Agama Hindu di Indonesia, terutama di Bali, pernah dikenal atau disebut dengan Agama Tirtha atau “Agama Air”. Ini karena begitu intensnya penggunaan Air (suci) dalam semua upacara keagamaan dan juga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-harinya. Bila diperhatikan hampir pasti atau bahkan selalu akan kita dapatkan air dipercikkan. Sekilas ini tampak berlawanan dengan agama Veda awal yang sering disebut oleh orang-orang justru sebagai “agama api”. Hal ini juga disebabkan karena hampir semua upacara pengorbanan (yajna) dalam Veda adalah Homam atau upacara api suci. Pusat kehidupan dalam masyarakat Veda adalah tungku Homam, tempat dipujanya para Devata dan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yajnapurusha melalui Agnihotra. Bahkan disebutkan bahwa pengantara utama antara manusia dengan para deva adalah Agni, Api. Mantra-mantra Veda dimulai dengan …agnimile purohitam…, dst. Sukta terpenting dalam Veda, Sri Purusha-sukta, menunjukkan bahwa bahkan alam semesta diciptakan melalui Yajna, terutama api suci. Begitu pula mantra persembahan yang terkenal …brahma-arpanam brahma-havir brahma-agnau… jelas menunjukkan bahwa upacara api suci, Homa, atau Agnihotra adalah bentuk upacara Veda terpenting. Lalu bagaimana dengan agama Hindu yang mengutamakan penggunaan Air? Apakah tidak sesuai dengan Veda?
Ada suatu bagian dalam Veda, Rik Taittiriya-aranyakam yang disebut Surya Namaskara Prashnam yang memiliki 32 Anuvakam (bagian). Anuvaka ke-22 memuat yang dikenal sebagai Mantra Pushpam, yang terdiri dari 12 Mantra (Pancasat). Mantra Pushpam ini memiliki kedudukan yang sangat penting sampai saat ini dalam masyarakat penganut Veda. Baik dalam upacara Homam tradisional maupun pemujaan umum di Pura dengan kehadiran Archa, dsb. mantra-mantra ini selalu diucapkan. Boleh dikatakan tidak ada upacara tradisional Veda tanpa pengucapan Mantra Pushpam . Rangkaian pertama dari Mantra Pushpam adalah Pancasat ke 78-84. Yang ke dua adalah Pancasat 85 dan 86, bersama dengan rangkaian ke tiga yaitu Pancasat 87-89, berhubungan dengan pelaksanaan Yajna yang disebut Aruna Ketuka Sayanam. Mantra-mantra dari rangkaian pertama (Rik 78-84) mengungkapkan kepada kita bahwa APAH (Air) adalah merupakan dasar yang menyokong (adharam) dan prinsip yang mengandung (adheyam) bagi semua unit waktu (Kala) beserta semua ciptaan termasuk juga Prana (energi kehidupan), segala jenis tanaman pangan, Tattva-tattva, dan Chanda atau bentuk-bentuk susunan mantra seperti Gayatri, Anustuph, dsb. Rik-rik ini (78-84) menyatakan bahwa orang yang bermeditasi pada Air, Jalam atau Apah sebagai “personifikasi semua Devata”, Sarva Devata Svarupam (dengan demikian berarti bermeditasi kepada Tuhan yang hadir dalam Air), akan memperoleh segala yang baik sebagai hasilnya.
Ada disebutkan pula dalam Veda Taittiriya Samhita, “apohista mayoh bhuvastha na urjeh dhadatana – apoh janayata ca nah, Wahai Apah, Engkau adalah yang menganugerahkan kebahagiaan, maka anugerahilah kami dengan makanan (hidup) dan penglihatan yang agung serta indah (dari Kebenaran Tertinggi). Jadikanlah kami turut berbahagia dalam kebahagiaan-Mu dalam hidup saat ini juga. Setelahnya semoga kami mencapai kediaman-Mu yang penuh kenikmatan.” Rik ini menunjukkan bagaimana Air (Apah) dipuja sebagai Sarva Devata Svarupa dan identik dengan Tuhan Sendiri. Uttararchika Saman (Bagian ke dua dari Samaveda Samhita) kembali secara khusus menyatakan hubungan antara Apah dan anugerah yang kita peroleh dengan memahaminya sebagai Sarva Devata Svarupam. “Wahai Air, Engkau menghapuskan segala noda dan demi menyucikan diri dari segala noda kami menghampiri-Mu. Anugerahilah kami keturunan yang mampu memanfaatkan Air dengan benar”(Saman ke-1839). Bagi para Jnani, Air bukan sekedar pemuas dahaga dan pembersih kekotoran badan, namun memiliki prinsip Ketuhanan yang terkandung di dalamnya.
Berkaitan dengan peran penting Agni dalam Veda seperti yang umumnya kita ketahui, maka Atharva (Anuvaka ke-5, 20.2) mengungkapkan hubungan antara Agni dengan Apah, “Semua Agni bersemayam dalam Air (seperti Vadava-analam/panas bumi dalam lautan, petir dalam awan hujan, panas dalam pencernaan manusia, panas yang mematangkan buah-buahan, dsb) – semoga semua api ini dimanfaatkan dengan benar”. Jadi bahkan Api/Agni terkandung dan berhubungan erat dengan Air. Bila kita kembali ke Mantra Pushpam, maka pancasat ke-84 memvisualisasikan seluruh alam semesta sebagai sebuah kapal besar yang mengarungi lautan Air yang mahaluas. Seluruh alam semesta disokong oleh Air yang merupakan Sarva Devata Svarupa dan masuk ke dalam Purusa sebagai sumbernya. Seorang Upasaka yang memahami kebenaran sejati yang terkandung dalam Air sedemikian rupa disebut Sthitaprajna yang akan memperoleh anugerah menjadi Pushpavan (dilimpahi kehormatan dan kemuliaan), Prajavan (memperoleh keturunan yang baik), dan Pasuman (memiliki banyak ternak).
Sebelumnya kita diberikan gambaran bagaimana seorang jiwa yang telah sangat maju rohaninya mampu memahami hubungan kosmis yang menyatukan segalanya sebagai emenasi Tuhan Tertinggi, sebagaimana proses penciptaan diuraikan dalam Purusha-suktam. Setelah itu dijelaskan hubungan air dengan seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Pancasat berikutnya menyatakan, “Segenap alam semesta ini berakar dalam Air. Intisari (rasam) dari Air bercahaya, rasam itu terwujud sebagai sinar putih dari orbit matahari. Hamba mengumpulkan rasam ini dan menghaturkannya dalam wadah-wadah air yang suci.” Kata rasam dalam bahasa Sanskrit dapat berarti bermacam-macam. Di sini menyatakan intisari kehidupan, yang memberikan kekuatan hidup, dan intisari itu terkandung dalam air. Mantra ini dilantunkan saat menghaturkan Soma-rasam kepada para Deva dalam suatu upacara Veda yang disebut Soma-yajna. Perasan Soma (ekstrak) adalah kekuatan kehidupan yang kekal. Ketika kekuatan ini dihubungkan dengan Air, dia divisualisasikan sebagai sinar putih matahari yang kemudian disalurkan ke dalam kumbham, periuk wadah Air Suci. Dengan menyatakan bahwa akar seluruh dunia adalah Air, maka ditegaskan kembali bahwa intisari kekuatan dalam airlah yang mewujudkan seluruh dunia ini. Dari manakah sumbernya? Secara mental Surya Mandala, bulatan matahari, adalah tempat bersemayamnya intisari ini. Tuhan Yang Maha Esa, Parabrahman, kemudian dipahami sebagai sumber energi matahari dan juga secara rohani hadir sebagai Jiwa Utama dari matahari, Surya-narayana. Oleh karena itu, upasaka yang memahami Tuhan sebagai yang divisualisasikan bersemayam dalam Surya-mandala, memahami pula sumber dari rasam yang terkandung dalam Air, setelah itu dia juga mampu memeras dan mengumpulkannya dalam wadah suci. Dengan demikian Air ini diberkati dengan intisari kekuatan kehidupan.
Keseluruhan proses demikian disebut Yajna Aruna Ketuka Sayanam. Siapapun yang melaksanakan Yajna ini dengan tepat, maka dia akan “kembali menyatu dengan matahari”, Surya Sayujyam. Maknanya adalah dia akan kembali kepada Sang Sumber Segalanya, Tuhan Tertinggi yang divisualisasikan bersemayam dalam Surya Mandala. Dia yang memuja Aruna Ketuka Agni, memahami-Nya sebagai intisari dari Air, diberkati dengan kata “Mithunavan bhavati”, yaitu akan memperoleh kebahagiaan di masa kehidupannya di dunia saat ini dan juga setelahnya. Keseluruhan bagian Veda ini menunjukkan bahwa praktik keagamaan yang memusatkan pada air, sesungguhnya tidak berbeda dari yang berpusat pada api. Terlebih lagi ditunjukkan hubungan istimewa antara Surya dengan Air. Mengingat bahwa agama Hindu yang berkembang di Indonesia, khususnya di Bali, memang memiliki corak berpusat pada Surya, maka sebenarnya dengan merujuk pada sumber-sumber asli Veda ini sangatlah tidak mengherankan jika air memegang peranan yang amat penting. Pelaksanaan Surya-sevana dan “pembuatan air suci” oleh para Sulinggih kita sungguh mencerminkan praktik rohani (upashana) dari bagian Veda ini.
Senin, 23 Mei 2011
Selasa, 01 Maret 2011
SELAMAT HARI RAYA NYEPI
Hindu bersama banyak tradisi relijius kuno lainnya menganut sistem waktu yang bersifat siklik. Berarti bahwa penciptaan dan peleburan adalah proses berkesinambungan tanpa awal dan akhir. Peleburan, bukanlah akhir segalanya, melainkan suatu proses yang alamiah untuk mengembalikan manifestasi alam yang telah usang, kembali menjadi bahan-bahan penyusunnya, untuk selanjutnya hadir dalam wujud yang segar dan baru.
Perayaan tahun baru selalu dilaksanakan sebagai pesta untuk menyambut hadirnya suasana dan kebahagiaan yang baru di masa depan. Namun sebagaimana layaknya kita hidup di alam duniawi ini, dengan selalu berdampingan antara suka dan duka, adalah mustahil mengabaikan bahwa di masa depan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, tantangan, halangan, maupun bentuk-bentuk penderitaan yang lebih berat lagi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa setahun ke depan pasti ada kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Merayakan pergantian tahun bukan saja bergembira karena masalah yang telah lalu telah lewat, namun juga sebenarnya menyambut sebuah ketidakpastian yang baru. Perenungan semacam ini sangat jarang dilakukan oleh kebanyakan dari kita.
Kita patut bersyukur karena leluhur kita, umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali, telah mewariskan suatu bentuk perayaan tahun baru yang sarat dengan nilai filosofis dibanding sekedar gegap-gempita suasana pesta. Perayaan Nyepi adalah bentuk perayaan yang tepat untuk sebuah pergantian tahun.
Rangkaian ritual Nyepi dimulai terutama saat prosesi melasti. Melasti dinyatakan sebagai upacara untuk menyucikan diri, prayascitta, dan memohon amrita kehidupan bagi semua makhluk. Dalam Veda, sebelum kita melaksanakan puja, yajna, atau acara apapun, pasti akan diawali dengan upacara menyucikan diri. Penyucian yang terbaik adalah dengan mengingat Tuhan Yang Maha Esa, Vishnu, yang kehadiran-Nya meresapi segala-galanya di seluruh alam semesta ini. Ingatan akan Kemaha-adaan Vishnu, seketika itu juga akan membawa kita dalam keadaan Pavitram (suci) secara lahir maupun batin (sa bahih - abhi - antarah). Ketika Pratima para devata dibawa berjalan bersama kita, maka ini membawa kita pada suasana adi-duniawi. Pratima menyatakan kehadiran para Devata di tengah-tengah kita. Maka sekalipun secara lahiriah kita masih melangkah di dunia, namun mental kita diarahkan untuk berada di alam-alam luhur.
Melasti juga dapat menandakan Sankalpa, ucapan peneguhan. Upacara-upacara suci dalam Veda selalu diawali dengan pengucapan Maha-sankalpa, yaitu menyatakan tekad kita untuk melaksanakan upacara tertentu itu. Sankalpa menetapkan hati kita untuk tidak mundur saat kesulitan muncul di tengah upacara dan tidak menghentikannya sebelum maksud yang diinginkan dapat diwujudkan. Air dan samudera adalah perlambang dari Sankalpa ini, dan upacara Sankalpa juga dilakukan dengan sarana mencurahkan air. Jadi kita menetapkan hati untuk menyelesaikan tugas dan menjalani hidup sesuai dharma kita di tahun yang akan datang ini.
Selanjutnya tibalah Tilem atau dalam Veda disebut Amavashya. Amavashya adalah hari yang sejak jaman dahulu kala diperuntukkan untuk melaksanakan persembahan yang disebut Tarpanam. Tarpana berarti memberi kesejukan, kelegaan, atau kesenangan. Tarpanam terutama memang dipersembahkan kepada Pitri, roh nenek moyang yang telah mendahului kita. Namun sesungguhnya Tarpanam adalah persembahan kepada setiap jiwa yang memiliki hubungan karma dengan kita, dan itu berarti semua bentuk kehidupan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yang tanpanya kita tak mampu hidup dengan baik di dunia ini.
Di Indonesia, ini adalah saat dilakukannya upacara persembahan Tawur dan Caru kepada para Bhuta serangkaian dengan perayaan Nyepi. Bila kita melihat isi dari persembahan Tawur atau Caru, di sana akan tampak berbagai jenis bahan yang bersifat Tamasika atau mengandung sifat kegelapan – kebodohan. Bahan-bahan Tamasika adalah sumber energi yang paling kasar dan rendah. Di India, bila seorang Brahmin menyentuh benda-benda Tamasika, maka ia harus melakukan penyucian diri lagi.
Tetapi di sisi lain, bahan-bahan yang bersifat Tamasika juga melambangkan energi duniawi yang bergelora. Ini adalah kesukaan dari makhluk-makhluk yang juga bersifat Tamasika dan dapat memberikan kepuasan/kesenangan bagi mereka. Anda bisa membayangkan bagaimana jika melihat sampah plastik berserakan di mana-mana, tentu ada rasa tidak suka. Tetapi seorang pemulung yang mendaur ulang plastik akan senang sekali. Itu karena sampah ini sangat bermanfaat untuknya dan dia memiliki kemampuan untuk mengolahnya menjadi barang yang lebih baik.
Kita juga harus tahu bahwa setiap unsur penyusun alam ini juga disebut Bhuta. Kemudian setiap unsur alam memiliki pengendali yang disebut Abhimani-devata. Energi alam yang ganas dan sulit dikendalikan dapat mengakibatkan bencana bagi manusia. Contohnya api bila digunakan dalam kompor di dapur akan bermanfaat tetapi bila tak dikendalikan akan menjadi kebakaran yang memusnahkan. Energi yang ganas ini dipersonifikasikan dalam Tantra sebagai wujud murka dari Devata yang disebut Ugrarupa. Jadi pada upacara Bhuta-yajna, saat pengundangan (avahana) kita tidak memanggil para Bhuta dalam pengertian makhluk-makhluk halus yang bersifat Tamasika saja. Kita memohon kehadiran Ugrarupa dari para Abhimani-devata. Dengan memperlihatkan berbagai benda kesenangan yang disusun dalam wujud berbagai Mandala atau diagram kita berupaya mendamaikan energi yang bergelora itu. Mandala-yantra ini “dihidupkan” dengan mantra, sehingga lambang akan menjadi yang dilambangkannya, persembahan yang sedikit akan divisualisasikan memenuhi seluruh alam semesta dan “menjadi” seluruh alam semesta. Semuanya dileburkan secara mental ke dalam energi alam yang bergelora itu, kemudian energi itu kembali dipersatukan dengan para Abhimani-devata yang menguasainya. Energi itu menjadi “jinak” dan tenang (Saumya). Para Devata pun dapat dipuja dalam Saumyarupa-Nya yang pengasih dan menganugerahkan kehidupan yang harmonis bagi semua makhluk.
Saat Nyepi tiba, kita memasuki keadaan yang benar-benar “diheningkan”. Inilah masa ketika kita merenungkan secara mendalam makna keberadaan diri kita dan perannya sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta. Hening menandakan saat ketika semua telah berada di tempatnya yang sebenarnya. Ke-sunya-an bukanlah dipandang sebagai kekosongan yang tak ada apa-apanya, nol – nihil. Sunya adalah keadaan dimana segala sesuatu berada pada keadaan awalnya, sesuai aslinya, tattva. Tathata, kesedemikianan. Keadaan seperti ini juga mengingatkan kita pada keadaan sebelum Brahma menciptakan alam semesta. Di sekeliling Brahma hanya ada kegelapan dan kekosongan yang hening. Lalu Brahma memulai fungsi kreatifnya bukan dari membuat dari tidak ada menjadi ada, melainkan mengolah energi primordial menjadi alam semesta yang dapat dipersepsi berikut semua bentuk kehidupan yang beraneka warna. Brahma mewujudkan semua itu melalui kekuatan TAPA.
Seperti itu pula saat Nyepi, di tengah keheningan, kita melaksanakan tapa mengarahkan energi kreatif kita, yang telah disucikan dan diberkati oleh Tuhan melalui berbagai ritual dan prosesi yang mendahului Nyepi. Dengan energi ini kita akan menyusun diri kita untuk menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi di tahun yang baru. Mengisinya dengan kesegaran karya-karya kita yang baru dan menjalani dharma kita dengan kebugaran semangat yang baru. Nyepi bukanlah sekedar rutinitas ritual yang kita jalani setiap tahun. Ini adalah kebenaran yang maknanya akan terkuak melalui kontemplasi mendalam dan tentunya sangat bermanfaat dalam segala aspek kehidupan. SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU SAKA 1932.
Label:
nyepi
Langganan:
Postingan (Atom)