Kamis, 20 Mei 2010
BHISMA STUTI
Semoga Rupa Yang Terindah dari segala keindahan di ketiga dunia ini, dengan warna kebiruan yang gilang-gemilang bagaikan pohon Tamala, bersinar kemilauan oleh busana kuning yang bercahaya bagaikan mentari terbit di pagi hari, dan yang wajah-Nya dipercantik oleh rambut-rambut ikal yang mempesona, senantiasa tetap bersemayam dalam pikiranku untuk selama-lamanya.
Saat Sang Sais mengendarai kereta-Nya di medan perang dengan sangat cepat, debu-debu yang berterbangan oleh deru lajunya mendarat di wajah dan rambut-Nya. ketika Sang Junjungan memacu gerak kereta dengan sangat cepat, rambut-rambut ikal-Nya tergerai jatuh di pipi dan Dia tak sempat merapikan atau menggelungnya. Sedemikian besarnya kesungguhan Tuhan membantu memusnahkan musuh-musuh Pandava. Bulir-bulir keringat bagai permata membasahi wajah-Nya, walau sedikitpun kesegaran ketampanan-Nya tidak berkurang olehnya. Pada suatu ketika, luka-luka yang disebabkan oleh panah-panahku yang tajam membuat darah menetes dari dada-Nya. Semoga pikiranku senantiasa terpusat pada keindahan yang belum pernah ditampakkan sebelumnya, yaitu ketika Tuhan Sendiri melayani hamba-Nya, Arjuna!
Begitu memasuki medan pertempuran, Sri Parthasarathi mematuhi perintah sahabat-Nya, Arjuna, untuk membawa kereta mereka di antara kedua balatentara yang siap berperang. Tuhan kita menerima Arjuna sebagai junjungan-Nya dan mematuhi apa yang dititahkannya. Dengan pandangan mata-Nya yang melirik ke arah pasukan Kaurava, Dia telah mencuri umur dan kehidupan dari semua tentara berikut para panglimanya. Semoga Tuhan, yang merupakan penyebab sejati musnah binasanya pasukan Kaurava, senantiasa bersemayam dalam pikiranku.
Semoga batinku memeluk erat kaki Tuhan Tertinggi Yang Mahasuci, yang menyingkirkan kegelapan batin Arjuna melalui Upadesha-Nya mengenai Atma-tattva dan Dharma. Semoga pikiranku selalu terpusat kepada kaki Sang Paramatma, yang telah membebaskan Arjuna dari pikirannya yang kalut memikirkan kemungkinan pembantaian sanak keluarga dan guru-gurunya yang akan segera terjadi dalam perang yang sudah ada di depan mata dan juga kekhawatiran akan dosa-dosa yang timbul oleh tindakannya dalam pertempuran besar itu.
Aku bersumpah akan membuat-Nya angkat senjata, walaupun Dia berjanji tidak akan turut bertempur dalam peperangan besar itu. Betapa kebahagiaan yang kurasakan saat menyaksikan Tuhan melompat turun dari tempat duduk-Nya di kereta perang dan mengabaikan janji-Nya yang setara dengan kata-kata Veda nan suci, demi membuat sumpahku menjadi nyata. Berlari ke arahku seperti seekor singa ganas yang siap membunuh gajah! Begitu Dia menyentuh tanah, bumi berguncang oleh berat-Nya, pakaian atas-Nya terlepas seakan tanpa sepengetahuan-Nya. Baju zirah-Nya compang-camping oleh tembusan anak-anak panahku. Dengan Sudarsana di tangan-Nya, Dia menuju ke arahku untuk segera membinasakanku berikut semua senjataku. Oh, Bhakta-vatsala Teragung, Yang Mahapengasih, telah memberikan hidup pada satu hamba-Nya (Arjuna) dan menggenapi kata-kata hamba-Nya yang lain. Semoga Sri Mukunda itu, menjadi satu-satunya tempatku berlindung dan satu-satunya penyelamat bagi diriku!
Detik-detik terakhir hidupku, semoga batinku terpancang kuat pada Sang Bhagavan itu, yang bersumpah akan melindungi kereta Arjuna sebagai darah daging-Nya Sendiri dan membuktikannya pula secara nyata. Semoga hamba ini diberkati untuk melihat Rupa-Nya sebagai Sri Parthasarathi yang tampan, dengan cemeti pengendali kuda-kuda di tangan, dan pesona-Nya mencuri hati semua orang. Sungguhlah mereka semua yang gugur di medan perang telah mencapai Moksha, hanya karena mereka beruntung telah memandang Tuhan Sendiri dengan mata kepalanya.
Para Gopi, sekalipun dikatakan tidak memiliki pengetahuan yang tinggi, namun mencapai pembebasan tertinggi dengan melihat Lila rohani Tuhan. Para Gopi ini dikasihi, dicintai, dan dimuliakan oleh Tuhan Sendiri. Mereka sepenuhnya bersama Tuhan dan terlibat dalam berbagai permainan sukacita-Nya. Mereka sungguh beruntung hanya dengan melihat gerak langkah, canda ria, senyum manis, lirikan kasih dan cinta Tuhan. Jika demikian tidaklah mengherankan para ksatriya yang gugur itu pun akan mencapai pembebasan.
Mereka yang berkumpul dalam Rajasuya-yajna Yudhistira, sidang para Rishi dan raja-raja yang termashyur, semua memuji keindahan-Nya yang tiada bandingannya dan pandangan penuh kasih-Nya. Mereka mempersembahkan berbagai haturan kepada-Nya. Tuhan itu, yang menerima semua penyembahan ini, telah berdiri di hadapanku dan memberkatiku dengan sukacita darshana-Nya. Anugerah yang kuterima sungguh tak terukur dan tak ada bandingannya!
Aku kini sudah menginsafi Tuhan Tertinggi Yang Mula, Yang Tiada Kelahiran bagi-Nya, bercahaya gemilang di dalam hati setiap insan ciptaan-Nya. Dengan menginsafi Kebenaran Tertinggi Yang Paling Akhir ini, semua kegelapan batinku telah sirna. Sang Surya yang bersinar terang di angkasa hanyalah Esa dan dilihat oleh semua mata yang memandangnya. Walau ada begitu banyak mata melihatnya, tetapi mentari itu sejatinya tidaklah berbeda-beda. Mentari yang sama dilihat pula dalam bayangannya yang terpantul oleh permukaan air di sedemikian banyak periuk, tetapi itu tetaplah matahari yang satu dan sama. Demikianlah Sang Jiwa Kehidupan Tertinggi yang dialami oleh tiada terhitung banyaknya Yogi dalam hatinya adalah tunggal dan sama. Kini aku sudah menginsafi kebenaran ini dan segalanya telah digenapi (tidak ada lagi yang tersisa semua sudah dikabulkan).
Demikianlah Sesepuh Agung keluarga Bharata memuliakan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna di tengah-tengah padang pertempuran, di atas pembaringan panah-panah. Dia mempersembahkan segenap pikiran, kata-kata, dan raganya ke hadirat kaki Tuhan yang tersuci. Atas perintah Tuhan, maka terciptalah keheningan dan kedamaian sempurna saat itu. Maka cahaya kehidupan Bhisma, hamba Tuhan yang agung, bersinar gemilang mencapai kaki padma Tuhan Sri Krishna.
Label:
bhisma stuti,
doa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar