiaan tanpa banding) tidak pernah terpisahkan satu dengan yang lainnya. Begitu pula sandhini, samvit, dan hladini senantiasa terdapat bersama-sama. Kekuatan yang mahasempurna ini berada di dalam Tuhan, inilah cit-shakti.


Bagaimanakah hubungan jiva-shakti dengan cit-shakti? Krishna yang dibandingkan dengan matahari atau kobaran api merupakan tattva yang terwujud sendiri. Di tengah-tengah matahari yang berkobar itu, dengan kata lain di dalam Krishna, segala sesuatu merupakan perwujudan yang bersifat rohani, dan cahayanya menyebar luas dari bulatan matahari itu. Cahaya ini merupakan fungsi fraksional dari svarupa-shakti atau cit-shakti, dan sinar-sinar dalam fungsi fraksional itu adalah paramanu (bagian-bagian yang sekecil atom) dari matahari rohani itu. Para jiva adalah tattva yang sangat kecil ini. Svarupa-shakti atau cit-shakti yang mahasempurna mewujudkan dunia di dalam bulatan matahari rohani itu, sedangkan segala sesuatu yang berlangsung di luar bulatan matahari itu dijalankan oleh jiva-shakti, yang merupakan representasi langsung dari cit-shakti. Dengan demikian segala kegiatan yang berhubungan dengan para jiva berjalan adalah melalui jiva-shakti ini, bukan cit-shakti secara langsung, tapi hanya merupakan representasinya.

Minggu, 08 November 2009

SIFAT-SIFAT JIVA

Jiva atau spiriton adalah partikel atom yang sadar. Keberadaan sang jiva tidak dapat dideteksi dengan cara ilmiah atau dengan cara material apapun. Keberadaan sang jiva hanya dapat dipahami dengan adanya kesadaran. Dalam Svetasvatara Upanisad 5.9 dijelaskan ukuran jiva adalah sebesar sepersepuluh ribu dari ujung rambut

balagra-sata bhagasya satadha kalpitasya ca
bhago jivah sa vijneyah sa canantyaya kalpate
Jika kita membagi ujung dari sehelai rambut menjadi seratus bagian dan dari satu bagian itu dibagi menjadi seratus bagian lagi, maka sepersepuluh ribu dari ujung sehelai rambut itulah dimensi dari jiva atau makhluk hidup, dan makhluk hidup ini mampu mencapai Tuhan Yang Tak Terhingga.

Bagaimana mungkin suatu yang tak dapat dipersepsi secara duniawi bisa memiliki ukuran? Ini menyatakan bahwa jiva, sekalipun tidak dapat dipahami melalui cara-cara duniawi yang kasar adalah suatu kenyataan. Dia memiliki sifat pribadi yang nyata, bukan semata sesuatu yang bersifat imajiner atau bermakna filosofis belaka. Unit yang nyata dan sadar ini, sekalipun memiliki dimensi yang begitu kecil, namun dia merupakan bagian dari Sang Sumber Yang Tiada Batasnya. Oleh karena itu secara alamiah dia memiliki potensi untuk kembali bersama Sumber yang menjadi Asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Jiwa Utama.

Dalam Bhagavad-gita 15.7
mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah
manah-sasthanindriyani prakrti-sthani karsati
Para makhluk hidup yang terikat di dunia yang terikat ini adalah percikan yang kekal dari Diri-Ku. Oleh karena kehidupan yang terikat mereka berjuang sangat keras sekali melawan (dorongan) enam indria, termasuk pikiran.

Bhagavad-gita 2.20
na jayate mriyate va kadacin nayam bhutva bhavita va na bhuyah
ajo nityah sasvato 'yam purano na hanyate hanyamane sarire
Tidak ada kelahiran maupun kematian bagi sang jiwa pada saat manapun. Dia tidak diciptakan pada masa lampau, masa sekarang maupun masa yang akan datang. Dia tidak dilahirkan, berada untuk selamanya dan bersifat abadi. Dia tidak terbunuh bila badan terbunuh.

Bhagavad-gita 2.23
nainam chindanti sastrani nainam dahati pavakah
na cainam kledayanty apo na sosayati marutah
Sang jiwa tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, dibakar oleh api, dibasahi oleh air maupun dikeringkan oleh angin.

Bhagavad-gita 2.24
acchedyo 'yam adahyo 'yam akledyo 'sosya eva ca
nityah sarva-gatah sthanur acalo 'yam sanatanah
Jiwa yang individual ini tidak dapat dipatahkan ataupun dilarutkan, tidak dapat dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap sama untuk selamanya.

Jiva atau atma yang merupakan percikan sekecil atom dari Tuhan Sendiri berada dalam setiap bentuk kehidupan

Segala kualifikasi jiwa yang sekecil atom tersebut membuktikan dengan pasti bahwa sang jiwa yang individual untuk selamanya menjadi butir seperti atom dari keseluruhan keberadaan rohani dan ia tetap menjadi atom untuk selamanya tanpa perubahan.

Bhagavad-gita 13.33.
yatha sarva-gatam sauksmyad akasam nopalipyate
sarvatravasthito dehe tathatma nopalipyate
Oleh karena angkasa bersifat halus, angkasa tidak tercampur dengan apapun, kendatipun angkasa berada di mana-mana. Begitu pula sang jiwa yang mantap dalam penglihatan Brahman tidak tercampur dengan badan walaupun ia berada dalam badan.

Brahma-sutra 2.3.24
gunadvalokavat
Seperti halnya api menerangi sebuah ruangan begitu juga jiva menerangi badan dengan sifat kecerdasannya.

Vedanta menjelaskan bahwa kesadaran adalah di luar pikiran dan kecerdasan. Vedanta juga memberikan hierarki sebagai berikut (Bhagavad-gita 3.42) :

indriyani parani ahur
indriyebhyah param manah
manasas tu para buddhir
yo buddheh paratas tu sah

Indria-indria yang bekerja, lebih halus daripada alam yang bersifat mati ataupun objek indria. Pikiran lebih tinggi atau halus daripada indria-indria, kecerdasan lebih halus lagi daripada pikiran dan dia atau sang jiwa atau jivatma lebih tinggi daripada kecerdasan.
Interaksi antara kesadaran dengan kecerdasan, pikiran dan indria-indria dijelaskan dalam Katha Upanisad 1.3; 3-4 sebagai sebuah kereta imajiner sebagai berikut :
atmanam ratinam viddhi, sariram ratham eva ca,
buddhim tu saratim viddhi, manah pragraham eva ca
indriyani hayan ahur, visayams tesu gocaran,
atmendrya-mano-yuktam, bhoktety ahur manisinah
Individu adalah sang penumpang dalam kereta badan material, dan kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran adalah tali kekangnya, sedangkan indera-indera adalah kuda-kuda dari kereta itu. Seperti itulah hal ini dimengerti oleh para pemikir yang mulia.

Lebih lanjut Vedanta menyebutkan bahwa spiriton atau partikel spiritual (jiva) memiliki identitas sebagai berikut :
1. Dia adalah energi spiritual yang berbeda dari energi material
2. Dia adalah partikel spiritual dan berbeda dari materi secara ontologikal
3. Hanyalah karena interaksi antara spiriton (jiva) dan elemen material, sehingga tubuh material kelihatan menjadi aktif atau hidup.
4. Jiwa memilki sifat dasar : a) kesadaran; b) keinginan bebas; c) niat; dan d) tujuan
5. Jiwa berada di luar persepsi panca indera biasa dan dapat dibuktikan. Kesadaran adalah gejala kehidupan yang paling dapat dirasakan keberadaanya sebagai bukti adanya spiriton, sedangkan materi yang kompleks dapat dilihat secara nyata tapi tidak mempunyai kesadaran.
6. Keberadaannya kekal dan dia tidak dapat diciptakan atau dihancurkan
7. Dia mempunyai keinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
8. Dia memiliki keinginan untuk bahagia
9. Dia memiliki kekuatan yang menarik bukan hanya antar makhluk individu saja tapi juga dengan materi. Sebagai contoh kekuatan yang menarik antara ibu dan bayinya adalah karena adanya interaksi dari jiwa

Kamis, 05 November 2009

KEBENARAN MENDASAR TENTANG SANG JIVA

Pengetahuan sejati apapun dalam Veda maupun spiritualisme pada umumnya, maka sungguhlah tidak mungkin bisa dimengerti jika kita tidak memahami dengan tepat dan benar berdasarkan filosofi Veda tentang subyek Jiva-tattva. Jiva-tattva adalah pengetahuan mendasar mengenai keberadaan diri sejati kita. Inilah yang didengungkan selama ini sebagai mengenali diri sendiri. Menjawab pertanyaan paling umum dalam penjajakan spiritual yaitu, “Siapakah Aku?”.

Jiva-tattva adalah titik awal perjalanan ke dalam diri dan pada akhirnya perjalanan untuk kembali kepada Tuhan, Sang Sumber Diri Tertinggi. Karena begitu pentingnya mata pelajaran ini bagi umat manusia, di medan perang Kuruksetra Bhagavan Sri Krishna pertama-tama mengajarkan pengetahuan ini kepada Arjuna, murid dan sahabat karib yang sangat dikasihi-Nya. Kemudian lima ratus duapuluh tahun yang lalu, ketika Bhagavan Sri Krishna muncul kembali dalam avatara-Nya sebagai bhakta, yang dikenal dengan Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, Beliau kembali mengajarkan pengetahuan yang sama kepada Srila Rupa Gosvami dalam Dasa Mula Tattva yaitu sepuluh kebenaran sejati, sebagai berikut:

Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva menganugerahkan ajaran Dasa-mula-tattva kepada Sri Rupa Goswamipada

1. Pramana: ajaran suci Veda yang diterima melalui guru-parampara dikenal sebagai amnaya (makna yang diresapkan ke dalam ingatan), bukti-bukti tak terbantahkan dari Veda, dari smrti-sastra terutama Srimad Bhagavatam, termasuk pula bukti-bukti dari persepsi indria secara langsung (pratyaksa), yang sejalan dengan bimbingan Veda, semua ini diterima sebagai pramana atau bukti. Pramana ini menegakkan prameya (kebenaran-kebenaran mendasar yang dibuktikan) berikut ini.
2. Parama-tattva: Hanyalah Sri Krishna Sendiri yang merupakan Kebenaran Mutlak Tertinggi.
3. Sarva-shaktiman: Sri Krishna adalah pemilik dari berbagai shakti yang beranekawarna dan tiada batasnya.
4. Akhila-rasamrta-sindhu: Dia adalah samudera manisnya rasa yang bagaikan madu kekekalan.
5. Vibhinnamsa-tattva: Baik jiva-jiva mukta (yang terbebas) maupun baddha (yang terikat) adalah bagian dan percikan-Nya yang terpisah (tidak sama) selamanya dari Dia.
6. Baddha-jiva: jiva-jiva terikat yang diselubungi maya
7. Mukta-jiva: jiva-jiva dalam pembebasan yang tak terikat maya.
8. Acintya-bheda-abheda-tattva: Seluruh alam semesta, yang terdiri dari jiva-jiva yang hidup dan memiliki kesadaran (cit), serta benda yang tidak memiliki kesadaran (acit), adalah acintya-bheda-abheda-prakasa dari Sri Hari, yaitu suatu manifestasi yang satu, sekaligus juga berbeda dengan Dia, dengan persamaan dan perbedaan yang tak dapat terjangkau oleh pikiran.
9. Suddha-bhakti: pelayanan dalam pengabdian suci yang murni adalah satu-satunya latihan rohani (sadhana) untuk mencapai tujuan tertinggi yang paling utama.
10.Krishna-priti: cinta dan kasih sayang rohani kepada Sri Krishna adalah satu-satunya tujuan akhir segala pencapaian.”
Dalam ajaran Bhagavad-gita dan Vedanta Sutra juga dijelaskan lima mata pelajaran pokok yaitu :
1. Isa tattva, kebenaran filosofis tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan kekuatan-Nya.
2. Jiva tattva, kebenaran filosofis tentang identitas dan eksistensi makhluk hidup.
3. Prakrti, manifestasi alam material
4. Kala, pengaruh waktu terhadap makhluk hidup dan ciptaan material, dan
5. Karma, berbagai aktivitas makhluk hidup di dunia ciptaan material ini dalam usahanya mencari kebahagiaan.
Dalam membahas jiva tattva ini, berkaitan erat dengan mata pelajaran lainnya karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Jiva-tattva atau vibhinnamsa-tattva, kebenaran sejati mengenai sang roh, merupakan salah satu kebenaran yang paling penting dan paling wajib untuk diketahui oleh semua jiva dalam kecerdasan yang telah berkembang sempurna, terutama dalam kehidupan manusia. Pemahaman yang baik mengenai jiva-tattva ini merupakan modal utama seseorang untuk menempuh jalan rohani yang sejati. Lebih lanjut dalam Dasa-mula juga dibicarakan mengenai mukta-jiva, kebenaran mengenai para roh yang berada dalam pembebasan, dan baddha-jiva, kebenaran mengenai para roh yang terikat oleh khayalan.

Menurut Vedanta, kita tidak akan pernah mempunyai sebuah teori yang menjangkau segala sesuatu jika hanya menyangkut materi atau interaksi-interaksi partikel-partikel material saja. Vedanta menyatakan, terlepas dari materi yang sifatnya tidak giat (inaktif), terdapat realitas lain di alam ini. Dialah partikel spiritual fundamental (disebut atman atau jiva dalam terminologi Vedanta), yang kini disebut sebagai “spiriton”* dalam bahasa ilmiah. Ia adalah partikel transendental dan secara ontologik berbeda dengan materi. Ia memiliki sifat sadar dan kebebasan bertindak atau berkehendak, berlawanan dengan partikel-partikel material seperti elektron, dsb. Hanya atas kehadiran dari spiritonlah materi kelihatannya hidup. Dalam Vedanta ”materi hidup” ini disebut sebagai kehidupan yang membadan.

Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu menjelaskan kepada Srila Rupa Gosvami bahwa di dalam alam semesta ini ada makhluk hidup yang jumlahnya tidak terhingga yang menurut kegiatan mereka yang dimaksudkan untuk membuahkan pahala, berpindah-pindah dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain dan dari satu planet ke planet yang lain. Dengan cara ini, keterikatan mereka dalam eksistensi alam duniawi ini telah berlanjut sejak jaman yang sangat purba. Walau kenyataannya semua makhluk hidup ini adalah percikan-percikan yang sangat kecil, yang tak terpisahkan dari Jiwa Yang Utama, Bhagavan Sri Krishna, Tuhan Yang Maha Esa.

(*istilah spiriton untuk substansi adiduniawi ini diusulkan dan dipopulerkan oleh Srila Sripada Maharaja - T.D. Singh, PhD.)

Selasa, 20 Oktober 2009

Perilaku Diskriminatif Terhadap Perempuan dalam Masyarakat Hindu adalah Adharmika

Sri Kapila dan Bunda Devahuti

Pada satu bagian sastra suci Vaishnava otoritatif seperti Sri Lakshmi Tantra kedudukan seorang wanita begitu dimuliakan. Semua wanita merupakan tempat bersemayamnya kekuatan rohani Sri Mahalakshmi dan merupakan perwujudan Mahalakshmi di dunia ini. Tidaklah ada kekotoran atau kesialan yang ada pada kaum perempuan dan seperti kita memuliakan semua sungai suci seperti Sarasvati, Ganga, dan sebagainya, maka demikian pula hendaknya kita memandang setiap perempuan sebagai yang tak ternoda. Tetapi pada Sri Kapila-gitam, yang merupakan bagian dari Srimad Bhagavatam, sebagai kitab suci yang paling dimuliakan oleh para Vaishnava, bahkan disebut Grantharajan atau Raja semua sastra suci, pernyataan sebaliknya justru ditemukan. Sri Kapila-avataran bersabda pada Devahuti, “Wahai Ibunda! Lihatlah olehmu kebingungan yang ditimbulkan oleh kekuatan-Ku yang mengkhayalkan dalam bentuk seorang wanita. Dia dapat menjerumuskan bahkan seorang penakluk dunia yang paling mulia dan terkendali sekalipun, hanya dengan satu kerlingan matanya. Mereka yang ingin mendapatkan Sri Krishna, yang berada di puncak semua sadhana-bhakti-yoga, janganlah pernah bergaul dengan perempuan. Karena para bijak dan yang mengetahui kebenaran (tattva-vit) telah menjelaskan perempuan sebagai jalan pasti menuju neraka (niraya-dvaram)! Berhati-hatilah karena dia bagaikan sumur yang tertutup rerumputan. Dia selalu dinyatakan sebagai pintu neraka yang terbuka lebar.” Betapa mengagetkannya melihat dua pernyataan yang sangat bertolak belakang. Satu mengatakan perempuan adalah yang suci tak ternoda, sedangkan satunya lagi mengatakan perempuan adalah pintu gerbang neraka dan sumur tertutup rumput yang siap menjerumuskan siapa saja yang tidak berhati-hati. Akan lebih mengejutkan lagi, karena Kapila-avataran menyampaikan hal-hal buruk tentang perempuan ini di hadapan Devahuti, yang adalah ibu-Nya dalam Inkarnasi ini. Sri Lakshmi Tantra sebagai contoh adalah termasuk sastra suci Agamika atau Pancaratrika yang memiliki status sama dengan Sruti. Lalu Grantharajan Srimad Bhagavatam adalah digolongkan Pauranika-sastram (sastra suci yang tergolong Purana). Jadi beberapa orang di luar Sat-sampradayam akan mengatakan dengan mudah, “Pernyataan Sruti lebih tinggi dari Purana, karena itu, sekalipun diucapkan oleh seorang Avatara seperti Sri Kapiladeva, maka pernyataannya harus gugur.” Bagaimana memahami bahwa perempuan yang adalah Devi-svarupi (wujud nyata Sang Devi) juga adalah Niraya-dvaram (pintu gerbang neraka)?

Kami membawa masalah ini kepada Sad-acharyan yang adalah permata dalam Sat-sampradayam. Srimad Vedanta Desikan menyatakan bahwa dalam Vaishnava-sat-sampradayam tidak boleh ada kontradiksi antar pernyataan sastra Suci. Sri Srila A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupadaji Maharaja adalah Sad-acharyan dalam Sri Goudiya Vaishnava. Apakah yang beliau katakan tentang perempuan? “Laki-laki juga adalah perempuan!” Apa maksudnya?

Dalam Bhagavata-upadesham beliau di Vrindaban, 1 September 1975, Srila Prabhupadaji Maharaja menyatakan, “Pelatihan ini (sadhana) adalah bagaimana melatihnya menjadi seorang brahmana, dengan sifat samo, dama, tapo, sauca, dsb. Tetapi kemajuan akan dihalangi oleh keterikatan pada wanita. Oleh karena itu menurut peradaban Veda, perempuan diterima sebagai halangan (virodhi) bagi kemajuan rohani. Dasar seluruh peradaban ini adalah bagaimana untuk menghindari… Perempuan… Jangan kalian pikir hanya perempuan yang adalah perempuan. Laki-laki juga adalah perempuan. Jangan pikir hanya perempuan yang disalahkan; laki-laki tidak. Perempuan berarti dinikmati dan laki-laki berarti yang menikmati. Jadi sesungguhnya perasaan ini, perasaan inilah yang disalahkan. Bila saya melihat seorang wanita untuk dinikmati, maka saya adalah laki-laki. Bila seorang perempuan melihat laki-laki untuk dinikmati, maka dia juga adalah laki-laki. Jadi siapapun yang memiliki perasaan ingin menikmati, dialah laki-laki. Jadi di sini kedua jenis kelamin berencana, bagaimana saya bisa menikmatinya? Maka dia purusha, secara mengada-ada. Namun sesungguhnya, sejatinya, kita semua adalah prakruthi, jiva, laki-laki atau perempuan sama saja. Ini hanyalah semata pakaian luar…”

Hal ini akan semakin mudah dipahami bila kita tahu istilah apa yang digunakan untuk menyatakan laki-laki atau perempuan dalam Sanskrit, jadi dalam Veda. Laki-laki disebut purushan, yang artinya penikmat, dan perempuan disebut stri atau prakruthi, yang dinikmati. Tuhan adalah Penikmat Tertinggi atas segalanya, karena semua ini adalah berasal dari Beliau, dan adalah milik Beliau. Karena itu Beliau adalah Purushottaman, hadir sebagai prinsip kelaki-lakian tertinggi. Lalu semuanya terwujud melalui emenasi shakti Beliau. Tuhan adalah sarva-shaktiman, sumber semua shakti. Shakti memancar dari Shaktiman demi memberikan kenikmatan bagi Beliau, jadi shakti yang dinikmati oleh Tuhan bersifat perempuan. Adya-shakti adalah mula-prakruthi, prinsip kewanitaan yang paling awal, hadir dalam rupa perempuan.

Bagaimana dengan kita? Bukankah kita tergolong jadi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Itu hanyalah lahiriah belaka. Tetapi sesungguhnya semua adalah jivatma. Begitu kata semua Veda. Tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan, yang benar hanyalah atma. Sebagai jivatma kita semua adalah manifestasi dari shakti. Kita adalah “yang dinikmati”. Kata lain untuk perempuan adalah yosit. Asmad-acharyapadam Sri Srila Gurudeva Goura Govinda Swamivaru menyatakan bahwa yosit berarti “dia yang dinikmati”. Permasalahan ada di sini. Baik Srila Prabhupadaji Maharaja maupun Srila Gurudeva menyatakan dengan tegas bahwa pemikiran untuk menikmati inilah yang bermasalah. Oleh karena itu Sri Kapila-avataran bersabda, “Jangan bergaul dengan perempuan, yosit-sangam tyajeta!”

Jangan melihat perempuan sebagai sumber kenikmatan yang harus dieksploitasi. Jangan melihatnya sebagai pemuas nafsu keinginan duniawi. Dengan menempatkan diri secara tidak wajar sebagai purushan, sang penikmat, lalu bergaul dengan perempuan sebagai yang dinikmati, maka inilah gerbang pasti yang terbuka lebar menuju kehidupan penuh penderitaan. Inilah sumber semua kejatuhan rohani dan penderitaan dalam samsara-samudram, lautan dukacita kesengsaraan duniawi. Selama kita bergaul dengan cara ini maka tidak akan ada kemajuan rohani dan semua sadhana menjadi sia-sia. Pahamilah makna ini. Lalu ketahuilah bahwa semuanya adalah atma. Sang diri sejati bukan laki-laki atau perempuan. Maka dari itu janganlah berpikir bahwa satu ada demi memberi kenikmatan bagi yang lain. Satu ada untuk memuaskan dan dipuaskan oleh yang lain. Janganlah berpikir untuk saling mengeksploitasi, karena sesungguhnya semua adalah manifestasi dan emenasi yang sama dari Adya-shakti, Sri Mahalakshmi, dan adalah Prakruthi. Semuanya hanyalah dimaksudkan semata bagi pelayanan kepada Sri Purushottaman yang adalah Sarva-shaktiman. Oleh karena shakti-shaktimatayor-abhedah, kekuatan dan sumber segala kekuatan sesungguhnya tiada berbeda, maka Sri Mahalakshmi dan Sri Narayana adalah Satu Kebenaran Mutlak Yang Tunggal. Srimannarayana adalah sumber sekaligus pusat segalanya dan segalanya hanyalah dimaksudkan untuk Beliau. Bergaullah satu sama lain dan pandanglah satu sama lain dengan pemahaman seperti ini. Hiduplah bersama seperti ini. Itulah yang sesungguhnya dimaksudkan oleh semua Veda dan diajarkan oleh semua Vaishnava-sat-sampradayam.

Jadi dalam Vaishnava-sat-sampradayam semua pernyataan sastra suci bersepakat bahwa kaum laki-laki haruslah menghormati perempuan. Jangan berpikir dirinya adalah sang penikmat yang berhak mengeksploitasi perempuan demi memberi kenikmatan bagi dirinya. Sekali dia berpikir begini maka perempuan akan menjadi pintu gerbang terbuka lebar yang pasti akan mengantarkannya menuju neraka. Sebaliknya perempuan juga tidak boleh berpikir demikian terhadap laki-laki. Lebih lanjut, kedua pihak janganlah saling mengeksploitasi demi kenikmatan masing-masing.


Veda-dharma ini adalah jalan hidup yang benar. Tidakkah Sri Rayaru (Sri Raghavendra Tirtharu) juga berkata, “Tuhan telah memberi hidup manusia yang berharga untuk belajar. Mempelajari untuk hidup benar, karena tanpa hidup benar tak akan ada pemikiran benar. Pemikiran yang tidak benar akan membawa kepada perkataan, dan juga tingkah laku dalam ketidakbenaran. Belajarlah hidup benar melalui sastra suci di bawah bimbingan Sad-acharyan, guru kerohanian yang terpercaya, yang merupakan harta tak ternilai di seluruh alam semesta ini. Itulah pelita pemandumu agar dapat melangkah di jalan kebenaran.” Jadi dalam masyarakat Hindu adalah jauh lebih penting membina batin dan memperbaiki sikap pandang kita sendiri secara rohani, dibanding menghabiskan waktu untuk mengubah objek persepsi kita. Perempuan atau laki-laki bukan semata masalah perbedaan fisik lahiriah, namun adalah bagaimana kita menempatkan sesama dalam kedudukan yang luhur tanpa kehendak untuk saling menikmati, menuntut, dan memeras kesenangan semu darinya.

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kaum Perempuan, Citra Agung Sang Devi


Sebuah pembahasan mengenai sebuah ajaran dalam Hindu tidak akan sempurna tanpa membahas kedudukan wanita dalam masyarakatnya. Bahkan mereka yang “terlahir” dalam Sampradayam, tak jarang sangatlah sedikit mendapat informasi mengenai apa yang disampaikan oleh sastra suci mengenai perempuan. Setiap orang yang telah berpengalaman tinggal beberapa saat di India Selatan akan dapat melihat betapa lebih besarnya kebebasan yang diberikan kepada kaum perempuan Selatan dibandingkan saudari-saudarinya di bagian Utara. Satu-satunya alasan sederhana yang menjelaskan perbedaan ini adalah karena di Utara, Muslim telah berkuasa selama lebih dari 6 abad sehingga mau tidak mau, cara atau budaya yang berkembang dalam masyarakat mereka mengenai kedudukan seorang perempuan di mata kaum laki-laki, juga mempengaruhi masyarakat Hindu di sana. Namun di bagian Selatan, agama Hindu masih tidak tersentuh oleh sikap-sikap mereka yang tidak sejalan dengan ajaran Dharma yang kita anut ini.

Utamanya sebagaimana kita ketahui dalam masyarakat Srivaishnava, kaum perempuan menikmati kebebasan yang luas. Mereka bertanggung jawab atas jalannya kehidupan rumah tangga dan dengan demikan juga meluas pada masyarakat secara umum. Kaum perempuan tidak dipaksakan untuk mengikuti atau melaksanakan ritual-ritual selain membantu suaminya menjalankan kewajiban keagamaan mereka sehari-hari. Perempuan juga berhak menerima inisiasi (diksha) Pancha-samskara, walaupun biasanya dilakukan bersamaan dengan suaminya atau sesaat sebelum melangsungkan pernikahan, namun selalu tersedia kesempatan serta dukungan untuk menerimanya langsung seorang diri! Potensi mereka dikembangkan seluas-luasnya dengan selalu menyemangatkan dan menyediakan fasilitas bagi mereka untuk membaca, mempelajari, dan melantunkan berbagai paasuram Divya-prabandha (mantra-mantra Veda Tamil yang memiliki peranan vital dalam masyarakat Srivaishnava). Para wanita juga selalu melaksanakan japa Mantra Tiga Rahasia Agung yang tersuci (Rahasyatraya).
Penghormatan yang besar juga diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh mantra-mantra terpilih dari Sri Lakshmi Tantra berikut (Adhyaya 43: 61-72) mengenai perempuan dan kedudukan mereka dalam Tradisi Pancaratra. Sejauh mana pernyataan-pernyataan sastra suci ini diwujudkan dan diterapkan dalam masyarakat hendaknya selalu menjadi perhatian bagi kita bersama secara serius.

Sang Ibunda Semesta bersabda kepada Indra, raja para deva, “Seorang pria hanyalah bisa dikatakan punyam (memiliki kebajikan rohani) apabila dia bebas dari segala kegiatan berdosa, secara teguh berpegang pada ajaran-ajaran Pustaka Suci, melaksanakan perbuatan yang tidak dikutuk oleh kaum wanita dan yang dapat menyenangkan hati mereka.
Seorang yogi tidak boleh berbuat kesalahan kepada perempuan, baik dalam pikiran, melalui ucapan, maupun perbuatannya. Di manapun Aku berada, segala kesejatian (tattva) ada di sana. Di manapun Aku hadir, maka semua deva juga bersemayam di sana. Di manapun ada Aku, segala kebajikan ada di sana. Di manapun Aku bersemayam maka Krishna juga akan bertahta di tempat itu.
Akulah prinsip kewanitaan yang meresapi segala-galanya di alam semesta ini dan yang bersemayam dalam diri setiap perempuan. Dia yang bersalah pada kaum wanita, bersalah kepada-Ku, Lakshmi Sendiri, dan siapapun yang berdosa di hadapan Lakshmi, telah berdosa kepada seluruh alam semesta. Dia yang memiliki maksud-maksud jahat dan tidak terpuji kepada perempuan, sudah bersikap menghina dan merendahkan Aku Sendiri. Maka siapapun yang bermaksud jahat kepada-Ku, dia juga sudah berbuat kejahatan kepada seluruh alam semesta.
Mereka yang Kukasihi adalah yang hatinya bergembira ketika melihat kaum wanita bagaikan kegembiraan melihat indahnya cahaya rembulan, yang tidak pernah pula memendam maupun mengembangkan pemikiran-pemikiran atau prasangka jahat terhadap mereka. Sebagaimana tidaklah ada noda dosa pada Narayana maupun pada Diri-Ku, wahai engkau Indra, tidak pula pada seekor sapi, seorang brahmana dan seorang yang terpelajar dalam Vedanta. Maka tidaklah ada kekotoran atau kesialan yang ada pada kaum perempuan.
Inilah yang hendaknya engkau ketahui wahai Indra! Bagaikan Ganga, Sarasvati, dan juga Aruna, bebas dari segala ketidaksucian dan kejahatan, maka demikianlah halnya semua wanita harus dimuliakan sebagai yang tak ternoda.
Ketahuilah bahwa sejatinya Aku, Sang Ibunda bagi ketiga dunia, adalah dasar dari sifat kewanitaan, dan telah membuat kekuatan-Ku terwujud dalam diri kaum perempuan. Dengan demikian seorang wanita juga adalah ibu bagi ketiga alam, seorang dewi yang dipenuhi segala kelimpahan.
Setelah memahami wanita adalah perwujudan-Ku secara langsung, bagaimana mungkin seorang yogi dapat menghindari penghormatan kepada mereka? Seseorang tidak boleh menyakiti wanita, bahkan tidak boleh berpikir sekalipun untuk menyakiti wanita. Seorang yogi yang sungguh-sungguh ingin mencapai kesempurnaan yoga, harus selalu berusaha bertindak di jalan yang direstui kaum perempuan. Dia harus memandang semua wanita sebagai ibunya, sebagai sang dewi, sebagai Diri-Ku Sendiri!

dipaparkan oleh: Sriman Srirama Ramanuja Achari (Pandit Rami Sivan)

Jumat, 16 Oktober 2009

Tuhan dan Posisi Perempuan dalam Hindu

Hindu berbeda dengan agama-agama Abrahamik yang cenderung menempatkan Tuhan sebagai pribadi maskulin dan paternalistik yang tidak memberikan tempat vital bagi perempuan. Kita bisa lihat dalam sejarah, bagaimana para pengikut tuhan maskulin ini memusnahkan pemujaan kepada Dewi, divinitas feminin, dan menganggap mereka yang memujanya sebagai kafir. Hindu menginsafi Tuhan sebagai Kesempurnaan Yang Mahalengkap. Impersonal juga Personal. Tidak laki-laki, tidak perempuan, namun sekaligus juga adalah Prinsip Kelaki-lakian Tertinggi (sebagaimana Narayana bagi Vaishnava dan Siva bagi Saiva, yang disimbulkan dengan Lingam) dan Sang Ibunda Tertinggi, Perempuan Yang Paling Awal (Sri atau Mahalaksmi bagi Vaishnava dan Shakti bagi Saiva, yang disimbulkan dengan Yoni).

Laksminarayana-yantram, diagram mistis yang representasikan Tuhan sebagai Zat (Vashtu)Yang Mahasempurna, Kesatuan antara Energi dan Sumber Energi, Perpaduan Prinsip Kelaki-lakian dan Kewanitaan Yang Tertinggi.

Sri Laksmi Tantram merupakan salah satu kitab Pancaratra-agama yang digunakan oleh golongan Vaishnava. Sebagaimana namanya, kitab ini memuliakan Mahalaksmi sebagai bagian tak terpisahkan dari Narayana, Tuhan Tertinggi dalam Vaishnavisme. Selain merupakan Kebenaran Mutlak Tertinggi dalam Pribadi Pasangan Rohani Yang Mahalengkap, Sri Sri Laksmi Narayana dalam teologi Vaishnava, maka Mahalaksmi juga dipandang sebagai Tuhan dalam sisi feminin-Nya atau “Tuhan Perempuan”. Konsep Ketuhanan semacam ini hampir tidak ada di luar agama Veda.

Kita memuja Tuhan sebagai Satu Kesatuan Yang Mahalengkap dan Sempurna, Sri Sri Laksmi Narayana. Sumber dari sumber segalanya, Ayah-Ibu Tertinggi.

Sri Laksmi Tantram diturunkan oleh Sang Ibunda Tertinggi secara langsung kepada Indra, Raja Para Deva, istimewanya juga mengungkapkan makna rahasia yang terkandung dalam mantra-mantra Veda utama seperti Purusha-suktam dan Sri-suktam (pada Adhyaya ke-50 dari total 57 Adhyaya-nya). Keistimewaan lainnya adalah Sri Laksmi Tantram “terungkapkan pada dunia” berkat keinsafan atau pencerahan yang dicapai oleh seorang perempuan juga yaitu Anusuya, istri dari Maharishi Atri. Jadi Laksmi Tantram adalah literatur Pancaratra-agama yang unik, karena memuliakan “Tuhan Perempuan”, Sri Mahalaksmi, diungkapkan oleh Sri Mahalaksmi Sendiri, dan kemudian hadir di dunia ini berkat jasa seorang perempuan.

Pada Sri Laksmi Tantram Adhyaya 1, mantra 3-6 terlebih dahulu mengungkapkan kemuliaan Atri sebagai salah satu Rishi dalam Veda. Pravara atau “keturunan rohani” Atri disebut Aatreya. Beberapa yang paling termashyur dalam Pravara ini adalah Sutrakara Bhaudhayana, Katyayana, Apasthambha, dan Laukakshi. Secara umum ada 407 Rishi yang “melihat” Rig-veda mantram (mantra-drishta). Maharishi Atri dan Pravara-nya (Aatreya) terutama mengungkapkan Mandala ke-5. Maharishi Atri dijelaskan sebagai seorang yang telah menaklukkan semua dorongan indera jasmaninya secara sempurna, sang bijak yang merupakan Parama-yogi, menguasai keseluruhan 14 bagian Yoga-sastram (Yoga-sutra Patanjali Adhyaya ke-2 yang disebut Sadhana-pada membahas 11 dari 14 bagian ini). Beliau juga termashyur tak pernah goyah dalam usahanya menyerap Pengetahuan Sejati (Brahma-jnanam). Atri telah memusnahkan seorang Asura bernama Svarbhanu yang dengan kekuatan jahatnya ingin mengacau alam semesta dengan menghancurkan matahari. Beliau melakukan itu hanya dengan kekuatan pikirannya saja yang berada dalam kesempurnaan tapa. Sekalipun beliau seorang Grihastha (orang berkeluarga), namun beliau tidak terpengaruh Triguna, yaitu kebaikan relatif, nafsu, dan kebodohan atau kegelapan batin (sehingga diberi nama Atri). Sang Maharishi telah melampaui ketiga keberhasilan dalam hidup (Dharma, Artha, dan Kama), telah mencapai Moksha dan adalah seorang Rishi yang kekal abadi. Demikianlah keagungan dan pencapaian spiritual Maharishi Atri, sehingga sungguh konyol jika kita memperbandingkan para Rishi Veda seperti Atri dengan para nabi dalam agama lain, apalagi menganggapnya sama dengan manusia biasa seperti kita. Oleh pengaruh cara berpikir empiris orang Barat, banyak orang beranggapan bahwa bagian Veda tertentu, misalnya Smriti, bisa saja salah karena disusun berdasarkan ingatan para Rishi, bukan revelasi langsung. Sekalipun Smriti-sastra mungkin hasil ingatan para Rishi, tetapi kesalahan macam apa yang bisa dibuat oleh seseorang yang mampu memusnahkan seorang Asura hanya dengan kekuatan pikirannya saja?

Setelah memuliakan Atri, mantra 7-9 menggambarkan keagungan Dharmapatni-nya, sang istri Anusuya. Anusuya adalah sesempurnanya seorang perempuan yang terbaik sebagai istri. Yang tertinggi di antara Pati-vrata (sang istri setia maha-utama). Yang telah mendapatkan kedudukan sebagai Ibunda dari Tiga Devata (catatan: Brahma, Vishnu, dan Siva dahulu menguji kesetiaan Anusuya dengan menyamar sebagai tiga orang brahmana muda yang meminta makanan namun harus disajikan oleh Anusuya tanpa busana. Permintaan brahmana pantang ditolak, maka Anusuya dengan kekuatan kesetiaan dan pengabdiannya sebagai istri memercikkan air ke arah Tiga Devata dan mengubah Mereka menjadi bayi. Anusuya lalu menyusui Mereka Bertiga). Anusuya adalah seorang perempuan yang dipuji bahkan oleh para Deva, bercahaya gemilang oleh kekuatan tapanya, mencapai kemaha-tahuan, memahami secara sempurna semua Dharma-sastra, dan memperoleh segala ilmu melalui pelayanannya kepada suami.

Mantra 10-16 mengungkapkan bagaimana Anusuya bersujud kepada suaminya dan memohon pengetahuan rahasia ini. Dia berkata, “Oh Bhagavan, junjunganku yang maha-mengetahui, Guru dari para bijak. Anda sudah mengungkapkan semua sastra dan memberkati hamba dengan berbagai upadesham (ajaran suci). Hamba telah memahami dengan jelas intisari segala pengetahuan dan juga “buah” yang mereka hasilkan. Menurut hemat hamba dari semuanya tidak ada yang sebaik Bhagavata-dharma, dan Pancaratra-agama adalah yang termulia. Walau demikian dalam upadesham-mu hamba memperhatikan satu hal. Kapanpun Anda menguraikan Bhagavata-dharma, sungguh mengejutkan karena Anda tidak pernah menyinggung Vaibhavam (uraian kemuliaan dan kebenaran sejati) mengenai Mahalaksmi. Sejauh ini Anda belum pernah menjelaskan secara terperinci bagian-bagian sastra suci yang berkaitan dengan Mahalaksmi-tattva, apakah karena topik ini demikian rahasia ataukah karena hamba tidak pernah mempertanyakannya kepada Anda? Hamba sangat ingin memahami Mahalaksmi Vaibhavam yang sangat istimewa itu. Siapakah sejatinya Beliau itu (svarupa), bagaimana Beliau mengungkapkan Diri-Nya, apakah sumber-sumber Pramana yang dapat memahami Beliau, apakah Inti Terdalam dari Beliau, bagaimanakah cara mencapai-Nya, dan apakah yang kita dapatkan dengan Beliau sebagai Rakshaki (Pelindung) kita? Anda adalah Acharya dan juga suami hamba yang termulia! Anda menguasai berbagai Brahma-vidya untuk mencapai Parambrahman dan juga mahir dalam semua tattva. Maka berkatilah hamba yang bersujud di hadapan Anda demi memahami jalan sejati, pengetahuan rahasia tentang Mahalaksmi.”

Puas mendengar pertanyaan ini dari istrinya, dengan penuh sukacita Sang Maharishi menjawab sebagaimana dijelaskan dalam mantra ke 17-20. “Sayangku, yang mahir segala dharma dengan sempurna. Engkau sudah mengingatkanku akan ajaran yang belum kuberikan selama ini. Aku menunggu engkau bertanya mengenai hal ini. Oleh karena itu kinilah saatnya aku memberikan upadesham atas Mahalaksmi-tattva. Wahai yang terkasih, ketahuilah bahwa kemuliaan Sang Ibunda dijunjung di atas kepala semua Upanishad, mahkota semua Veda. Mahalaksmi-tattva bersemayam secara kekal dalam Veda-sirah (puncak kepala Veda). Kini engkau memiliki adhikara (pancapaian spiritual yang memberikan kepantasan) untuk mendengarnya berkat pertapaan dan kesetiaanmu yang tiada bandingannya. Suatu ketika Maharishi Narada juga ditemui oleh para Rishi dari Malaya-desham yang memiliki pertanyaan sama denganmu. Mereka adalah para Brahma-jnani (orang-orang yang sudah mencapai pencerahan tentang Brahman), ahli yang terpercaya dalam mengajarkan Bhagavata-dharma (Pancaratra-sastram), dan adalah pelaksana berbagai Yajna yang paling dimuliakan.”

Mahalakshmi, Sang Ibunda Tertinggi, melahirkan dan memelihara alam semesta sebagai kekuatan Tuhan yang asli (Adi-parashakti) hadir dalam berbagai aspek-Nya yaitu Astalakshmi (Delapan Lakshmi). Kekuatan Mahapencipta hadir sebagai Santana-lakshmi, kekuatan Kejayaan hadir sebagai Vira-lakshmi, kekuatan Kekayaan tak terbatas hadir sebagai Dhana-lakshmi, dsb.

Dari uraian di atas kita memahami bagaimana pada masyarakat Veda, seorang perempuan bisa memiliki pemahaman sempurna atas segala pengetahuan. Tanpa pertanyaan dari Anusuya, maka dunia tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan Sri Laksmi Tantram ini. Bahkan suaminya sendiri dengan jujur mengakui bahwa istrinya telah memiliki adhikara atau kepantasan untuk menerima ajaran suci yang sangat rahasia, tersimpan dalam puncak semua Upanishad. Tanpa ragu dia memuji istrinya, memperbandingkannya dengan para Rishi dari Malaya-desham yang menemui Maharishi Narada dengan pertanyaan yang sama. Singkatnya beliau mengatakan bahwa kualitas spiritual istrinya adalah sama dengan para Rishi itu dan pertanyaannya membuktikan itu semua. Ajaibnya, Anusuya memperoleh pencerahan rohani yang sangat tinggi itu berkat kekuatan pertapaannya sebagai Pati-vrata.

Pati-vrata dimaknai sebagai seorang istri yang melaksanakan kewajibannya dengan sangat sempurna, tulus, dan penuh kesetiaan. Anusuya adalah contoh sebaik-baiknya seorang Pati-vrata. Ada perempuan yang berusaha mencapai keberhasilan dalam hidupnya, seperti dalam karir atau pendidikan, namun mengabaikan kewajibannya terhadap keluarga. Ada pula perempuan yang sibuk melayani keluarganya tanpa memperdulikan perkembangan dirinya sendiri. Tetapi dalam Veda, kaum perempuan diharapkan dapat seperti Anusuya, sempurna dalam keduanya. Suaminya adalah Rishi agung Atri, anak-anaknya adalah Tri Natha atau Tiga Devata Sendiri yang dipuja oleh seluruh alam semesta, dan dirinya sendiri adalah seorang yang tercerahkan, memahami semua pengetahuan, dan menguasai segala ilmu. Tentu pada jaman ini sangat sulit menemukan pribadi seperti mereka, bahkan tidak mungkin! Namun ini menunjukkan bagaimana Veda memuliakan potensi yang dapat dimiliki seorang perempuan. Kaum laki-laki, dalam hal ini dicontohkan oleh Atri sebagai suaminya, bukan saja tidak menghalangi kemajuan istrinya, tetapi justru dengan jujur memujinya, merayakan pencapaiannya dan mendukungnya untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut. Pengetahuan, bahkan yang paling rahasia sekalipun dalam Veda, tidak dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Di sisi lain perempuan juga bukan sekedar pendamping dan pelengkap seorang laki-laki seperti dalam ajaran agama lain. Potensinya sangat besar dan perannya begitu vital. Bayangkan saja apabila Anusuya hidup seperti perempuan-perempuan di Negara-negara berideologi tertentu yang dijauhkan dari pendidikan. Lalu laki-lakinya hanya hidup seperti binatang tanpa pencerahan rohani apapun, tetapi hanya menuntut pelayanan dari lawan jenisnya dalam hal-hal badaniah saja. Kita tidak akan pernah mengetahui Sri Laksmi Tantram ini!

Tentu saja Sri Laksmi Tantram tidak sekedar membahas peranan wanita. Seperti diuraikan sebelumnya, ini adalah salah satu kitab ajaran rahasia (Rahasya-jnana-grantham). Dia mengungkapkan kesejatian tentang Mahalaksmi, Sang Devi, Kebenaran Tertinggi dalam Wujud Feminin-Nya, “Sosok Tuhan Perempuan”. Namun keberadaannya membuktikan betapa terhormatnya kedudukan dan pentingnya peran perempuan dalam Veda.

Minggu, 20 September 2009

Saktya-avesha Buddha

Ada pula beberapa orang Hindu yang mengatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha Avatara. Saktya-avesha berarti seorang jiva-tattva atau makhluk hidup biasa yang diberikan kuasa khusus dan kekuatan khusus dari aspek tertentu Tuhan. Sebagai contoh adalah para Avatara seperti Narada, Mahidasa, dan Empat Kumara. Kekuatan Tuhan bekerja melalui mereka, sekalipun mereka sendiri adalah makhluk hidup biasa. Seperti dibahas pada posting-posting sebelumnya, dalam tradisi Vaishnava-vedanta kita memahami adanya tiga tattva utama, atau adanya tiga kenyataan yaitu ishvara, cit, dan acit. Cit dan acit tergantung pada ishvara, sedangkan ishvara atau Tuhan Tertinggi adalah merdeka sepenuhnya, tidak tergantung pada apapun juga (paramasvatantra). "Biasa" di sini dengan pengertian bahwa mereka bukan tergolong ishvara-vargam atau ishvara-tattva, namun adalah cit-tattva. Memang benar Buddha dianggap salah satu Saktya-avesha sesuai dengan keyakinan bahwa Tuhan Sendiri secara Pribadi tidak menjelma pada jaman Kali sebagai Avatara. Dalam Veda dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada Avatara pada Kaliyuga, sehingga dengan demikian tentu saja Buddha bukan termasuk golongan Avatara seperti Rama, Nrisimha, Vamana, dan sebagainya, tetapi termasuk golongan Saktya-avesha.

Gambar lama Dasa-avatara. Buddhadeva pada pojok kanan atas. Tidak ditampilkan seperti gambaran Buddha biasanya, namun lebih menyerupai Vishnu Sendiri. Tidak ada klaim kepemilikan terhadap Gautama Buddha oleh umat Hindu, apalagi dari golongan Vaishnava seperti sering dinyatakan oleh orang-orang.

Walau demikian, menurut berbagai catatan dalam Veda dan Purana, yang juga diperjelas oleh Sri Jiva Gosvami dalam Sri Krishna Sandarbha, Sarva-samvadini-tika, dan Vishnu-dharmottara, dikatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha yang turun pada saat jaman Kali sudah berjalan selama 2000 tahun (tatah ity ayam kaler abda-sahasra-dvitiye gate vyaktah). Itu berarti sekitar 3500-4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyamuni atau Buddha Gautama hidup 2500 tahun yang lalu. Jadi jelas bahwa Buddha yang dimaksud dalam Veda bukanlah Buddha historis, melainkan Buddha lain yang oleh Amarasingha disebut sebagai Sugata Buddha. Sugata Buddha inilah yang disebut sebagai Saktya-avesha dari Vishnu, bukan Sakyamuni Buddha. Kemudian dalam Dasa-avatara-stotra, Sri Vadiraja Tirtha menjelaskan bahwa Vishnu-avatara Buddha mengajarkan dharma Kebuddhaan di alam surga kepada para deva, sedangkan Sakyamuni, yang dikatakan sebagai putra Suddhodana mengajar di alam manusia. Buddha yang dipuja oleh umat Hindu, khususnya para Vaishnava, adalah Sugata Buddha ini atau yang oleh Sri Vadiraja disebut Paramatma Buddha. Saat ini biografi Sakyamuni atau Gautama Buddha yang tersedia adalah kitab-kitab Lalitavishtara, Jatakamala (kisah-kisah kelahiran Buddha sebelum mencapai kebuddhaan), dan Buddhacarita yang lebih baru. Di sisi lain Sugata Buddha dikisahkan dalam bentuk prediksi oleh Purana-purana Hindu, karena Purana dalam bentuk tertulis disusun oleh Vedavyasa hampir 6000 tahun yang lalu. Ribuan tahun lebih awal dari kemunculan Buddha, baik Sugata Buddha maupun Sakyamuni Buddha. Bahkan dalam Srimad Bhagavatam juga dikisahkan adanya 2 Buddha berbeda karena Purana Hindu mencatat hampir semua kejadian relijius penting di setiap kalpa yang berbeda. Bila kita bandingkan kisah kehidupan Buddha Hindu dalam Purana dengan Buddhanya umat Buddha, maka akan jelas tampak sekali perbedaannya.

Gambaran Buddha dalam masyarakat Hindu lebih menyerupai pencitraan Vishnu tradisional dengan dua dvarapalaka Vaikuntha atau para Divyasuri

Hindu dan Buddhisme, sekalipun memiliki banyak persamaan, namun juga berdiri pada dasar konsep ketuhanan yang berbeda. Umat Buddha tidak perlu merasa keberatan dengan keyakinan Hindu bahwa Buddha adalah salah satu Avatara Vishnu. Di luar ada tidaknya dampak politis dari keyakinan ini, setidaknya secara filosofis Buddha yang dimaksud oleh kedua belah pihak tidaklah sama. Umat Hindu juga tidak benar memaksakan bahwa Sakyamuni merupakan Buddha-avatara dari Vishnu. Dalam literatur Veda sendiri tidak ada bukti-bukti yang mendukung hal ini, tidak pula dalam tulisan para guru Hindu terdahulu. Tampaknya keyakinan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Avatara adalah kesalahpahaman yang terlanjur populer dan disebar luaskan oleh mereka yang berada di luar tradisi Veda otentik. Satu-satunya penjelasan adalah oleh karena kebesaran nama Buddha historis sendiri dan juga oleh pemikiran para sarjana Barat yang menganggap tidak mungkin ada catatan sejarah lebih tua lagi dari jaman Buddha historis 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak percaya bila sebelum masa itu sudah ada peradaban rohani Vaidika yang telah berkembang sangat tinggi.

Jumat, 18 September 2009

Tempat Pemujaan Buddhadeva bagi Vaishnava (Hindu)

Bila ada pertanyaan, apakah Vaishnava memuja Buddha? Maka jawabannya YA, tetapi bukan dalam Vihara Buddhis, karena ini bukan tempat sembahyang bagi para pengikut Veda. Buddhis tidak menerima Veda sebagai kebenaran, karena itu tidak sepantasnya para Vaishnava turut memuja Buddha di Vihara, di samping konsep Buddha yang dipegang oleh kedua ajaran juga berbeda. Namun bukan larangan bagi Vaishnava maupun umat Hindu yang lain untuk pergi ke Vihara dan menghormati "Buddhanya umat Buddha". Bagaimanapun juga kita memuliakan Sakyasingha Buddha atau Gautama Buddha sebagai pribadi yang terhormat. Seorang guru agung bagi banyak orang yang juga turut kita ajak bersama-sama berbagi susah dan senang bersama di dunia ini.

Pura Agung Jagannath di Puri, Orissa, India

Lalu di manakah para Vaishnava memuja Buddhadeva? Tentunya di Jagannath Puri, Orissa. Karena kita memuja Jagannath sebagai Param-brahman, dan Buddhadeva adalah salah satu wujud-Nya. Selain itu umat Hindu juga memuja Buddhadeva di Mahabodhi Vihara, di Bihar. Buddhadeva yang dipuja oleh Vaishnava merupakan salah satu wujud manifestasi Jagannath yang adalah Adi-Buddha, sumber semua potensi pencerahan, bukan Buddha Sakyasingha, Buddha historis yang merupakan manusia dan guru besar yang telah mencapai pencerahan, pendiri agama Buddha yang masih ada di jaman modern ini. Vajrasana atau Mahabodhi Vihara dinyatakan sebagai tempat pemujaan Adi-Buddha, jadi tidak mengkhusus pada peringatan pencapaian pencerahan Buddha historis saja. Lalitavistara bab 21 menyatakan bahwa Sakyasingha (Siddhartha) duduk di bawah pohon Bodhi di Vajrasana demi mencapai pencerahan sebagaimana para Buddha sebelumnya (purvabuddhasanasthah). Jadi jelas bahwa Mahabodhi Vihara tidak hanya dimaksudkan sebagai monumen peringatan pencapaian pencerahan Sakyasingha saja, melainkan semua Buddha sebelumnya. Dengan kata lain Mahabodhi merupakan tempat memuja hakikat tertinggi Kebuddhaan itu sendiri yang disebut Adi-Buddha dalam Vajrayana dan Vishnu-avatara Buddha atau Jagannath dalam Vaishnavisme. Inilah sebabnya mengapa para Vaishnava hanya bersembahyang pada Buddha di Mahabodhi Vihara saja.

Mahabodhi Vihara, Bihar

Arca Buddha dalam Mahabodhi Vihara. Satu-satunya Arca Buddha di India yang dipuja oleh umat Hindu ortodoks

Gaya-ksetra, tempat perziarahan suci dalam Veda bahkan sebelum munculnya Gautama Buddha historis

Bagaimana dengan para Vaishnava dan umat Hindu Indonesia secara umum? Apakah harus ke India dulu untuk bisa memuja Buddha? Untuk ini kita harus "melihat" sejarah. Dari sumber-sumber Buddhisme di Cina, dikatakan bahwa raja Subhakarasingha dari Odra atau Orissa berjasa dalam membawa agama Buddha ke Cina. Subhakarasingha dikatakan merintis penyebaran agama Buddha ke Cina dengan membawa Mahavairochana-sutra dan sebuah kitab ikonografi memuat berbagai mandala yang bernama Sarvatathagatha-tattvasamgraha yang secara khusus menekankan pentingnya Mahavairochana. Mahavairochana di sini juga merepresentasikan kembali konsep Adi-Buddha-Jagannath yang sudah berkembang di Orissa sebelumnya. Mandala-mandala terkenal yang berkaitan dengan ajaran ini antara lain Mahakaruna-garbhodbhava-mandala dan Vajradhatu-mandala. Ajaran-ajaran ini memang mencapai popularitasnya pada awal abad ke-8 di Orissa. Jagannath yang dipuja di Orissa sebagai Adi-Buddha sekali lagi mendapat tempat-Nya di pusat Vajradhatu-mandala sebagai Mahavairochana. Para sejarawan di Orissa meyakini bahwa ajaran ini mencapai Cina setelah melalui Sumatra dan Jawa, di Indonesia. Ajaran tentang Mahavairochana ini masih dianut di Cina dan Jepang sampai sekarang.

Ajaran ini juga berkembang dengan kuat di Indonesia di masa kejayaan Srivijaya-Sumatra dan Mataram-Jawa, bisa dilihat dari isi kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantrayana, yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh sebagian umat Buddha Indonesia. Bahkan lebih dari itu ternyata juga sampai pada jaman Majapahit yang melahirkan konsep Siva-Buddha sebagaimana ditemukan dalam kitab Sutasoma. Buddhisme Indonesia tampaknya merupakan turunan Mahayana-Vajrayana-Mantrayana. Para praktisi ajaran ini menyebut diri mereka mengikuti Dharma Kasugatan. Memang Buddha historis juga disebut dengan gelar Sugata, tetapi Amarasingha terutama menggunakan nama Sugata Buddha untuk menyebut Vishnu-avatara Buddha. Melihat pelaksanaan Dharma Kasugatan dan keyakinannya akan konsep Adi-Buddha yang theistik, maka tampaknya Buddhisme Indonesia ini bersifat Vajrayana. Theravada, yang lebih bersifat non-theistik, mazhab Buddhisme terbesar di Asia Tenggara dan Srilanka tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Buddhisme Indonesia di masa lampau, yang sekarang sisa-sisanya masih ditemukan di beberapa tempat. Kompleks Candi Borobudur merupakan pengejawantahan fisik dari ajaran ini.

Candi Buddha terbesar di dunia ini merupakan Vajradhatu-mandala tiga dimensi yang luar biasa, dengan Mahavairochana di pusatnya, yang dilambangkan dengan stupa induk Borobudur. Sedangkan Mendut merupakan mandala Buddha Mahavairochana yang juga diuraikan dalam Kamahayanikan. Mahavairochana Buddha kembali mewakili konsep Adi-Buddha dan Jagannath yang juga diyakini dan dipuja oleh Vaishnava. Di antara kedua candi ini, yang posisinya membentuk garis lurus, terdapat Candi Pawon. Pawon merupakan tempat puja Homa atau Agnihotra, sebuah ritual api suci yang nyaris hanya dilaksanakan dalam Vajrayana saja, selain dalam agama Hindu tentunya. Homa juga masih dilaksanakan oleh para pengikut Shingon Buddhisme di Jepang, salah satu cabang Tantra Buddha yang juga memuliakan Mahavairochana. Di Jepang upacara ini disebut Goma. Poros Mendut-Pawon-Borobudur dengan jelas menggambarkan konsep dan ajaran agama Buddha mana yang diterapkan di sini.
Dengan demikian kompleks Borobudur merupakan satu lagi tempat suci Buddha yang juga boleh menjadi tempat persembahyangan Vaishnava, setelah Mahabodhi Vihara di Gaya (Bihar). Sehingga secara spiritual tidak mengherankan bila Borobudur-Buddhis dibangun serangkaian dengan kompleks Candi Prambanan-Hindu (Prambanan=Param-brahman=Para-vasudeva). Borobudur dibangun berdasarkan konsep bahwa dia merepresentasikan Kebuddhaan Tertinggi dalam Vajradhatu-mandala yang berpusat pada Mahavairochana. Mahavairochana adalah Adi-Buddha yang adalah Jagannath atau Vishnu sebagai Svayam-bhagavan-para-vasudeva atau Param-brahman. Sedangkan Prambanan menghadirkan Param-brahman dalam representasi Tri Natha, Tri Deva, atau Tri Murti. Keduanya menyatakan Kebenaran Mutlak Tertinggi yang sama! Sehingga bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya para Vaishnava, di candi-candi inilah mereka dapat memuja Buddhadeva.

Sebagai kesimpulan dapatlah kita nyatakan bahwa Sakyamuni, Sakyasingha, atau Gautama yang dikenal sebagai Buddha historis bukanlah Buddha yang dipuja oleh para Vaishnava sebagai Vishnu-avatara Buddha. Sakyasingha merupakan guru agung yang telah mengalami pencerahan tidak disembah oleh para Vaishnava, bahkan kenyataannya umat Buddha pun juga tidak menyembahnya. Umat Buddha hanya menghormatinya sebagai guru pembimbing, teladan yang tiada taranya bagi mereka. Buddha yang dimaksud oleh para Vaishnava berbeda dengan yang dimuliakan oleh umat Buddha sebagai pendiri agamanya. Perbedaan ini terutama sangat jelas sehubungan dengan pandangan kalangan Theravada dari Buddhisme. Selama ini golongan Vaishnava dianggap bertanggung jawab atas masuk atau diserapnya Buddha historis sebagai salah satu Avatara serta memperoleh kehormatan dalam pantheon deva-deva Hindu. Ini tidaklah benar! Pemujaan Vaishnava kepada Buddhadeva mendahului kemunculan Sakyamuni atau Buddha historis.

catatan: Kamahayanikan memang menyatakan bahwa Mahavairochana memancar dari wajah Sakyasingha. Namun sekali lagi, ini tampaknya tidak bersesuaian dengan keyakinan Buddhis populer yang memandang Gautama Buddha hanya sebagai pribadi agung yang telah mencapai pencerahan sempurna tanpa mengidentifikasikannya dengan makhluk illahi apapun. Akan tetapi, ketika kita berjumpa dengan konsep Trikaya Buddha dalam Mahayana-Vajrayana atau Dharma Kasugatan, maka kita akan menemukan hal yang hampir sama sekali berbeda dengan pandangan Buddhis tradisionalis (Theravadin). Konsep Trikaya Buddha lebih dekat dengan pemahaman Buddhadeva dalam Vaishnavisme. Dharmakaya Buddha adalah Jagannath atau Adi-buddha yang paralel dengan Para-vasudeva dalam Vaishnava-tantra. Sambhogakaya Buddha paralel dengan Vaibhava-avatara Buddha. Nirmanakaya Buddha adalah Sugata Buddha dalam Vaishnavisme (sedangkan dalam Mahayana-Vajrayana saat ini adalah Sakyamuni Buddha). Penelitian yang dilakukan oleh Bhakti Ananda Goswamy di berbagai negara Buddhis menunjukkan adanya kesejajaran teologi antara Vaishnavisme dengan berbagai pandangan denominasi-denominasi Mahayana-Vajrayana. Penelitian beliau tentang ajaran Sukhavati (Pure Land Buddhism/Tanah Suci) memperoleh kesimpulan yang mirip dengan observasi saya pada Vajrayana Kalinga dan hasil diskusi saya bersama Prof. Fakir Mohan Das Sahityacharya dari Uttkal University, Orissa. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa Sakyamuni atau Gautama Buddha yang dikenal dalam komunitas Theravadin adalah 100% bukan Avatara Vishnu, sekalipun kesimpulan yang kurang tegas akan muncul bila kita membicarakan Buddha dalam pandangan Mahayana-Vajrayana (apakah Buddha mereka sama dengan Buddha yang dimaksud oleh pengikut Veda).

Kamis, 17 September 2009

kesalahpahaman tentang buddha-avatara (2)

Secara teologis dan ontologis, Buddha di kedua agama ini berbeda. Tetapi dari agama Buddha sendiri, kita mendapatkan sedikit informasi. Sumber-sumber dalam tradisi Vajrayana Tibet, salah satunya Taranatha, menyebutkan bahwa pada masa Buddha Sakyasingha terdapat seorang raja di daerah Oddiyana yang bernama Indrabhuti, yang kebetulan juga seusia dengan Buddha. Dalam kisah munculnya Vajrayana yang bersifat metafisik, dikatakan bahwa Indrabhuti berkeinginan mendapatkan ajaran dari Sakyasingha, yang memungkinkannya mencapai pencerahan tertinggi dalam satu tubuh, satu kehidupan, bebas dari segala kemelekatan tanpa harus meninggalkan fungsinya di kehidupan sekarang, dalam hal ini tentu adalah tugas dan kewajibannya sebagai raja. Sakyasingha lalu metransmisikan ajaran Vajrayana kepadanya, khususnya ajaran Guhyasamaja-mula-tantra. Selain itu Buddha juga mentransmisikan berbagai emenasi Anuttarayoga-tantra lainnya seperti Sri Kalachakra, Hevajra, dan Cakrasamvara. Jadilah Indrabhuti sebagai salah satu penerima awal ajaran Buddha Tantrayana atau Vajrayana. Dia mempraktikkan ajaran ini, mengembangkan, dan menyebarluaskannya di seluruh wilayah Oddiyana.

Taranatha
Tersebut dalam legenda-sejarah Blue Annals, bahwa Munindra sendiri (Buddha Sakyasingha) mengajarkan Guhyasamaja kepada Indrabhuti dari Oddiyana. Seorang yogini dari alam Naga menerimanya dari Indrabhuti, lalu mengajarkannya kepada raja Visukalpa dari India Selatan. Mahasiddha Saraha mempelajarinya dari raja ini untuk kemudian diturunkan kepada Acharya Nagarjuna, tokoh Buddhisme Mahayana terbesar setelah masa Sakyasingha. Jadi bisa disimpulkan bahwa Oddiyana, yang banyak disebut-sebut dalam berbagai literatur Tantra, terutama yang masih dilestarikan di Tibet, merupakan pusat Vajrayana, bahkan kemungkinan besar merupakan tempat awal munculnya Vajrayana. Kerajaan kuno Oddiyana diperkirakan oleh beberapa orang sebagai suatu daerah di India bagian barat, kemungkinan di lembah Swat.

Indrabhuti

Mahasiddha Saraha

Acharya Nagarjuna

Namun penelitian para ahli sejarah India mendapatkan bahwa Oddiyana lebih tepat berada di negara bagian Orissa modern, di pesisir Timur India. Bukti-bukti kuat menunjukkan bahwa Orissa merupakan pusat Tantrayana yang besar selama berabad-abad, tidak seperti daerah Swat. Magnum-opus dari almarhum Prof. N.K. Sahu, “Buddhism in Orissa”, membuktikan semua ini dengan sumber-sumber tekstual maupun penemuan-penemuan arkeologis. Satu lagi didapatkan catatan mengenai Indrabhuti sebagai raja Sambhala, yang diperkirakan pula oleh para sejarawan sebagai pengajar utama Vajrayana secara historis. Vajrayana dari Indrabhuti ini menyebar ke Pascima Lanka yang diperintah oleh Jalendra, yang putranya menikah dengan saudari Indrabhuti yang bernama Laksmikara.

Laksminkara

Para sejarawan berpendapat bahwa Indrabhuti merupakan penggagas Vajrayana dan Laksmikara merupakan pengagas Sahajayana atau Dakini-tantra. Sambhala dan Lankapuri, di luar kemungkinan bahwa keduanya merupakan tempat di dimensi spiritual, diperkirakan sebagai Sambalpur dan Sonepur di Orissa modern. Konsep Adi-Buddha sendiri, sebagai total potensi pencerahan semua Buddha, sumber semua manifestasi Buddha dan Bodhisattva, khususnya dikenal dalam Vajrayana. Pada masa ketika Orissa menjadi pusat perkembangan agama Buddha Mahayana-Vajrayana, maka keyakinan ini berakar kuat dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu agama negara. Vajrayana, Tantrayana, atau Mantrayana dari Indrabhuti, meyakini bahwa pencerahan tertinggi Kebuddhaan dapat dicapai melalui pelaksanaan pelafalan mantra (japa) dan puja, dalam hidup ini juga. Terlepas dari kenyataan apakah Sakyasingha memang mengajarkan metode ini atau tidak, maka apabila kita secara ketat berpegang pada ajaran Buddha historis, adalah mustahil dapat memperoleh pencerahan dengan menggantungkan diri pada sarana-sarana seperti puja, penyembahan, dan sebagainya. Buddha historis mengatakan bahwa sepeninggal dirinya, para pengikutnya haruslah menjadi perahu untuk menyeberangkan diri mereka sendiri. Dia tidak dapat membantu mereka lagi. Lalu Buddha yang bagaimana yang dipuja dan dilafalkan mantranya oleh Indrabhuti? Sesuatu yang sangat menarik ditemukan dalam Jnanasiddhi karya Indrabhuti, yang menunjukkan keterkaitan antara Mahayana-Vajrayana dengan Vaishnavisme. Dinyatakan, “pranipatya jagannatham sarvajina-vararcitam sarva-buddha-mayam siddhi vyapinam gaganopamam, Persembahkan diri kepada Jagannath, yang disembah oleh mereka yang terbaik di antara pribadi-pribadi yang telah mengalahkan (insan-insan yang telah tercerahkan), yang adalah hakikat kesempurnaan semua Buddha, meresapi segala-galanya bagaikan angkasa yang tak terbatas.” (Jnanasiddhi 1.1). Sloka ini menyatakan pujian kepada Adi-Buddha. Identifikasi Adi-Buddha dengan Jagannath menjadi semakin bermakna apabila kita memperhatikan kenyataan bahwa keyakinan Vajrayana ini berkembang di Orissa, yang memiliki Jagannath sebagai Pujaan Utama, jauh sebelum agama Buddha mulai tersebar luas. Sri Jagannath yang dipuja oleh seluruh rakyat Orissa sampai saat ini di Pura Agung-Nya di Puri adalah personifikasi Adi-Buddha dalam Vajrayana. Sedangkan para Vaishnava memuja Jagannath ini sebagai Vishnu, Kebenaran Mutlak Tertinggi yang meresapi segalanya. Vishnu juga diuraikan dengan perumpamaan gaganam (angkasa/langit) seperti Jagannath-Buddha dalam Jnanasiddhi Indrabhuti. Vishnu dinyatakan sebagai gaganasaddrusham, hakikat ketidakterbatasan yang diumpamakan angkasa. Indrabhuti tidak mengidentikkan Buddhanya dengan Sakyasingha, Buddha historis, melainkan dengan suatu Buddha yang bersifat adi duniawi, yaitu Jagannath Buddha. Jagannath yang sampai sekarang dipuja di Orissa adalah Buddhadeva dalam Vaishnavisme yang tidak berbeda dari Vishnu! Kami tidak mengatakan bahwa umat Hindu, khususnya Vaishnava, mengubah Adi-Buddha menjadi Vishnu atau sebaliknya. Tetapi kita bisa melihat bahwa keyakinan dan cara pandang Buddhisme Vajrayana terhadap Adi-Buddha dan Vaishnava terhadap Vishnu memiliki keparalelan. Kesejajaran ini terutama mencapai keharmonisannya dalam pemujaan Jagannath di Orissa. Sri Jagannath kemudian hadir sebagai Adi-Buddha bagi umat Buddha dan sebagai Mahavishnu atau Krishna bagi Vaishnava.

Jagannath-Buddha. Perhatikan gambar sepuluh Avatar dalam lingkaran. Bawah, no. 2 dari kiri adalah Buddhadeva (sebelum Kalkideva). Rupa Buddhadeva identik dengan Jagannath berwarna hitam atau biru gelap. Bandingkan dengan gambar Adi-Buddha Samantabhadra di bawah ini.


Informasi lain juga bisa kita temukan dari Amarakosha. Amarasingha yang menyusun kamus Amarakosha membedakan antara Vishnu-avatara Buddha yang dinamainya Sugata Buddha dengan Buddha historis yang disebut sebagai Sakyamuni atau Sakyasingha. Lankavatara-sutra juga menyatakan seorang Buddha yang berbeda dan mendahului Sakyamuni. Lebih tegasnya kitab-kitab suci Hindu-Vaishnava yang menyebutkan tentang Buddha seperti Nrisingha-purana, Vishnu-purana, Agni Purana, Vayu-purana, Skanda-purana dan sebuah naskah yang bernama Nirnaya-sindhu memuat catatan astronomis yang menyatakan saat kemunculan Buddha-avatara dari Vishnu di dunia. Berdasarkan perhitungan astronomis tersebut dapat disimpulkan bahwa Buddha yang dipuja oleh Vaishnava hidup pada 4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyasingha hidup 2500 tahun yang lalu.


Bandingkan juga penggambaran Adi-Buddha di stupa Bouddhanath (gambaran mata yang menonjol) dan Jagannath di Puri-Orissa ini

Dengan adanya catatan ini, sebagian sarjana Vaishnava berpendapat bahwa Buddha-avatara juga mewujud secara fisik di dunia pada masa yang mendahului Sakyasingha. Dia mengajarkan Dharma yang kemudian kembali diajarkan oleh Sakyasingha, setelah dia menemukannya dalam pengalaman pencerahan di Vajrasana, Gaya. Ada pula yang berpendapat bahwa potensi Buddhadeva mewujudkan diri dalam Sakyasingha. Jadi Sakyasingha hanyalah manusia biasa yang mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga dia dapat menjadi wadah yang tepat bagi potensi itu. Ini tentu merupakan sudut pandang Vaishnava yang tidak berhubungan dengan doktrin Buddhis manapun. Hanya saja menegaskan sekali lagi bahwa Buddhanya Vaishnava dengan Guru Agung Sakyasingha adalah berbeda. Hal ini juga bukan sesuatu yang istimewa dalam sejarah Veda. Keadaan serupa juga terdapat pada kasus Kapila-avatara. Memang ada dua Kapila. Satu Kapila merupakan Kapila-avatara, inkarnasi Vishnu, yang mengajarkan ajaran Sankhya theistik dalam Kapila-gita. Sedangkan satu Kapila lain adalah seorang filsuf yang mengajarkan Sankhya atheistik. Kapila-avatara hidup pada masa yang mendahului Kapila sang filsuf. Kita juga mengenal dua Risabhadeva. Satu adalah Vishnu-avatara, sedangkan yang satunya lagi adalah seorang Arhat dalam agama Jain.


Sarva-avatari Svayam Bhagavan
SRI JAGANNATHDEVA

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking