Jumat, 15 Januari 2010

JANGAN MEREMEHKAN PEREMPUAN


Hindu berbeda dengan agama-agama Abrahamik yang cenderung menempatkan Tuhan sebagai pribadi maskulin dan paternalistik yang tidak memberikan tempat vital bagi perempuan. Kita bisa lihat dalam sejarah, bagaimana para pengikut tuhan maskulin ini memusnahkan pemujaan kepada Dewi, divinitas feminin, dan menganggap mereka yang memujanya sebagai kafir. Hindu menginsafi Tuhan sebagai Kesempurnaan Yang Mahalengkap. Impersonal juga Personal. Tidak laki-laki, tidak perempuan, namun sekaligus juga adalah Prinsip Kelaki-lakian Tertinggi (sebagaimana Narayana bagi Vaishnava dan Siva bagi Saiva, yang disimbulkan dengan Lingam) dan Sang Ibunda Tertinggi, Perempuan Yang Paling Awal (Sri atau Mahalaksmi bagi Vaishnava dan Shakti bagi Saiva, yang disimbulkan dengan Yoni).

Siva-sakti

Sri Laksmi Tantram merupakan salah satu kitab Pancaratra-agama yang digunakan oleh golongan Vaishnava. Sebagaimana namanya, kitab ini memuliakan Mahalaksmi sebagai bagian tak terpisahkan dari Narayana, Tuhan Tertinggi dalam Vaishnavisme. Selain merupakan Kebenaran Mutlak Tertinggi dalam Pribadi Pasangan Rohani Yang Mahalengkap, Sri Sri Laksmi Narayana dalam teologi Vaishnava, maka Mahalaksmi juga dipandang sebagai Tuhan dalam sisi feminin-Nya atau “Tuhan Perempuan”. Konsep Ketuhanan semacam ini hampir tidak ada di luar agama Veda.

Sri Laksmi Tantram diturunkan oleh Sang Ibunda Tertinggi secara langsung kepada Indra, Raja Para Deva, istimewanya juga mengungkapkan makna rahasia yang terkandung dalam mantra-mantra Veda utama seperti Purusha-suktam dan Sri-suktam (pada Adhyaya ke-50 dari total 57 Adhyaya-nya). Keistimewaan lainnya adalah Sri Laksmi Tantram “terungkapkan pada dunia” berkat keinsafan atau pencerahan yang dicapai oleh seorang perempuan juga yaitu Anusuya, istri dari Maharishi Atri. Jadi Laksmi Tantram adalah literatur Pancaratra-agama yang unik, karena memuliakan “Tuhan Perempuan”, Sri Mahalaksmi, diungkapkan oleh Sri Mahalaksmi Sendiri, dan kemudian hadir di dunia ini berkat seorang perempuan.

Pada Sri Laksmi Tantram Adhyaya 1, mantra 3-6 terlebih dahulu mengungkapkan kemuliaan Atri sebagai salah satu Rishi dalam Veda. Pravara atau “keturunan rohani” Atri disebut Aatreya. Beberapa yang paling termashyur dalam Pravara ini adalah Sutrakara Bhaudhayana, Katyayana, Apasthambha, dan Laukakshi. Secara umum ada 407 Rishi yang “melihat” Rig-veda mantram (mantra-drishta). Maharishi Atri dan Pravara-nya (Aatreya) terutama mengungkapkan Mandala ke-5. Maharishi Atri dijelaskan sebagai seorang yang telah menaklukkan semua dorongan indera jasmaninya secara sempurna, sang bijak yang merupakan Parama-yogi menguasai keseluruhan 14 bagian Yoga-sastram (Yoga-sutra Patanjali Adhyaya ke-2 yang disebut Sadhana-pada membahas 11 dari 14 bagian ini). Beliau juga termashyur tak pernah goyah dalam usahanya menyerap Pengetahuan Sejati (Brahma-jnanam). Atri telah memusnahkan seorang Asura bernama Svarbhanu yang dengan kekuatan jahatnya ingin mengacau alam semesta dengan menghancurkan matahari. Beliau melakukan itu hanya dengan kekuatan pikirannya saja yang berada dalam kesempurnaan tapa. Sekalipun beliau seorang Grihastha (orang berkeluarga), namun beliau tidak terpengaruh Triguna, yaitu kebaikan relatif, nafsu, dan kebodohan atau kegelapan batin (sehingga diberi nama Atri). Sang Maharishi telah melampaui ketiga keberhasilan dalam hidup (Dharma, Artha, dan Kama), telah mencapai Moksha dan adalah seorang Rishi yang kekal abadi. Demikianlah keagungan dan pencapaian spiritual Maharishi Atri, sehingga sungguh konyol jika kita memperbandingkan para Rishi Veda seperti Atri dengan para nabi dalam agama lain, apalagi menganggapnya sama dengan manusia biasa seperti kita. Oleh pengaruh cara berpikir empiris orang Barat, banyak orang beranggapan bahwa bagian Veda tertentu, misalnya Smriti, bisa saja salah karena disusun berdasarkan ingatan para Rishi, bukan revelasi langsung. Sekalipun Smriti-sastra mungkin hasil ingatan para Rishi, tetapi kesalahan macam apa yang bisa dibuat oleh seseorang yang mampu memusnahkan seorang Asura hanya dengan kekuatan pikirannya saja?

Setelah memuliakan Atri, mantra 7-9 menggambarkan keagungan Dharmapatni-nya, sang istri Anusuya. Anusuya adalah sesempurnanya seorang perempuan yang terbaik sebagai istri. Yang tertinggi di antara Pati-vrata (sang istri setia maha-utama). Yang telah mendapatkan kedudukan sebagai Ibunda dari Tiga Devata (Brahma, Vishnu, dan Siva dahulu menguji kesetiaan Anusuya dengan menyamar sebagai tiga orang brahmana muda yang meminta makanan namun harus disajikan oleh Anusuya tanpa busana. Permintaan brahmana pantang ditolak, maka Anusuya dengan kekuatan kesetiaan dan pengabdiannya sebagai istri memercikkan air ke arah Tiga Devata dan mengubah Mereka menjadi bayi. Anusuya lalu menyusui Mereka Bertiga). Anusuya adalah seorang perempuan yang dipuji bahkan oleh para Deva, bercahaya gemilang oleh kekuatan tapanya, mencapai kemaha-tahuan, memahami secara sempurna semua Dharma-sastra, dan memperoleh segala ilmu melalui pelayanannya kepada suami.

Mantra 10-16 mengungkapkan bagaimana Anusuya bersujud kepada suaminya dan memohon pengetahuan rahasia ini. Dia berkata, “Oh Bhagavan, junjunganku yang maha-mengetahui, Guru dari para bijak. Anda sudah mengungkapkan semua sastra dan memberkati hamba dengan berbagai upadesham (ajaran suci). Hamba telah memahami dengan jelas intisari segala pengetahuan dan juga “buah” yang mereka hasilkan. Menurut hemat hamba dari semuanya tidak ada yang sebaik Bhagavata-dharma, dan Pancaratra-agama adalah yang termulia. Walau demikian dalam upadesham-mu hamba memperhatikan satu hal. Kapanpun Anda menguraikan Bhagavata-dharma, sungguh mengejutkan karena Anda tidak pernah menyinggung Vaibhavam (uraian kemuliaan dan kebenaran sejati) mengenai Mahalaksmi. Sejauh ini Anda belum pernah menjelaskan secara terperinci bagian-bagian sastra suci yang berkaitan dengan Mahalaksmi-tattva, apakah karena topik ini demikian rahasia ataukah karena hamba tidak pernah mempertanyakannya kepada Anda? Hamba sangat ingin memahami Mahalaksmi Vaibhavam yang sangat istimewa itu. Siapakah sejatinya Beliau itu (svarupa), bagaimana Beliau mengungkapkan Diri-Nya, apakah sumber-sumber Pramana yang dapat memahami Beliau, apakah Inti Terdalam dari Beliau, bagaimanakah cara mencapai-Nya, dan apakah yang kita dapatkan dengan Beliau sebagai Rakshaki (Pelindung) kita? Anda adalah Acharya dan juga suami hamba yang termulia! Anda menguasai berbagai Brahma-vidya untuk mencapai Parambrahman dan juga mahir dalam semua tattva. Maka berkatilah hamba yang bersujud di hadapan Anda demi memahami jalan sejati, pengetahuan rahasia tentang Mahalaksmi.”

Delapan manifestasi Laksmi (Asta-laksmi)

Puas mendengar pertanyaan ini dari istrinya, dengan penuh sukacita Sang Maharishi menjawab sebagaimana dijelaskan dalam mantra ke 17-20. “Sayangku, yang mahir segala dharma dengan sempurna. Engkau sudah mengingatkanku akan ajaran yang belum kuberikan selama ini. Aku menunggu engkau bertanya mengenai hal ini. Oleh karena itu kinilah saatnya aku memberikan upadesham atas Mahalaksmi-tattva. Wahai yang terkasih, ketahuilah bahwa kemuliaan Sang Ibunda dijunjung di atas kepala semua Upanishad, mahkota semua Veda. Mahalaksmi-tattva bersemayam secara kekal dalam Veda-sirah (puncak kepala Veda). Kini engkau memiliki adhikara (pancapaian spiritual yang memberikan kepantasan) untuk mendengarnya berkat pertapaan dan kesetiaanmu yang tiada bandingannya. Suatu ketika Maharishi Narada juga ditemui oleh para Rishi dari Malaya-desham yang memiliki pertanyaan sama denganmu. Mereka adalah para Brahma-jnani (orang-orang yang sudah mencapai pencerahan tentang Brahman), ahli yang terpercaya dalam mengajarkan Bhagavata-dharma (Pancaratra-sastram), dan adalah pelaksana berbagai Yajna yang paling dimuliakan.”

Dari uraian di atas kita memahami bagaimana pada masyarakat Veda, seorang perempuan bisa memiliki pemahaman sempurna atas segala pengetahuan. Tanpa pertanyaan dari Anusuya, maka dunia tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan Sri Laksmi Tantram ini. Bahkan suaminya sendiri dengan jujur mengakui bahwa istrinya telah memiliki adhikara atau kepantasan untuk menerima ajaran suci yang sangat rahasia, tersimpan dalam puncak semua Upanishad. Tanpa ragu dia memuji istrinya, memperbandingkannya dengan para Rishi dari Malaya-desham yang menemui Maharishi Narada dengan pertanyaan yang sama. Singkatnya beliau mengatakan bahwa kualitas spiritual istrinya adalah sama dengan para Rishi itu dan pertanyaannya membuktikan itu semua. Ajaibnya, Anusuya memperoleh pencerahan rohani yang sangat tinggi itu berkat kekuatan pertapaannya sebagai Pati-vrata.

Pati-vrata dimaknai sebagai seorang istri yang melaksanakan kewajibannya dengan sangat sempurna, tulus, dan penuh kesetiaan. Anusuya adalah contoh sebaik-baiknya seorang Pati-vrata. Ada perempuan yang berusaha mencapai keberhasilan dalam hidupnya, seperti dalam karir atau pendidikan, namun mengabaikan kewajibannya terhadap keluarga. Ada pula perempuan yang sibuk melayani keluarganya tanpa memperdulikan perkembangan dirinya sendiri. Tetapi dalam Veda, kaum perempuan diharapkan dapat seperti Anusuya, sempurna dalam keduanya. Suaminya adalah Rishi agung Atri, anak-anaknya adalah Tri Natha atau Tiga Devata Sendiri yang dipuja oleh seluruh alam semesta, dan dirinya sendiri adalah seorang yang tercerahkan, memahami semua pengetahuan, dan menguasai segala ilmu. Tentu pada jaman ini sangat sulit menemukan pribadi seperti mereka, bahkan tidak mungkin! Namun ini menunjukkan bagaimana Veda memuliakan potensi yang dapat dimiliki seorang perempuan. Kaum laki-laki, dalam hal ini dicontohkan oleh Atri sebagai suaminya, bukan saja tidak menghalangi kemajuan istrinya, tetapi justru dengan jujur memujinya, merayakan pencapaiannya dan mendukungnya untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut.

Pengetahuan, bahkan yang paling rahasia sekalipun dalam Veda, tidak dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Di sisi lain perempuan juga bukan sekedar pendamping dan pelengkap seorang laki-laki seperti dalam ajaran agama lain. Potensinya sangat besar dan perannya begitu vital. Bayangkan saja apabila Anusuya hidup seperti perempuan-perempuan di Negara-negara berideologi tertentu yang dijauhkan dari pendidikan. Lalu laki-lakinya hanya hidup seperti binatang tanpa pencerahan rohani apapun, tetapi hanya menuntut pelayanan dari lawan jenisnya dalam hal-hal badaniah saja. Kita tidak akan pernah mengetahui Sri Laksmi Tantram ini!

Tentu saja Sri Laksmi Tantram tidak sekedar membahas peranan wanita. Seperti diuraikan sebelumnya, ini adalah salah satu kitab ajaran rahasia (Rahasya-jnana-grantham). Dia mengungkapkan kesejatian tentang Mahalaksmi, Sang Devi, Kebenaran Tertinggi dalam Wujud Feminin-Nya, “Sosok Tuhan Perempuan”. Namun keberadaannya membuktikan betapa terhormatnya kedudukan dan pentingnya peran perempuan dalam Veda.

Selasa, 12 Januari 2010

KEDUDUKAN WANITA DALAM SRIVAISHNAVA


Sebuah pembahasan mengenai sebuah ajaran dalam Hindu tidak akan sempurna tanpa membahas kedudukan wanita dalam masyarakatnya. Bahkan mereka yang “terlahir” dalam Sampradayam, tak jarang sangatlah sedikit mendapat informasi mengenai apa yang disampaikan oleh sastra suci mengenai perempuan. Setiap orang yang telah berpengalaman tinggal beberapa saat di India Selatan akan dapat melihat betapa lebih besarnya kebebasan yang diberikan kepada kaum perempuan Selatan dibandingkan saudari-saudarinya di bagian Utara. Satu-satunya alasan sederhana yang menjelaskan perbedaan ini adalah karena di Utara, Muslim telah berkuasa selama lebih dari 6 abad sehingga mau tidak mau, cara atau budaya yang berkembang dalam masyarakat mereka mengenai kedudukan seorang perempuan di mata kaum laki-laki, juga mempengaruhi masyarakat Hindu di sana. Namun di bagian Selatan, agama Hindu masih tidak tersentuh oleh sikap-sikap mereka yang tidak sejalan dengan ajaran Dharma yang kita anut ini.

Utamanya sebagaimana kita ketahui dalam masyarakat Srivaishnava, kaum perempuan menikmati kebebasan yang luas. Mereka bertanggung jawab atas jalannya kehidupan rumah tangga dan dengan demikan juga meluas pada masyarakat secara umum. Kaum perempuan tidak dipaksakan untuk mengikuti atau melaksanakan ritual-ritual selain membantu suaminya menjalankan kewajiban keagamaan mereka sehari-hari. Perempuan juga berhak menerima inisiasi (diksha) Pancha-samskara, walaupun biasanya dilakukan bersamaan dengan suaminya atau sesaat sebelum melangsungkan pernikahan, namun selalu tersedia kesempatan serta dukungan untuk menerimanya langsung seorang diri! Potensi mereka dikembangkan seluas-luasnya dengan selalu menyemangatkan dan menyediakan fasilitas bagi mereka untuk membaca, mempelajari, dan melantunkan berbagai paasuram Divya-prabandha (mantra-mantra Veda Tamil yang memiliki peranan vital dalam masyarakat Srivaishnava). Para wanita juga selalu melaksanakan japa Mantra Tiga Rahasia Agung yang tersuci (Rahasyatraya).

Penghormatan yang besar juga diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh mantra-mantra terpilih dari Sri Lakshmi Tantra berikut (Adhyaya 43: 61-72) mengenai perempuan dan kedudukan mereka dalam Tradisi Pancaratra. Sejauh mana pernyataan-pernyataan sastra suci ini diwujudkan dan diterapkan dalam masyarakat Hindu saat ini, hendaknya selalu menjadi perhatian bagi kita bersama secara serius.


Sang Ibunda Semesta bersabda kepada Indra, raja para deva, “Seorang pria hanyalah bisa dikatakan punyam (memiliki kebajikan rohani) apabila dia bebas dari segala kegiatan berdosa, secara teguh berpegang pada ajaran-ajaran Pustaka Suci, melaksanakan perbuatan yang tidak dikutuk oleh kaum wanita dan yang dapat menyenangkan hati mereka. Seorang yogi tidak boleh berbuat kesalahan kepada perempuan, baik dalam pikiran, melalui ucapan, maupun perbuatannya. Di manapun Aku berada, segala kesejatian (tattva) ada di sana. Di manapun Aku hadir, maka semua deva juga bersemayam di sana. Di manapun ada Aku, segala kebajikan ada di sana. Di manapun Aku bersemayam maka Krishna juga akan bertahta di tempat itu. Akulah prinsip kewanitaan yang meresapi segala-galanya di alam semesta ini dan yang bersemayam dalam diri setiap perempuan.

Dia yang bersalah pada kaum wanita, bersalah kepada-Ku, Lakshmi Sendiri, dan siapapun yang berdosa di hadapan Lakshmi, telah berdosa kepada seluruh alam semesta. Dia yang memiliki maksud-maksud jahat dan tidak terpuji kepada perempuan, sudah bersikap menghina dan merendahkan Aku Sendiri. Maka siapapun yang bermaksud jahat kepada-Ku, dia juga sudah berbuat kejahatan kepada seluruh alam semesta. Mereka yang Kukasihi adalah yang hatinya bergembira ketika melihat kaum wanita bagaikan kegembiraan melihat indahnya cahaya rembulan, yang tidak pernah pula memendam maupun mengembangkan pemikiran-pemikiran atau prasangka jahat terhadap mereka. Sebagaimana tidaklah ada noda dosa pada Narayana maupun pada Diri-Ku, wahai engkau Indra, tidak pula pada seekor sapi, seorang brahmana dan seorang yang terpelajar dalam Vedanta. Maka tidaklah ada kekotoran atau kesialan yang ada pada kaum perempuan. Inilah yang hendaknya engkau ketahui wahai Indra! Bagaikan Ganga, Sarasvati, dan juga Aruna, bebas dari segala ketidaksucian dan kejahatan, maka demikianlah halnya semua wanita harus dimuliakan sebagai yang tak ternoda.

Ketahuilah bahwa sejatinya Aku, Sang Ibunda bagi ketiga dunia, adalah dasar dari sifat kewanitaan, dan telah membuat kekuatan-Ku terwujud dalam diri kaum perempuan. Dengan demikian seorang wanita juga adalah ibu bagi ketiga alam, seorang dewi yang dipenuhi segala kelimpahan. Setelah memahami wanita adalah perwujudan-Ku secara langsung, bagaimana mungkin seorang yogi dapat menghindari penghormatan kepada mereka? Seseorang tidak boleh menyakiti wanita, bahkan tidak boleh berpikir sekalipun untuk menyakiti wanita. Seorang yogi yang sungguh-sungguh ingin mencapai kesempurnaan yoga, harus selalu berusaha bertindak di jalan yang direstui kaum perempuan. Dia harus memandang semua wanita sebagai ibunya, sebagai sang dewi, sebagai Diri-Ku Sendiri!”

Minggu, 10 Januari 2010

MAKNA NATARAJA


Nataraja, Raja Para Penari atau Sang Raja Yang Menari, adalah salah satu Rupa dari Hyang Siva yang paling terkenal. Beliau dipuja di kompleks pura agung Chidambaram, Cuddalore, India Selatan. Nataraja mempertunjukkan tarian kosmis-Nya dengan penuh kebahagiaan di Chidambaram, disaksikan oleh para rishi seperti Patanjali dan Vyaghrapadar, serta para deva yang dipimpin oleh Vishnu Sendiri. Pura Chidambaram juga termashyur dengan sesuatu yang disebut Rahasyam, Rahasia dari Chidambaram, yang sesungguhnya hanyalah berupa ruangan kosong, melambangkan kesadaran tertinggi yang paling murni, dimana Chidambaram sendiri berarti Angkasa Kesadaran. Hanyalah dalam kesadaran murni yang berada di lubuk hatinya seorang pemuja dapat mengalami Tuhan secara langsung. Jadi di Chidambaram, simbol ruangan kosong ini mewakili berkembangnya kesadaran murni, yang harus dicapai oleh para Bhakta di dalam hatinya. Nataraja yang menari di Chidambaram, adalah Tuhan yang direalisasikan oleh penyembah-Nya dalam hatinya yang telah disucikan.

Tarian Nataraja dikenal sebagai Tandava-nrutya atau sering juga disebut dengan Tarian Kosmis. Tarian ini merupakan gerakan berirama dari alam semesta. Sesungguhnya setiap planet dan setiap atom yang terkecil melakukan gerakan berirama yang sama. Ini bukanlah gerakan yang kacau, tetapi sebuah gerakan yang teratur, diarahkan dan dikendalikan oleh suatu prinsip cerdas yang tak terlihat. Bahkan saat ini para ilmuwan sudah mulai meyakini bahwa alam semesta merupakan suatu tatanan teratur yang cerdas. Segala sesuatunya terkendali bukan terjadi secara kebetulan. Sebuah buku baru-baru ini yang berjudul “The Intelligent Universe” oleh Sir Fred Hoyle, F.R.S. dari Universitas Cambridge menyatakan pandangan tersebut. Dengan demikian sesungguhnya alam semesta ini tidaklah bekerja atau berjalan hanya karena hukum fisika atau kimia belaka. Sehingga kita perlu mengetahui siapakah yang berada di balik keteraturan alam semesta ini.

Hindu, khususnya Saivisme, mengungkapkan pemahaman tersebut melalui konsep Nataraja. Rishi Thirumular yang hidup lebih dari seribu tahun yang lampau, dalam bukunya yaitu Thirumanthiram, mengatakan bahwa tarian Sivalah yang menggerakkan setiap partikel di alam semesta ini. Sehingga dengan demikian Sang Rishi sesungguhnya juga mengetahui bahwa alam semesta yang teratur ini dikendalikan oleh suatu prinsip perencana yang cerdas, yaitu Siva. Sang Rishi dalam pikiran supra-kesadarannya sudah menguak misteri alam semesta yang baru saja mulai ditemukan dan dikaji oleh para ilmuwan modern beberapa tahun belakangan ini. Sedangkan konsep Intelligent Universe dan Intelligent Design sejak lama telah dihadirkan dalam keyakinan Hindu Saivisme sebagai Nataraja.

Bentuk atau citra dari Nataraja memiliki empat tangan. Pada tangan kanan atas, Beliau memegang genderang, udukkai atau damaru. Ini merupakan simbol suara, suara penciptaan. Veda menyatakan bahwa seluruh ciptaan ini berasal dari suara. Bahkan para ilmuwan modern sendiri mengakui bahwa ada suara ledakan ketika alam semesta tercipta, yang kita kenal sebagai teori Big Bang. Ini merupakan awal dari evolusi atau srishti. Tangan kiri atas Nataraja memegang kobaran api, simbol dari peleburan atau samhara, ketika seluruh alam semesta kembali ke asalnya. Tangan kanan bawah-Nya menunjukkan tanda jangan takut, meyakinkan para pemuja-Nya bahwa mereka yang berlindung kepada-Nya akan dibebaskan dari segala bahaya. Ini merupakan simbul pemeliharaan. Tangan kiri bawah Nataraja menunjuk ke arah kaki-Nya yang terangkat, mengamanatkan kepada umat-Nya agar berlindung dan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi dalam Saiva-agama, Hyang Siva merupakan Pengendali Tertinggi Alam Semesta, pencipta, pemelihara, dan pelebur yang tunggal. Inilah yang diungkapkan oleh bentuk Nataraja.

Pada bagian bawah Nataraja terdapat seorang raksasa cebol tertelungkup, yang diremukkan oleh injakan kaki kanan-Nya. Makhluk ini melambangkan hancurnya ego dan sifat-sifat jahat makhluk hidup. Di bagian belakang Nataraja terdapat prabha yang terdiri dari 36 kobaran cahaya. Ini melambangkan 36 tattva atau tingkat-tingkat evolusi kesadaran roh menuju realisasi kesadaran kosmik yang berbuah Moksha atau pembebasan. Anting-anting yang digunakan oleh Nataraja ada dua jenis, yaitu anting-anting laki-laki dan perempuan, melambangkan kesatuan antara Siva dengan Sakti, Sumber Energi dan Energinya. Naga atau ular kobra yang melingkar di leher dan tangan-Nya menyatakan bahwa Siva tidak terpengaruh oleh kehadiran kekuatan jahat, yang sama sekali tidak bisa menimbulkan akibat apapun pada Tarian-Nya yang tak terbatas. Lingkaran kobra juga melambangkan bangkitnya Kundalini-sakti. Semua ini memusnahkan ketakutan dari hati para Bhakta-Nya, yang senantiasa terlindung dari segala bentuk kejahatan. Tidak ada setan atau iblis yang bisa mempengaruhi penyembah Siva, karena semua ini tidak mampu memberi pengaruh apa-apa. Siva tidak memiliki rival atau saingan, karena semua kekuatan berada di dalam diri-Nya.

Chidambaram, Angkasa Kesadaran Murni, Pura Siva yang terbesar di dunia, berusia ribuan tahun. Tempat perziarahan utama bagi para pemuja Siva

Menurut Ananda Coomaraswamy, makna penting tarian Siva ini ada tiga. Pertama, tarian ini merupakan citra dari aktivitas ritmik-Nya sebagai sumber dari segala gerakan di alam semesta. Kedua, tujuan dari tarian ini adalah untuk membebaskan roh-roh yang tak terhitung jumlahnya dari selubung khayalan. Ketiga, tempat dari berlangsungnya tarian ini adalah di Chidambaram, pusat kesadaran termurni alam semesta, yang tiada lain adalah hati para Bhakta. Kesimpulannya, tarian ini merupakan sintesis dari sains, agama, dan seni. Inilah sebuah puisi dari ilmu pengetahuan yang paling sejati.

Dalam dunia modern ini memang benar sains dan teknologi telah membantu umat manusia dalam memajukan pertanian, pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, komunikasi, sumber energi, dan berbagai kemudahan material lainnya. Tetapi juga benar bahwa sains dan teknologi juga membawa ancaman yang nyata bagi keberadaan umat manusia, seperti adanya bahaya bencana nuklir. Kenapa kita harus dihadapkan pada kemungkinan timbulnya bencana-bencana seperti itu? Tak lain adalah karena kita mengabaikan pelaksanaan dharma, yang dapat menekan sifat kebinatangan dalam diri manusia. Sains dan agama tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi bagi para pencari kebenaran. Keserasian antara sains dan agama merupakan nilai yang dipahami oleh masyarakat Hindu sejak dahulu kala. Dalam Hindu, sains dan agama tidak dipisahkan atau saling dipertentangkan.

Sains mencari kebenaran melalui alam semesta duniawi atau eksternal, sehingga temuan-temuan sains berada dalam persepsi indera-indera kita. Agama, di sisi lain merupakan penyelaman terhadap sifat batiniah manusia, pikiran dan roh. Sains memusatkan perhatiannya pada dunia objektif sedangkan agama berurusan dengan dunia subjektif. Dengan sains kita mengenal alam semesta yang secara jasmaniah berada di luar diri kita, sehingga kita dapat hidup dengan baik di dunia ini. Tetapi melalui spiritualitas kita membuat hidup menjadi bermakna, dengan mengenal diri sejati kita dan Tuhan sebagai sumber semua keberadaan ini. Metodologi yang kita gunakan untuk menginvestigasi zat-zat duniawi yang kasar sama sekali tidak cukup dan tidak mampu mencapai roh dan Tuhan yang begitu halus. Proses investigasi ilmiah dapat dilakukan di sekolah dan universitas biasa, sedangkan hanya dengan doa, pemujaan, konsentrasi dan meditasi dalam keheningan kita dapat merasakan pengalaman rohani. Pengalaman rohani dan ekstasi relijius merupakan makanan yang menyokong kesadaran. Kita tidak bisa melupakan kebutuhan rohani ini dan hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan badan saja.

Chit-sabha, Aula Kesadaran, tempat berlangsungnya tarian kosmis Siva di Chidambaram. Berada di bawah atap bergenteng emas padat.

Bersama dengan pengembangan sains demi menuju kehidupan duniawi yang lebih baik, kita juga harus meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk kontemplasi dan meditasi. Nataraja merupakan salah satu dari berbagai Rupa-Nya yang tak terbatas. Rupa ini menyatakan secara sempurna keserasian antara alam semesta, makhluk hidup, dan Tuhan. Ketika kita memuja Rupa Nataraja, kita menyadari hakikat sempurna ilmu pengetahuan, dimana sains, spiritualitas, dan seni menyatu bersama-sama dalam keselarasan tertinggi. Ketika umat Hindu bermeditasi pada Nataraja yang menari di Chidambaram, dia memusatkan kehidupannya untuk mewujudkan kesadaran murni di hatinya, agar Tuhan bersemayam di sana, dan memancarkan energi serta cintakasih-Nya ke semua makhluk dan seluruh alam semesta.

Jumat, 08 Januari 2010

KEAJAIBAN MUSIK DALAM HINDU (2)

- lanjutan -

Raga DESH terkenal dengan kekuatannya menekan kecenderungan indera jasmani sehingga dapat melepaskan energi negatif yang mempengaruhi kita. Dia menuntun seseorang dalam menempuh jalan rohani. Energi positif yang dibangkitkan raga ini memberikan ketenangan, kedamaian, keselarasan, kegembiraan batin, semangat juang yang benar, cinta universal, dan kepahlawanan. Lagu nasional Republik India ‘Vande Mataram’ disusun dengan raga Desh. ‘Vaishnava Janatho’ lagu kesayangan Mahatma Gandhi juga dalam raga ini.

persembahan nyanyian dan musik bagi Sang Ibunda Illahi

Raga MAYAMALAVAGOULA dikenal sebagai gerbangnya musik Carnatic. Sistem ini diperkenalkan oleh sang pujangga suci yang paling terberkati Sri Purandaradasaru, Bapak Musik Carnatic. Raga ini memiliki kekuatan menetralisir toksin dalam tubuh. Bila dinyanyikan dan didengarkan pada pagi hari, di tengah-tengah alam yang menyegarkan, maka dia dapat meningkatkan kekuatan kunci-kunci nada apapun yang akan dinyanyikan. Para pujangga menggunakan raga ini untuk menimbulkan rasa manis dalam karyanya.

Raga ANANDABHAIRAVI memiliki efek yang positif pada kerja pikiran, jantung dan pembuluh darah. Pemain biola terkenal, Kunnakudi Vaidyanathan, menjelaskan pengalamannya ketika berhadapan dengan seorang bernama Kannadasan. Kannadasan menantangnya untuk membuktikan efek dari raga Anandabhairavi terhadap tekanan darahnya yang tinggi saat mendengarnya dari gesekan biola K. Vaidyanathan. Sayang ketika konser biola akan dimulai, Kannadasan jatuh sakit cukup parah. Tekanan darahnya sangat tinggi, sampai dia tidak mampu bangun dan berjalan sendiri. Panitia penyelenggara lalu mengusahakan dengan segala cara agar Kannadasan bisa datang memenuhi janjinya walau dia sangat enggan. K Vaidyanathan lalu memainkan raga Anandabhairavi dengan sangat sempurna menggunakan biola. Tanpa disangka, pada akhir pertunjukan Kannadasan naik ke panggung dan mengumumkan pada semuanya bahwa dia sekarang merasa jauh lebih baik. Anandabhairavi memiliki pengaruh menyejukkan dan memulihkan yang sedemikian itu. Tamil Odhuvar Moorthigal pada umumnya menggunakan Anandabhairavi ketika melantunkan kidung suci Thevaram, Thiruvachakam, dan Divya Prabandham di Pura.

Raga SANKARABARANAM memiliki kekuatan yang tidak terbayangkan. Dia mampu mengobati sakit mental, mendamaikan pikiran yang kacau, memulihkan kedamaian dan keselarasan. Sankarabharanam bila dilantunkan dengan penuh kebaktian dan keyakinan selama jangka waktu tertentu, dapat menyembuhkan gangguan mental yang bahkan paling sulit diatasi secara medis. Arunachala Kavirayar, Muthutandavar, Suddhananda Bharati, Marimuthu Pillai, dan Mayuram Vedanayakam Pillai, banyak menggubah karya yang indah dan manis dalam raga ini.

Sankarabharanam, Perhiasan indah bagi Deva Siva

Sankarabaranam juga memiliki kekuatan untuk mencurahkan kemakmuran dan kekayaan. ‘Mahalaksmi Jaganmatha’ dari Papanasam Sivan adalah permata dalam raga ini. Muthuswamy Dikshithar memperbandingkan Sanakarabharanam dengan Akshaya-patram, wadah kekayaan yang tiada habis-habisnya. Beliau menggubah kidung ‘Akshaya Linga Vibho’ dalam raga ini untuk memuliakan ketidakterbatasan Tuhan. Pada tahun 80-an dibuat sebuah film Telugu yang berjudul Sankarabharanam. Film ini membangkitkan kembali perhatian masyarakat terhadap kekayaan musik klasik India. Semua lagunya menjadi hits dan mengangkat nama para penyanyinya yang sekarang menjadi legenda dalam dunia musik India. Salah satu lagu dalam film itu berjudul Omkaranadanu, mengisahkan betapa mulianya raga Sankarabharanam dalam dunia musik. Dia disebut raja semua raga. Berikut adalah liriknya,

OmkAra nAdAnusandhAnamou gAnamE SankarAbharaNamu
Lagu yang menjadi perhiasan bagi kekuatan suara rohani OM, tak lain dan tak bukan adalah Sankarabharanam.

Sankara gaLa nigaLamu Sreehari pada kamalamu
rAga ratna mAlika taraLamu (SankarAbharaNamu)

Sankarabharanam ini adalah permata mutu manikam yang bercahaya gemilang di tengah untaian batu-batu mulia bernama Raga. Inilah perhiasan yang melingkari leher Siva dan kaki padma Srihari (Vishnu).

menghiasi kaki padma Sri Hari

SArada veeNA rAga chandrikA pulakita SArada rAtramu
nArada neerada mahatee ninAda gamakita SrAvaNa geetamu

Sankarabharanam ini bagaikan indahnya malam musim gugur dihiasi kemilau cahaya rembulan, yang dimuliakan sebagai alunan merdu petikan Veena Devi Sarasvati. Sankarabharanam ini adalah nyanyian bulan Sravana yang dinaungi irama nada dari Mahati-veena milik Devarishi Narada dan gema suara dari awan-awan.

irama indah yang mengalun dari petikan senar Veena Devi Sarasvati adalah raga Sankarabharanam

rasikulakanurAgamai rasa gangalO taanamai
pallavinchu sAma vEda mantramu (SankarAbharaNamu)
Sankarabharanam ini adalah mantra dari Samaveda yang berendam di tengah pancuran perasaan, dihayati oleh para pujangga dan ahli musik, dan telah mekar dengan indahnya.

advaita siddhiki amaratva labdhiki gaaname sOpaanamu....
satva saadhanaku satya Sodhanaku sangeetamE praaNamu
tyAgarAja hrudayamai rAgarAja nilayamai
mukti nosagu bhakti yOga mArgamu
mRtiyalEni sudhAlApa swargamu (SankarAbharaNamu)
Hanyalah musik semata yang menjadi jalan menuji kesempurnaan Advaita dan kekalnya keabadian. Demi menemukan kebenaran akan alam semesta dan kesejatian Tuhan, demi mencapai yang termulia dari semua sifat yaitu Satvaguna, hanyalah musik semata yang menjadi kuncinya. Sankarabharanam ini adalah tahta hati Tyagaraja dan tempat bersemayamnya Tuhan Sri Rama. Inilah jalan pengabdian cintakasih yang menganugerahkan pembebasan dan kunci menuju alam kekekalan tempat mengalirnya madu musik yang indah.

Bila Anda ingin mendengar lagu ini, silakan download di sini. Sebagai kesimpulan, setiap raga memberikan rasa nyaman, bahagia, dan penuh makna. Masing-masing memiliki kekuatan dan karakteristiknya yang khusus. Apabila dengan tulus dan serius dihayati, maka tak dapat diragukan lagi, pasti akan memberi manfaat yang positif bagi mereka yang menyanyikan maupun mendengarnya. Inilah Keajaiban Musik dalam Hindu.

Kamis, 07 Januari 2010

KEAJAIBAN MUSIK DALAM HINDU (1)

Sebagaimana semua bentuk seni dalam masyarakat Hindu, maka musik juga memiliki sumber kedewataan. Musik klasik India, terutama yang berkembang di Selatan (dikenal sebagai Karnataka-sangitam atau Carnatic), diyakini berasal dari para deva dan dihormati sebagai simbol dari Nada-brahman, Sang Kebenaran Mutlak Tertinggi dalam wujud suara. Risalah-risalah musik kuno menguraikan keterkaitan asal-muasal dari swaram atau notasi musik Hindu dengan suara-suara alam semesta.


Sama-veda, yang memuat banyak mantra-mantra Rigveda tersusun kembali dalam nada-nada musikal yang dapat dinyayikan dengan tiga sampai tujuh not saat pelaksanaan yajna Veda, merupakan dasar dari semua musik klasik India saat ini. Yajurveda yang utamanya merupakan tuntunan pelaksanaan upacara Yajna, menyebutkan Veena (sejenis alat musik petik) sebagai pelengkap dalam upacara mengiringi pelantunan suara vokal. Musik Hindu klasik juga disebut-sebut dalam berbagai sastra seperti Ramayana dan Mahabharata. Yajnavalkya Smriti menyatakan, “Seseorang yang ahli memainkan Veena, yang memiliki pengetahuan tentang Sruti, dan menguasai tala (irama ketukan), tak diragukan lagi akan mencapai pembebasan”. Saat ini, musik Carnatic, masih menurut aslinya menggunakan konsep-konsep dalam Veda termasuk mempertahankan swara, raga, dan tala. Ini diuraikan secara lebih terperinci dalam naskah-naskah kuno seperti Silappadhikaram dan Bharata Natya Sastra.

veena

Keunikan musik Hindu, khususnya Carnatic, yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah aspek Raga-nya. Raga adalah mode musik, yaitu serangkaian notasi yang tersusun untuk membentuk irama/melodi. Dalam tradisi musik Hindu, raga-raga ini dihubungkan dengan berbagai waktu yang berbeda dalam satu hari atau dengan musim tertentu. Musik klasik India selalu disusun menurut aturan raga, sebagaimana pelantunan mantra Veda. Sekarang, musik non klasik seperti yang biasa kita dengar di film India atau yang disebut ghazal, beberapa masih menggunakan sistem raga ini dalam penggubahannya.

Matanga dalam kitab Brihaddeshi menjelaskan raga sebagai “suatu kombinasi nada-nada, dengan pancaran gemulainya yang indah, dapat memberikan rasa nyaman dan kesenangan pada orang secara umum”. Raga merupakan suatu formasi notasi musik, rangkaian nada yang memiliki pengaruh membangkitkan emosi tertentu, mewujudkan kondisi fisik, dan mempengaruhi secara positif keadaan batin orang yang mendengarnya. Berikut beberapa raga yang kita kenal dalam musik klasik Carnatic:

Raga BHILAHARI dihubungkan dengan perasaan cintakasih. Lagu ‘Najivadara’ karya Tyagaraja disusun dengan raga ini. Orang suci Tyagaraja dikatakan menyusun lagu tersebut dalam raga ini untuk meredakan nyeri perut yang diderita seseorang. Doanya dikabulkan dan orang yang mendengar lagu itu dipulihkan. Krishnalila Tarangini (Curahan Permainan Sukacita Krishna) karya Narayana Tirtha memiliki lagu ‘Purayamamakamam’ yang disusun juga dalam raga Bhilahari. Di sini beliau berseru, “Wahai Gopala, semoga hamba selalu dalam keadaan baik supaya dapat senantiasa menyanyikan kidung kemuliaan-Mu!” Lagu dalam raga Bhilahari ini bila dinyanyikan atau didengarkan akan membuat kita selalu sehat dan bersemangat.

Raga RATHIPATIPRIYA menambah kekuatan dan kebugaran dalam kehidupan keluarga yang bahagia. Raga dengan lima swara (notasi) ini memiliki kekuatan mengusir kemelaratan. Dia juga memiliki kekuatan untuk menghapuskan perasaan getir yang timbul oleh niat jahat. Lagu ‘Jagajanani Sukhavani Kalyani’ gubahan M.M. Dandapani Desikar dalam raga ini sangat terkenal. Menyanyikan atau mendengarkan Rathipatipriya menganugerahkan kebahagiaan dan memiliki pengaruh menyemangatkan.

Raga SANMUKHAPRIYA (Sanmugapriya) memiliki pengaruh mempertajam kecerdasan penyanyi dan pendengarnya. Dia menggugah semangat dalam batin dan menyegarkan kembali energi tubuh. Raga Sanmukhapriya diciptakan oleh Deva Sanmukha atau Kumara yang terlahir dari mata ketiga Siva, mata kebijaksanaan yang berkobar. ‘Parvati Nayakane’, ‘Saravanabhava Ennum Thirumathiram’ adalah lagu gubahan Papanasam Sivan yang terkenal dalam raga ini. Demikian pula ‘Valli Nayakane’ oleh Muthaiah Bhagavatar.

Deva Sanmukha dikenal pula sebagai Saravanabhava atau Kumara.

Raga KALYANI mengusir kelamnya kengerian. Dia memberikan hangatnya rasa aman perlindungan seorang ibu dan meningkatkan rasa percaya diri. Kalyani berarti Mangalam, kemujuran dan kesucian. Bila dilantunkan dengan penuh keyakinan dan pengabdian, raga ini diyakini juga dapat meningkatkan kemesraan perkawinan. Ada banyak yang melaporkan bahwa kekuatan raga ini dapat memusnahkan ketakutan berbagai jenis. Takut akan kemiskinan, takut karena cinta, takut pada kekuasaan, takut sakit, takut mati, dsb. Pujangga Tamil yang termashyur, Muthutandavar, menyanyikan ‘Chidambaram Ena En Manam Maghazhinthida Japam Cheyya’, ‘Kodiyya Janana’, dan ‘Maranam Ozhinthidum’ dalam raga Kalyani. Ketika Sri Tyagaraja menolak permohonan raja Thanjavur untuk menggubah lagu pujian bagi dirinya, beliau menyanyikan ‘Nidhi chala sukama, Ramuni sannidhi seva sugama’ dalam raga ini pula. Sri Shyama Sastri menggubah ‘Hemadrisute Pahi mam’ sebagai permohonan kepada Devi supaya mengalirkan kekuatan-Nya. Lalu Muthuswami Dikshitar mewariskan lagu ‘Kamalambal Navavarnam’ kepada kita yang berperan sebagai perisai, dengan kekuatannya melindungi kita dari pengaruh negatif vibrasi pergerakan planet-planet. Semua ini disusun dalam raga Kalyani.

raga Kalyani menghadirkan kasih Sang Ibunda Semesta, Jaganmatha Mahalaksmi

Raga KARAHARAPRIYA adalah obat yang ampuh untuk mengatasi kekhawatiran, kecemasan, dan gangguan kejiwaan. Tyagayya mengkhusukkan dirinya dalam raga ini saat menyanyikan ‘Chakkaniraja’ dan juga ‘Mithri Bhagyame’, ketika beliau memuliakan betapa terberkatinya Sita dan Laksmana hingga selalu dekat dengan Sri Rama dan mendengar panggilan sayang-Nya.

Raga AABHERI memiliki kekuatan untuk mengumandangkan suatu pemikiran. Hampir semua lagu-lagu gubahan baru yang memakai dasar Aabheri-raga menjadi hits. Dia memiliki kekuatan menenangkan pikiran yang terguncang. ‘Nagumomu’ karya Sri Tyagaraja dan ‘Bhajare manasa’ dari Maysuru Vasudevachar adalah lagu yang terkenal dalam raga ini.

Raga MOHANAM akan hadir ketika keindahan dan cinta tumbuh bersama. Mohanam adalah suatu raga yang mengharukan. Dia memiliki kekuatan menyaring pengaruh buruk nafsu birahi, kemarahan, dan kebimbangan atau kebingungan sehingga dapat memberikan banyak manfaat bagi seorang pencari rohani (sadhaka). ‘Rama ninnu nammina’ oleh Tyagaraja, ‘Gopika manoharam nagalinga namami’ oleh Muthuswamy Dikshitar, ‘Mayil Vahana’ dan ‘Kapali’ oleh Papanasam Sivan dan ‘Ramanai Kannara Kandena’ oleh Arunachala Kavirayar adalah beberapa lagu terkenal dalam raga ini.

bersambung-

Selasa, 05 Januari 2010

PERAN MUSIK DALAM AGAMA HINDU

Ada ajaran agama tertentu yang meyakini bahwa kesenian seperti musik, nyanyian, tari-tarian, lukisan, ukiran, dan sebagainya adalah berasal dari setan. Sehingga para penganutnya tidak dapat menghargai lagi kesenian dan kebudayaan warisan nenek moyang sebelum agama tersebut diajarkan dan dianut oleh para keturunannya. Sangat mudah bagi mereka membuang segala jenis kesenian yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama barunya, tanpa memikirkan betapa pentingnya melestarikan budaya leluhur yang begitu indah. Berbeda dengan agama-agama ini, dalam Hindu kesenian dan budaya tak dapat dipisahkan dari hidup keagamaan. Khususnya di India Selatan, tempat kebudayaan Veda masih bertahan dengan keaslian bentuknya selama ribuan tahun, seni budaya mendapat tempatnya yang sangat terhormat.

Bagi umat Hindu dari India Selatan dan terutama bagi para Vaishnava sebagaimana yang kami ketahui, seni budaya salah satunya musik, adalah bagian yang sangat penting dalam kuil-kuil kita. Dia membawa pemuja menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Musik-musik kuil begitu manis bagi telinga dan begitu menyejukkan hati. Agama-sastra atau Tantra-sastra merumuskan berbagai kidung-kidung pujian Veda yang berbeda-beda untuk dinyanyikan selama melaksanakan berbagai ritual pemujaan di kuil. Lagu-lagu Veda diatur dalam suatu pola khusus yang disebut Devapani. Veda Sama Ganam (Sama Veda) adalah naskah musikal yang menjadi asal muasal semua jenis musik klasik India. Pengidungan Sama Ganam merupakan bagian yang esensial dari pemujaan sehari-hari di kuil-kuil. Alat-alat musik yang berjenis-jenis, dipelihara dalam kuil adalah untuk mengiringi lagu-lagu suci ini. Ketika Suprabhatam pada pagi hari, Yang Mahakuasa dibangunkan dengan irama musik dan setelah menghias Citra Suci-Nya dengan berbagai busana dan bunga-bungaan, mantra Veda tertentu yang disebut Mantra-pushpam dinyanyikan oleh sekelompok pendeta. Setelah itu Nadaswaram dan Tavil, dua alat musik yang sangat khas dari India Selatan, akan dimainkan untuk menghibur Tuhan. Biasanya tidak ada ritual apapun yang dilaksanakan tanpa iringan musik dan lagu-lagu dari Veda. Pemujaan akan dilakukan empat kali dalam sehari dan tiap kalinya selalu diiringi dengan musik. Pada saat upacara Abhisekam, upanisad-upanisad akan didaraskan disertai alunan merdu berbagai alat musik seperti nadaswaram dan sebagainya. Ketika Arca dibawa berpawai keluar kuil juga diiringi berbagai jenis tetabuhan. Pada saat pemujaan terakhir pada malam hari (Ekantha Seva), Yang Mahakuasa juga dibuai alunan suara musik yang menyenyakkan.

Tavil-Nadaswaram

Musik klasik India bersifat kebaktian dan mengandung semangat pengabdian kepada Tuhan. Sepanjang periode Veda sampai jaman musik klasik, telah berkembang ribuan pemusik yang menggubah dan menyanyikan berjuta lagu-lagu kebaktian rohani untuk memuliakan Tuhan. Setelah bangkitnya gerakan bhakti, semangat pengabdian orang-orang mulai berkobar-kobar dan lagu-lagu rohanipun menjadi sangat terkenal. Adalah pada abad ke-10 seorang pemusik suci dan filsuf yang agung bernama Sri Nathamuni tertarik dengan lagu-lagu dari Nammalvar yang pernah didengarnya tengah dinyanyikan sekelompok pemusik dari pedalaman India Selatan. Terilhami oleh musik dan irama yang begitu indah dari lagu-lagu yang sangat kuno ini, membuatnya lebih tertarik lagi untuk berusaha mengumpulkan karya-karya sebelas Alvar lainnya yang hidup dalam berbagai abad. Dia berhasil mendapatkan 4000 lagu semacam itu dan menyusunnya menjadi sebuah kitab yang bernama Divya Prabandham, Kitab Kumpulan yang Suci.

Araiyar-sevai, menyanyikan kidung-kidung suci Divya Prabandham di hadapan Tuhan

Sri Ramanuja, pelopor pembangkit dan penggerak bhakti-vedanta setelah memantapkan filsafat Visishta-advaitanya menemukan bahwa sesungguhnya kumpulan 4000 lagu 12 Alvar ini tiada lain adalah refleksi langsung dari pemikiran-pemikiran Veda yang mendalam dan lagu-lagu Nammalvar disebut sebagai Thiruvaymozhi, Lagu Suci Yang Mahakuasa, karena mereka merupakan intisari dari Sama Veda. Sri Ramanuja setelah memantapkan filsafat Visishta-advaita kemudian berkeliling India menyebarkan dan membangkitkan kembali gerakan bhakti. Beliau mengadakan reformasi di hampir semua kuil, terutama yang disebutkan sebagai 108 Divyadesam (106 ada di bumi) dalam karya-karya para Alvar. Dia juga menegaskan bahwa lagu-lagu Divya Prabandham yang ditulis dalam bahasa Tamil tidaklah lebih rendah nilainya dari Veda-mantra, oleh karena itu hendaknya dinyanyikan oleh sekelompok Prabandha Adhyapaka dalam setiap pemujaan harian dalam kuil-kuil terutama di India Selatan. Dengan demikian Divya Prabandham memperoleh kedudukannya sebagai Dravidavedam, Veda dari Negeri Selatan. Divya Prabandham sendiri kemudian menjadi inspirasi bagi para penyair dan penggubah lagu rohani selama berabad-abad setelahnya.

Pada Kaliyuga ini, dikatakan bahwa menyanyikan dan memuji kemuliaan nama suci Tuhan adalah sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kesempurnaan. Tuhan Srinivasa (Venkateshvara), yang berstana di Bukit Suci Thirumala, tempat perziarahan paling terkenal bagi umat Hindu terutama yang berasal dari India Selatan, telah sejak lama menjadi pusat pemujian oleh para Alvar, Acarya, dan penyair-penyair suci. Bagian-bagian dari Nalayira Divya Prabandham yang mengandung lagu-lagu dari para Alvar setiap hari dinyanyikan di hadapan Beliau. Salah satu Alvar, yaitu Sri Kulasekharan dalam syair-syairnya mengungkapkan keinginannya untuk terus-menerus lahir kembali di bukit Thirumala. “Apapun wujudnya, entah menjadi apapun, dengan cara apapun! Entah itu sebagai ikan, atau semak belukar, atau kerikil, ataupun bebatuan!” Keinginan satu-satunya hanyalah agar dapat selalu berkumpul dengan Thirumala dan para Bhakta. Cintanya kepada Tuhan memuncak dan berkobar-kobar menjadi hasrat yang tak tertahankan. Tuhanpun mengabulkan permohonannya ini. Tangga berlapis lempengan emas yang berada di dalam Garbhagriha (Ruang Mahasuci) kuil Thirumala disebut Kulasekharapadi, Tangga Kulasekhara. Di sinilah Sang Alvar dikenang selama-lamanya.

Sri Purandara Dasa

Sri Tyagaraja

Tamil Prabandham dan Tuhan Sri Srinivasa kemudian juga mengilhami Tallapaka Annamacarya dalam menyanyikan lagu-lagu gubahannya dalam bahasa Telugu dan Sanskrit. Dari sekitar 32000 lagu yang digubah olehnya, saat ini hanya tersisa 12000 saja. Lagu-lagu Kirtana seperti ‘Brahma Kadigina Padamu’ dan ‘Adivo Alladivo Shri harivasamu’ sangatlah terkenal bahkan sampai sekarang. Pengaruh kebaktian kepada Sri Srinivasa dapat pula dilacak pada ribuan lagu yang dinyanyikan oleh penyembah yang sangat terkenal, Sri Purandaradasa. Hanya beberapa ratus saja lagu-lagunya dalam bahasa Kannada yang sekarang tersisa. ‘Dasana Maadiko Ena’, ‘Nambide Ninna Paadava Venkataramana’, adalah beberapa dari lagunya yang sangat berharga. Sri Srinivasa juga membuat pemuja Sri Rama yang melegenda, Swami Thyagaraja, penulis lebih dari 4000 lagu, turut mencurahkan hatinya dalam bhakti yang tak terbatas kepada-Nya. ‘Tera Teeyagarada’, ‘Venkatesha!’, ‘Ninnu Sevampinu’, adalah sebagian dari karya-karya kebaktiannya yang termashyur bagi Tuhan dari Bukit Venkata.


Tuhan telah memperkaya seluruh segi pendekatan bhakti dengan perantaraan musik yang indah, jalan yang termudah untuk menuju kepada-Nya. Veda tidak mematikan kreativitas seni mereka yang meyakininya. Justru setiap orang digugah untuk berkarya, menyatakan kecintaannya kepada Tuhan dengan bentuk kesenian yang paling indah. Kebudayaan asli daerahpun juga dikembangkan, terbukti dari dinyanyikannya kidung-kidung berbahasa selain Sanskrit seperti Tamil, Telugu, Kannada, dan lain-lain bersama-sama dalam upacara di kuil. Bagi umat Hindu, Tuhan memberikan banyak cara dan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan-Nya. Hal ini telah dibuktikan oleh para rohaniwan agung dari segala abad. Sungguh kita bersyukur atas anugerah-Nya yang istimewa ini, kini dan untuk selama-lamanya.

Senin, 04 Januari 2010

KEBENARAN MUTLAK DALAM SEBATANG KAYU

Seringkali orang menganggap bahwa penempatan sesaji di bawah pohon atau persembahyangan yang dilakukan di bawah pohon adalah suatu bentuk keyakinan primitif yang dilakukan oleh orang-orang purba yang tidak beradab. Orang-orang sering berpikir bahwa pemujaan yang dilakukan di satu gedung mewah, dengan bangunan yang permanen, adalah lebih baik atau lebih tinggi nilainya dari pemujaan yang dilakukan di alam terbuka, termasuk di bawah pohon. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang bersembahyang di bawah pohon tidak mengenal Tuhan yang sejati, melainkan memuja roh-roh yang bersemayam di pohon-pohon itu. Ini adalah pendapat yang sama sekali salah. Dalam Veda-dharma kita tidak saja mengenal pemujaan yang bertempat di bawah pohon, tetapi juga ada pemujaan terhadap beberapa pohon tertentu yang disucikan. Pippala (beringin), Bael, dan Tulasi adalah sebagian dari banyak pohon yang dihormati oleh para pengikut Veda.


Pohon tidaklah lebih dari tempat-tempat atau elemen-elemen alam lainnya. Penghormatan Veda terhadap pohon adalah dengan memperhatikan beberapa hal. Pohon adalah suatu makhluk hidup. Itu artinya dia memiliki jiva atau atma. Pohon adalah suatu pribadi, suatu individu. Pohon juga merupakan tempat tinggal bagi begitu banyak kehidupan. Dia memiliki peran yang penting dalam memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya dan juga menyediakan perlindungan. Dalam satu pohon, apalagi semakin dia besar, akan ada banyak sekali makhluk yang tergantung padanya. Kita juga meyakini, bentuk-bentuk kehidupan tertentu yang tidak dapat dilihat oleh mata jasmani bisa saja menganggap pohon sebagai rumahnya. Ada begitu banyak jiva yang berdiam di sana. Pohon juga adalah simbolisasi. Dia bisa berperan sebagai emblem yang mengingatkan kita kepada Sang Sumber Segala Sesuatu. Melihat pohon tertentu dapat membuat kita mengingat Tuhan, Penguasa Sejati seluruh alam semesta.

Pertama kita melihat pohon sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman isi alam semesta. Dia adalah salah satu elemen alam. Tidak ada satu tempat pun di seluruh manifestasi kosmis ini yang tidak diresapi oleh kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai Paramatma bahkan berada di atom yang terkecil sekalipun. Jadi bukanlah hal yang salah bila beberapa orang, atau beberapa kelompok manusia, yang memiliki rasa kedekatan dengan alam justru menemukan Tuhan di pepohonan. Mereka menjadikan pohon yang terpilih sebagai tempat mereka melakukan pemujaan, menyatakan rasa syukurnya, atau ungkapan perasaan lainnya kepada Tuhan di bawah pohon. Dalam pemahaman seperti ini, apa bedanya sebatang pohon dengan bangunan dari beton? Tentu tidak ada. Ini hanyalah suatu tempat kita bisa mencurahkan perasaan kita. Banyak orang masih pacaran di bawah pohon, padahal sudah ada cafe, resto mewah, dsb. Jadi bukan masalah bila beberapa orang menjalin kasih dengan Tuhan Yang Maha Esa di bawah pohon, toh seluruh tempat di alam semesta ini adalah milik-Nya. Kita juga harus ingat betapa besar manfaat pohon bagi kita. Regulasi air, udara bersih, pangan, sandang, dan papan kita, semua dikerjakan oleh tumbuh-tumbuhan. Pohon-pohon ini adalah karunia Tuhan yang begitu besar kepada kita semua. Bukankah dengan demikian naungan sebuah pohon boleh kita anggap sebagai salah satu tempat terbaik untuk memuliakan Tuhan?

Pemahaman kedua adalah kita melihat pohon sebagai tempat berdiamnya begitu banyak makhluk hidup. Bila kita ke Bali, Thailand, Kamboja, Myanmar, India, dan tempat-tempat lain yang masih berpegang pada tradisi Dharma, kita akan melihat begitu banyak altar-altar kecil di bawah pohon-pohon besar. Orang awam hanya bilang pohon itu angker, ada penunggunya, ada hantunya, dsb. Tetapi pengertian sebenarnya adalah ada bentuk-bentuk kehidupan yang berdiam di pohon itu. Manusia adalah trespasser (pelanggar). Kita sering melakukan pelanggaran dalam segala hal, sengaja maupun tak sengaja. Dengan tingginya individualisme sekarang ini, bahkan bila kita melangkah di pekarangan orang pun bisa ditodong senapan oleh yang punya. Ini lazim di negara-negara Barat, tapi mungkin di Indonesia belum setajam itu. Tetapi untuk hidup kita banyak melanggar wilayah tempat tinggal berbagai makhluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu apabila orang membuat desa, biasanya dengan merabas hutan. Satu pohon beringin besar disisakan atau sengaja ditanam di tengah-tengah desa. Desa-desa di India dan setahu saya di Bali juga memiliki pola seperti ini. Lalu pohon beringin ini menjadi pusat desa, selain Pura tentunya. Di sana penduduk mendirikan altar kecil dan memberikan persembahan makanan, dan lain-lain. Mengapa seperti itu? Kita yakin bahwa begitu banyak makhluk tinggal di pohon. Ketika kita menebang pohon untuk keperluan kita, begitu banyak yang kehilangan tempat tinggal. Kita harus menebang secukupnya saja, dengan betul-betul memperhatikan efeknya pada lingkungan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Jadi kita berusaha selalu ingat, bahwa demi fasilitas yang kita nikmati, banyak makhluk yang kesenangannya kita ganggu dan wilayahnya kita langgar. Para tetua pendiri desa, sebagai contoh, lalu mempersilakan semua makhluk itu untuk berdiam di pohon yang berada di pusat desa. Manusia mengajaknya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Setiap hari kita menyatakan rasa terimakasih kita dengan memberikan sedikit hasil alam yang kita nikmati dalam bentuk sesaji sederhana. Setiap generasi yang hidup di desa itu harus ingat, bahwa mereka bisa tinggal di sana berkat kerelaan makhluk lain untuk berbagi tempat tinggalnya. Kita tentu tidak bisa membuktikan secara ilmiah, apakah memang benar ada hal-hal semacam makhluk halus yang menjadi penghuni pohon dan sebagainya. Apakah mereka memang mau dan bisa makan sesajian. Kita tidak bisa memastikan. Tetapi seekor semut pun berguna bagi kita, sehingga kita juga perlu berterimakasih pada mereka. Kenyataannya semut-semut itu yang pasti mendapat makanan dari sisa persembahan kita. Paling tidak sikap mental yang baik kita kembangkan. Pikiran dibiasakan untuk berterimakasih, untuk selalu mengusahakan kehidupan bersama yang harmonis, untuk selalu mengingat bahwa manusia hidup tidak sendiri dan memang tidak mampu untuk hidup sendiri.


Pemahaman ketiga adalah kita melihat bahwa dalam Veda ada penghormatan terhadap pohon-pohon tertentu. Tumbuhan yang disucikan oleh umat Hindu antara lain Tulasi, Bael (Bilva), dan Pippala. Di sini pohon-pohon ini dihormati sebagai suatu individu, suatu pribadi yang istimewa. Sebagai contoh, Tulasi terutama dipuja sebagai manifestasi dari Vrinda-devi oleh para Vaishnava. Tulasi merupakan tumbuhan yang disayangi Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana. Setiap bagian tumbuhan ini adalah mutlak diperlukan dalam segala jenis pemujaan kepada Sriman Narayana. Daun-daunnya dan bunga-bunganya digunakan untuk untaian bunga yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kayunya ada dalam kapas tercelup minyak yang digunakan untuk persembahan pelita kepada Tuhan. Selain itu bila digiling menjadi pasta, dia dapat digunakan sebagai penyejuk yang dipersembahkan juga untuk Tuhan. Api homa menyala dengan kayu Tulasi pula. Setiap yajna dan puja tidak sempurna tanpa kehadirannya. Tulasi menyatakan ideal seorang bhakta yang mencintai Tuhan dengan segenap jiwa raganya. Setiap bagian dirinya adalah persembahan bagi Tuhan. Hidupnya adalah semata demi memuliakan Sriman Narayana di dunia ini. Mungkinkah kita mendapatkan teladan lain yang sebaik Tulasi dalam memuja Tuhan? Bahkan hanya dengan berada di dekatnya dan melihatnya, seorang Hindu segera diingatkan akan Sriman Narayana pujaannya. Karena itulah semua keluarga Hindu tradisional biasanya menanam Tulasi di rumahnya dan memujanya setiap hari. Tulasi juga bisa digolongkan sebagai tadiya. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan segala benda yang berhubungan dengan Tuhan. Semua tradisi Bhakti dalam Hindu menyatakan bahwa tadiya ini juga harus dipuja, karena pemujaan itu akan menganugerahkan bhakti yang semakin dalam kepada Tuhan. Oleh karena itu kita juga mengenal kebiasaan memisahkan semua alat-alat yang digunakan untuk puja (kumbhan, vattil, piring, vastram, ganta, tripada, dsb.), dengan alat-alat yang kita gunakan untuk diri kita sendiri. Alat-alat ini disucikan, bahkan dihormati sedemikian rupa, karena kehadirannya menyatakan kehadiran Tuhan. Pohon-pohon yang memiliki hubungan khusus dengan pemujaan kita pada Tuhan, seperti Tulasi, Bilva, dan Pippala, juga turut dihormati dan dipuja sebagai pribadi-pribadi istimewa.

Tulasi

Pemahaman yang keempat adalah bahwa pohon sendiri merupakan simbolisasi Tuhan, bahkan Citra dari Tuhan Sendiri. Dalam Veda, Citra Tuhan dapat diwujudkan dengan Sila (batu) seperti Salagramam, Lekhya (lukisan) seperti Yantra-Mandala, dan juga Daru atau kayu. Tuhan dalam kayu disebutkan oleh Taittiriya-upanishad (10.12) adau yaddaro plavate sindho pare apaurusam tada ravasva durdano tena yahi parasparam. Citra Tuhan ini, adalah Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, yang tiada terbentuk oleh tangan makhluk fana, mengapung di atas samudera. Dengan memuja-Nya, kediaman tertinggi dan kesempurnaan yang paling akhir dapat dicapai. Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu ini dijelaskan dalam Purana dan Itihasa sebagai Daru-brahman, yang kini dipuja di Jagannath Puri Orissa, India Timur. Daru-brahman hadir dalam Tiga Wujud yang dikenal sebagai Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra. Para Vedanti memahami-Nya sebagai pengejawantahan Ananda (Kebahagiaan Tertinggi), Cit (Kesadaran Tertinggi), dan Sat (Kenyataan Tertinggi atau Kekekalan). Mereka adalah Trimurti Hindu, Vishnu, Rudra, dan Brahma, sekaligus merupakan Adi-parasakti. Para Tantrika memuja-Nya sebagai Adi Bhairava, Uttara-sadhaka, dan Uttara-sadhika. Bagi Vaishnava dinyatakan sebagai perwujudan Paravasudeva dengan berbagai sakti-Nya. Bagi Jaina adalah Sang Jina, dan bagi Buddhis Vajrayana adalah Tri Ratna, sebagaimana tercantum dalam Jnanasiddhi dari Indrabhuti-tantra. Para Adivasi (suku pribumi) tetap memuja-Nya dalam pohon yang berada di desa mereka sebagai Jagant-Kitung atau ada pula yang menyebut-Nya dengan tiga nama Jakeri-penu, Tana-penu, dan Murabi-penu, dalam wujud pilar kayu. Sungguh menarik juga ketika Media Hindu mengatakan bahwa umat Hindu Alukta melihat pohon tertentu sebagai sthana dari Puang Matua atau Tuhan Yang Maha Esa.

Citra Sri Sri Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra di Mayapur, Bengala, India.

Persembahyangan di “pohon” memang ada dalam Hindu dan ini bukanlah bentuk keyakinan primitif atau kesesatan yang menjauhkan dari Tuhan Sejati. Tuhan memang berada di pohon, bahkan di setiap tempat dan sudut semesta. Umat Hindu diajarkan dan dilatih untuk melihat kehadiran-Nya yang universal itu. Kita dibawa untuk dapat menghargai dan menghormati alam ciptaan-Nya. Betapa kasih sayang-Nya dan berkat-Nya ada dalam setiap elemen yang menyusun seluruh manifestasi kosmis ini. Mereka yang tidak dapat memisahkan kehidupannya dari alam, menemukan Tuhan di dalam alam itu sendiri. Bahkan Kebenaran Mutlak Tertinggi, Parabrahman, telah mewujudkan Diri-Nya sebagai Daru-brahman, Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, oleh cintakasih-Nya kepada segenap ciptaan-Nya, terutama bagi mereka yang juga menyayangi ciptaan-Nya.

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking