
Pilar Heliodorus pertama kali menarik perhatian kalangan sarjana barat pada tahun 1877 dalam sebuah ekspedisi arkeologis yang dikepalai oleh Sir Alexander Cunningham. Setelah menganalisa gaya (style) dan bentuk pilar, Cunningham salah menyimpulkannya sebagai bangunan yang didirikan pada masa Kekaisaran Gupta (abad ke dua), tanpa pernah bermimpi bahwa di balik lapisan adonan merah (kumkum) di bagian bawah pilar, tersembunyi sebuah inskripsi. Walau demikian tigapuluh dua tahun kemudian pada 1901, seorang peneliti independen didampingi oleh Dr. J.H. Marshall, menyingkirkan lapisan lumpur merah itu. Pada inspeksi jarak dekat, nampak sebuah inskripsi yang memberi tahu kita bahwa pilar itu bukanlah dibangun pada abad ke dua dan juga bukan pada masa Kekaisaran Gupta sebagaimana disangka sebelumnya. Dr. Marshall kemudian menjelaskan dalam sebuah artikel yang dimuat di Journal of the Royal Asiatic Society, bahwa Cunningham sudah salah memperkirakan jaman dari pilar itu dan tidak pernah membayangkan nilai dari penemuan yang ia biarkan terlepas begitu saja dari genggamannya. Bahasa yang digunakan dalam inskripsi di pilar itu adalah Prakrit, suatu turunan Sanskrit, dan pandangan sekali saja pada aksara Brahmi yang digunakan akan dengan jelas mengindikasikan bahwa pilar tersebut jauh berabad-abad lebih tua dari tahun 200 CE. Ini sebuah kejutan besar bagi Dr. Marshall, tetapi apa yang membuatnya lebih kaget lagi, sekaligus juga menyentak masyarakat arkeologi internasional, adalah terjemahan dari inskripsi Brahmi kuno itu sendiri. Terbaca, “devadevasya väsudevasya garuòa dhvajaù ayaà kärétaù heliodoreëa bhägavatena diyasa putreëa täkñaçiläkena, Pilar Garuda ini dipersembahkan kepada Väsudeva, Tuhan di atas segala tuhan, dan telah didirikan di tempat ini oleh Heliodorus, seorang pengikut jalan pengabdian suci Bhägavata, putra dari Dion, dan seorang warga negara Täkñaçila.” Täkñaçila adalah Taxila, dan menurut buku ‘Select Inscriptions on Indian History and Civilization’ oleh Profesor Dines Candra Sircar, yang diterbitkan oleh University of Calcutta, lokasi tepat dari Taxila adalah di Distrik Rawalpindi, Pakistan Barat di masa kini.

Supaya mendapat gambaran sekilas, kita harus mengingat bahwa filsuf-filsuf Yunani terbesar, dimulai dari Phytagoras yang hidup pada 560 BCE, Socrates pada 450 BCE, Hippocrates pada 400 BCE, serta Plato dan Aristoteles pada 350 BCE, pada masa itu telah mengajarkan doktrin-doktrin mereka, mengumandangkan filsafatnya, menyusun buku-bukunya, dan mulai menyebarluaskan pengaruh mereka. Duta besar Heliodorus, sebagai salah satu di antara elit Yunani yang terpelajar pada abad ke dua BCE, tentu sudah akrab dengan reputasi dan semua filsafat yang mereka ajarkan. Dengan memperhatikan latar belakang sosial dan historis ini, betapa cemerlangnya seorang Duta besar Yunani, Heliodorus, yang menjadi seorang pengikut Vaishnava memuja Vasudeva Krishna, dan mewariskan sebuah pilar monumental, sebuah Garuda-stambha, sebagai saksi dan bukti bagi semua keturunannya atas keyakinannya ini. Pada tahun 1955 setelah melalui penelitian yang melelahkan, Dr. M.D. Khare menemukan pada daerah yang sama, peninggalan dari sebuah kompleks Pura yang besar dipersembahkan untuk memuja Krishna, yang juga berasal dari masa yang sama dengan pilar itu.
Untuk menyimpulkan uraian singkat ini, adalah jelas dan menarik bahwa melalui panjang lebarnya sejarah, kita dapat menguak detil-detil pribadi yang terkecil dan memberikan penerangan mengenai pengalaman hidup dan kejadian-kejadian transformasi pribadi dari satu individu. Terimakasih banyak pada Heliodorus dan pilarnya, sehingga membuat kita dapat melihat bahwa Vaishnavisme (dan ajaran Veda secara umum) merupakan sebuah ajaran yang begitu unggul, cukup untuk meluluhkan hati orang-orang Yunani yang terdidik dan berbudaya, dan juga cukup universal untuk dapat menerima mereka masuk ke dalam tingkat-tingkat kedudukan rohani yang terdapat dalam keyakinan tersebut, bahkan pada masa ketika kebudayaan India dan Eropa secara ideologis terpisah begitu jauh. Pilar Heliodorus menjadi bukti bahwa kebudayaan Veda telah memiliki pengaruh yang begitu luas dan kuat bagi Eropa. Paling tidak di masa itu, orang sepenting dan seterpelajar duta besar, seorang diplomat dari sebuah negeri berbudaya tinggi di Eropa, menerima, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran Veda. Sekalipun di negerinya sendiri sudah berkembang selama beberapa ratus tahun pemikiran-pemikiran dan filsafat yang sampai saat ini masih kita kagumi. Lihatlah! Betapa menariknya pemahaman rohani yang berasal dari Veda ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar