Beberapa mungkin bertanya, bukannya para rishi jaman dahulu biasa makan daging? Ada kejadian seperti itu pada kisah Vathapi-Illvala. Ini juga sering dikutip oleh dalam dakwah dari orang-orang semacam Zakir Naik. Dengan demikian mempersamakan kebiasaan makan para pengikut Veda dengan umat lainnya.
Ya, ada disebutkan hal-hal semacam itu dalam kisah-kisah masa lampau. Kita perlu memahami dengan jelas mengapa dan dalam keadaan bagaimana beliau makan daging. Pertama bahwa beliau itu tidaklah makan daging sebagai makanan kesehariannya. Hewan akan dikorbankan dalam yajna tertentu, kepada api suci, lalu kemudian para rishi yang memiliki kekuatan yoga sangat tinggi memakannya sebagai prasad yajna. Karena kekuatan yajna khusus ini si binatang korban langsung pergi ke surga. Dalam cerita Maharishi Agastya juga seperti itu. Disebutkan bahwa begitu Agastya Muni berkata, “vathapi jirno bhava”, raksasa Vathapi dalam bentuk daging kambing itu langsung hancur dan lenyap. Jangan lupa Agastya punya kekuatan mengeringkan lautan lho!
Beberapa bagian dalam Veda memang menjelaskan adanya kebiasaan makan daging pada masyarakat Veda jaman dahulu. Tetapi keadaan saat itu sungguh jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dalam keadaan tertentu mereka diijinkan makan daging yang telah dipersembahkan dalam upacara yang sangat rumit dan suci. Daging dari tubuh hewan yang dikurbankan dalam upacara ada yang bisa dianggap sebagai karunia (prasada). Tetapi dalam upacara seperti itu, kekuatan mantra para Brahmana juga mampu membangkitkan hewan yang dikurbankan dalam tubuh jasmani yang baru, sehingga tubuh yang lama tidak digunakan lagi. Brahmana yang bertanggung jawab dan juga pelaksana upacara kurban suci semacam ini harus mampu menyeberangkan roh hewan yang dikurbankan ke tingkat rohani yang lebih tinggi. Hanya setelah melalui syarat-syarat seperti ini daging itu bisa dimakan.
Tetapi sekarang daging tidaklah dianjurkan untuk para Brahmin. Pertama kita harus tahu kenapa kita perlu makan. Itu adalah untuk menjadi sehat. Tidak hanya sehat fisik tetapi juga sehat secara rohani. Dalam Sanskrit ini disebut svasthya, pikiran yang sehat, suci, dan damai. Daging dan makanan non vegetarian memang memberi kekuatan kepada tubuh tetapi tidak pada pikiran. Kekuatan mental sangat diperlukan. Untuk hidup damai kita harus memiliki pikiran yang suci dan damai, stabilitas dan konsentrasi yang baik. Bagi kita daging dilarang. Sejak berbagai jaman, para leluhur kita, para pengikut Veda terutama para Brahmin terkenal penuh kelembutan, berbelas kasih, tenang dan pandai, sejak jaman dahulu pula para leluhur kita tidak memakan daging. Kalau kita mulai makan daging, maka pelan-pelan kita akan kehilangan semua sifat baik ini. Tentu perubahan itu tidak akan kelihatan dalam semalam. Itu perlu waktu dan akan tampak pada generasi keturunan kita berikutnya.
Banyak pemenang hadiah Nobel, orang-orang yang berbudi dan baik hati juga makan daging. Bagaimana dengan ini? Mendapatkan hadiah Nobel bukanlah tolok ukur seseorang memiliki pikiran yang suci, damai, tenang, dan konsentrasi yang baik. Contohnya para ilmuwan, mereka sesungguhnya lebih gelisah pikirannya. Semua yang mereka temukan tidaklah timbul dari pikiran yang tenang dan damai tetapi pikiran yang terganggu. Karena itu mereka bisa menciptakan sesuatu yang baru terus. Pada umumnya para Brahmana diharapkan memiliki pikiran yang tenang dan damai serta konsentrasi yang tinggi untuk melakukan japa dan tapa. Bahkan pada jaman dahulu, sekalipun mereka terkadang makan daging, namun kekuatan yogi mereka yang tinggi dapat tetap menjaga kedamaian pikirannya. Tapi bila di Kaliyuga sekarang ini, kekuatan mental dan konsentrasi kita jelas sudah menurun jauh. Suasana sattvik dan sifat-sifat sattvik berkurang karena kita tidak melakukan cukup japa, tapa, dan yajna dengan kualitas sebaik dahulu kala. Jadi kalau kita mulai lagi ditambah dengan makan daging, maka semua sifat baik perlahan-lahan akan lenyap.
Ada pula yang berkeberatan. Kita mengenal ada seorang yang sangat baik. Dia penuh kesabaran, memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, dan mampu melaksanakan banyak perbuatan yang berkebajikan. Di satu sisi ada seorang vegetarian yang kerjanya mengritik dan menyindir teman-temannya yang masih makan daging. Gampang tersinggung pula. Bagaimana ini?
Bila kemajuan sadhana bisa diperoleh dengan mengganti pola makan saja maka alangkah mudahnya menjalani hidup rohani. Namun apapun itu, pemilihan gaya hidup khususnya makanan dalam Hindu adalah sesuatu yang sangat pribadi. Sastra menyatakan bahwa tanpa makan daging seseorang membantu usahanya untuk mewujudkan kondisi Sattvika, yang menguntungkan bagi kemajuan rohaninya. Apakah hanya makanan saja faktor yang menentukan? Tentu saja tidak, tetapi memang para Rishi kita menemukan adanya pengaruh yang besar dari makanan. Jika sadhaka belum dapat mewujudkan semua sifat-sifat mulia, maka tidak ada seorangpun yang berhak menuntutnya. Begitu pula sadhaka yang bervegetarian harus sadar sepenuhnya bahwa dengan mengubah pola makan merupakan upaya untuk menjadikan hidup rohani lebih baik, tetapi bukan untuk meninggikan dirinya di atas anggota masyarakat lainnya.
Kesimpulannya apakah seorang Hindu harus tidak makan daging? Harus, mungkin adalah kata yang terlalu keras. Seorang Hindu berusaha melaksanakan sadhananya dengan baik. Sadhana ini bertujuan untuk memurnikan pikiran. Segala sesuatu berasal dari pikiran, termasuk pilihan makanan. Jadi seseorang yang pikirannya dimurnikan, dia akan bebas dari amarah, keserakahan, dan rasa iri. Dia kemudian tidak akan melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain apapun alasannya. Memang dalam rangka membantu proses memurnikan pikiran seorang Hindu memilih makanan vegetarian ini. Tetapi yang sesungguhnya adalah pada saat pikiran dimurnikan, seorang Hindu atau bukan Hindu pun, secara alamiah akan menghindari makanan non vegetarian.
Nilai-nilai kehinduanlah yang membuat orang memilih diet ini. Vegetarianisme sejalan dengan nilai-nilai Hindu. Jadi seorang Hindu bukannya harus tidak makan daging, tetapi mereka lebih memilih untuk tidak makan daging atau merasa lebih baik hidup bervegetarian. Biarlah setiap orang menjadi penentu hidup dan nasibnya sendiri. Manusia biasa, bahkan Tuhan Sendiri tidak dalam posisi memaksakan suatu kondisi kepada orang lain. Setiap tindakan memiliki konsekuensinya. Setiap yang kita lakukan memiliki efeknya sendiri terhadap diri kita secara alamiah. Sastra Veda dan para Acharya hanya mengungkapkannya saja kepada kita. Semua keputusan berada di tangan kita.
Sabtu, 20 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar