Minggu, 05 September 2010

VAISHNAVA DHARMA DI THAILAND (3)

Perayaan-perayaan rakyat yang masih dilaksanakan di Thailand memiliki latar belakang Veda dan Vaishnava, walaupun kini sudah disesuaikan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat. Tahun Baru Sonkran pada awal musim semi dirayakan dengan saling menyemprotkan air (kadang-kadang sudah diwarnai) merupakan kelanjutan dari perayaan Holi di India. Holi sampai saat ini masih merupakan perayaan Vaishnava yang paling meriah dengan berbagai makna yang berhubungan dengan cintakasih semesta, nilai yang paling dijunjung tinggi dalam masyarakat Vaishnava.

Festival Ayunan Triyambavay Tripavay merupakan turunan dari Jhulana Yatra untuk merayakan lila Sri Sri Radha Krishna. Di Thailand perayaan ini ditambah makna baru yaitu peringatan turunnya Phra Issuan ke bumi dan tinggal selama 10 hari. Phra Issuan diidentikkan dengan matahari (Phra Ah-thit/Surya) sehingga ayunan ini mengarah ke Timur-Barat (bandingkan dengan Saivisme Bali dengan konsep Sivaditya/Siva-raditya). Phra Issuan dan Phra Ah-thit menggantikan posisi Krishna dalam perayaan ini. Upacara Pembajakan Sawah Kerajaan, Rek Na, merupakan Bhumi-puja yang juga bercorak Vaishnava. Bhu-devi adalah sakti dari Sri Vishnu. Upacara ini menuruti ritual serupa yang terdapat dalam Satapatha Brahmana dan Srimad Ramayana, dipimpin oleh Raja sendiri didampingi oleh Phra Rajaguru.

Pemujaan Varuna dalam perayaan memohon hujan, Baruna Satra, kemudian perayaan musim gugur, Bidhi Sarada, juga berdasarkan paham Vaishnava. Loi Krathong, perayaan untuk menghormati Trideva (Phra Phrom, Phra Narai, dan Phra Issuan) dan Devi Air Mae Khongkhaa (Ma Ganga), dengan cara melarung persembahan serta pelita ke sungai tiada lain adalah Ganga-puja. Thailand juga terkenal dengan pembuatan jimat pelindungnya. Salah satu jimat yang paling kuat menggunakan gambar Vishnu (Phra Narai) memegang chakra, gada, sankha, dan padma, yang dilekatkan bersama Buddha menjadi sebuah medali. Medali ini dibuat oleh para Bhikku yang mumpuni dengan meditasi, pengucapan doa, dan pemberkatan secara berulang-ulang.

Kamis, 02 September 2010

VAISHNAVA DHARMA DI THAILAND (2)

Thailand adalah negara Buddhis, apabila ada unsur Veda dalam kehidupan keagamaannya itupun bersifat Sivaistis. Devata tertinggi bagi orang Thai adalah Phra Issuan (Ishvara) yang bersemayam di gunung suci Krai Lats (Kailasha). Namun Saivisme Thailand hanya sebatas itu. Peran Siva bersifat tidak langsung berkaitan dengan dunia dan manusia, fungsi berkaitan dengan dunia dan manusia ini justru dilaksanakan oleh Phra Narai (Vishnu). Hal ini bersifat paralel dengan keyakinan Buddhis, yaitu Buddha merupakan bentuk kesempurnaan tertinggi. Akan tetapi Buddha tidak berhubungan dengan dunia, hubungan ini dilaksanakan oleh para Bodhisattva (terutama dalam keyakinan Mahayana). Khusus bagi negara-negara Theravada (terutama Srilanka), peran ini dipegang oleh Lokeshvara atau Avalokiteshvara, personifikasi sifat welas asih Buddha (mahakaruna), yang mungkin adalah satu-satunya Bodhisattva yang diakui dan dipuja oleh pengikut Theravada. Kedudukan Phra Issuan dengan Phra Narai di Thailand juga seperti ini. Paham Saiva yang demikian tentu lebih mudah berkembang di Thailand, berdampingan dengan Buddhisme Theravada. Konsep Vaishnavisme Thai, seperti juga pengaruh Veda lainnya berasal dari Kamboja.

Lokeshvara-Vishnu di Ankor-vat

Vaishnavisme dalam bentuk murninya saat ini hampir tidak dikenal di Thailand. Unsur-unsur Vaishnava sudah dileburkan ke dalam Saivisme dan kemudian Buddhisme. Pemujaan kepada Phra Narai sebagai Lokeshvara tampak pada kebaktian rakyat Thai kepada Raja. Phra Narai adalah Raja Pelindung Dunia dan umat manusia. Raja yang ideal adalah Phra Ram (Sri Rama), inkarnasi dari Phra Narai Sendiri, dan raja-raja Thai mengembangkan konsep Devaraja Hindu sebagai penerus Sri Rama dipadukan dengan konsep Dharmaraja Buddhisme (Raja sebagai pelindung ajaran Buddha) terutama sejak jaman dinasti Ayutthaya. Devata dalam kehidupan manusia adalah Phra Narai dan kekuasaan Phra Narai dijalankan oleh Raja. Rakyat Thai memohon perlindungan atas jalannya segala kehidupan kepada Phra Narai yang tertampak dalam diri Raja.

Lambang Dinasti Chakri (Chakra dan Trisula)

Srimad Ramayana versi Thai yang disebut Ramakien (Raama-akhyana) selalu mendapat tempat di hati rakyat. Lambang negara Thai sampai saat ini adalah Garuda, vahana Vishnu. Raja-raja Thai berasal dari dinasti Chakri (atau Chaktri), dianggap melindungi Kerajaan Thai dengan Chakra Vishnu dan Trisula Siva. Para Raja dinasti Chakri menggunakan gelar Rama. Raja saat ini, Yang Mulia Raja Bhumibhol Adhulyadej adalah Rama IX. Pura Vishnu yang masih berfungsi sampai sekarang adalah Wat Phra Narai Maharat di Prachak Road dengan arca Narayana dari batu. Arca ini dianggap sebagai objek suci utama bagi kota ini, selain itu Pilar Kota (Prasasti) juga ditempatkan di sana. Jadi seperti di Indonesia, Vaishnavisme dalam bentuk fisiknya yang tampak, kini hanya dapat ditemukan secara terbatas di lingkungan istana dan kenegaraan, nilai-nilainya telah sepenuhnya melebur ke dalam kehidupan keagamaan rakyat yang telah menganut Buddhisme.

Selasa, 31 Agustus 2010

VAISHNAVA DHARMA DI THAILAND (1)

Kerajaan Thai Bersatu yang dahulu dikenal sebagai Siam, didirikan pada pertengahan abad ke-14. Kemudian pada tahun 1939, namanya diubah menjadi Thailand (Muangthai). Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh kekuasaan bangsa Eropa berkat kemampuan diplomasi yang luar biasa dari Raja Maha Mongkut (Rama IV). Modernisasi Thailand tanpa meninggalkan identitas kebangsaannya dan budayanya yang luhur dipelopori oleh putra Raja Maha Mongkut, yaitu Raja Maha Chulalongkorn (Rama V).

Peradaban bangsa Thai di masa lampau sudah sangat tinggi. Kebudayaan perunggu dari tahun 3600 SM yang ditemukan di Ban Chiang merupakan salah satu yang tertua di dunia. Migrasi nenek moyang bangsa Thai yang berasal dari Cina, diikuti oleh migrasi dari India sekitar 300 SM dengan membawa Veda-dharma. Sekitar tahun 100 M, Hinduisme tumbuh dengan kuat diikuti oleh perkembangan puncak Buddhisme sekitar tahun 1000 M. Dengan demikian Veda-dharma turut membentuk sendi-sendi kehidupan dan tata nilai serta budaya rakyat Thai. Aksara Thai dibentuk berdasarkan huruf Mon (Burma), Khmer (Kamboja), dan aksara Grantha dari India Selatan, seperti aksara Jawa dan Bali di Indonesia. Sebagaimana pula bahasa Jawa dan Bali, bahasa Thai juga mengandung banyak sekali kata-kata bahasa Sanskrit.

Thailand saat ini adalah sebuah negara Buddhis yang besar. Tetapi pengaruh Veda masih dapat dirasakan dan terutama tampak pada upacara-upacara kerajaan. Sampai saat ini masih ditemukan adanya masyarakat Brahmana Thai yang sangat berperan dalam kehidupan rakyat. Para Brahmana ini menentukan horoskop, hari-hari baik, menafsirkan pertanda-pertanda serta melaksanakan ritual pemujaan kepada para devata. Upacara-upacara seperti pencukuran rambut anak (cudakarma samskara), kremasi, dan upacara rumahtangga serta yang berkaitan dengan pertanian tetap dilaksanakan oleh para Brahmana. Upacara penobatan raja (Rajabhiseka) dan membajak sawah merupakan ritual paling utama yang dilaksanakan oleh Raja. Pendeta Agung Kerajaan dari golongan Brahmana merupakan pemimpin utama upacara ini. Dalam penobatan para Raja Thai dilakukan ritual-ritual rumit seperti homa, prayascitta, pengurapan minyak, dsb. yang berperan pertama adalah Brahmana, kemudian dilanjutkan oleh para Bhikku.

Brahmin Thai dalam upacara membajak sawah oleh Raja

Bentuk terakhir perkembangan Veda-dharma di Thailand tampaknya berasal dari tradisi Smarta (Brahmana) dan Saiva-siddhanta India Selatan. Sekalipun Buddhisme Theravada telah menjadi agama resmi Kerajaan Thai yang dianut oleh mayoritas penduduknya semenjak masa dinasti Sukhothai, namun Hinduisme masih merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Thai. Keberadaan Pendeta Agung Rumahtangga Kerajaan yang disebut Phra Rajaguru merupakan bukti kuatnya pengaruh Veda-dharma di Thailand. Sampai saat inipun rakyat Thailand, sekalipun beragama Buddha, masih memuja Trideva Brahma (Phra Phrom), Siva (Phra Issuan), dan Sri Vishnu (Phra Narai) dan para devata lain seperti Parvati (Nang Umadevi), Laksmi (Nang Laksmi), Surya (Phra Ah-thit), Indra (Phra Inn), Ganesha (Phra Khanesh), dan Vishvakarman (Phra Vissukam). Buddhisme Theravada tidaklah memberikan pengajaran ritual kepada pemeluknya, sehingga dapat dikatakan bahwa semua ritual keagamaan yang kini masih dipraktekkan oleh rakyat Thai merupakan warisan Veda. Upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian di Thailand adalah bentuk upacara Vedika, tentu saja sekarang ditambah dengan partisipasi para bhikku yang membacakan paritta-paritta atau doa-doa Buddhis.

Bentuk Veda-dharma yang berkembang di Thailand seperti disebutkan sebelumnya berasal dari tradisi Saiva dan Smarta Brahmana, seperti yang terdapat di Indonesia. Tradisi Veda mapan terakhir yang berhasil mencapai Asia Tenggara dan Nusantara adalah dari kedua bentuk ini, karena seluruh hubungan dengan India terputus sejak masuknya penjajah Islam.

Di Thailand terdapat golongan Brahmana yang masih memelihara sistem pewarisan ajaran dalam garis keturunannya. Mereka merupakan keturunan dari Brahmana India dengan orang Thai. Para Brahmana Thai hampir sepenuhnya hanya mengandalkan panduan dari warisan para leluhurnya terdahulu dalam mengadakan upacara-upacara, seperti para Brahmana di Bali-Indonesia. Walau demikian, putusnya hubungan dengan garis parampara mereka di India tampaknya akan segera berakhir, dengan inisiatif dari Phra Rajaguru. Phra Rajaguru Vamadevamuni merupakan kepala masyarakat Brahmana Thai, sekaligus menduduki jabatan sebagai Pendeta Agung Kerajaan. Beliau mengirimkan beberapa brahmana muda untuk menerima pengajaran dan pelatihan di Vedapathasala yang didirikan dan dirintis oleh Sri Mahaperiyava, Sankaracharya yang memegang tahta di Kanchi Kamakoti-pitham, dengan demikian menyambungkan kembali garis parampara mereka yang terputus selama berabad-abad.

Minggu, 15 Agustus 2010

PEMUJAAN NARASIMHA DALAM SAKTI TANTRA

Sri Maha Pratyangira Devi (atau Pratyankira) adalah seorang Devi yang mahasakti, yang dikatakan melampaui kemurkaan Sarabhesvara, suatu ugra-avatar Siva. Beliau juga dikenal sebagai Nrisinghika (Narasimhi), Devi yang berwujud setengah manusia setengah singa. Disebutkan apabila Nrisinghika menggoyang-goyangkan rahang singanya, maka bintang-bintang akan berantakan. Beliau dikandung sebagai kekuatan dalam bijaksara “Ksham”.


Sri Pratyankira Devi dihubungkan dengan Sri Cakra. Beliau merupakan kekuatan tersakti dalam menghancurkan pengaruh yang ditimbulkan oleh ilmu sihir. Beliau merupakan pelindung para penyembah-Nya yang menekuni sadhana Sri Cakra dalam sakti-tantra, agar mereka selalu berada di jalan yang benar. Pratyankira Devi melaksanakan peran yang sama dalam sakti-tantra seperti Sri Narasimha bagi para Vaishnava.

Bentuk perwujudan Beliau sangat menyeramkan, berkulit gelap, berwajah seekor singa yang murka, dengan mata merah penuh amarah dan mengendarai seekor singa juga. Terkadang Beliau juga tampak telanjang, dengan kalungan kepala-kepala manusia, rambutnya berdiri. Tangan padma-Nya memegang trisula, seekor naga yang dibentuk jerat, damaru, dan mangkuk tengkorak. Beliau dihubungkan juga dengan Bhairava melalui wujud-Nya yang dikenal sebagai Atharvana Bhadrakali.

Berbeda dengan Bhagavata, kisah lila Narasimha lebih mengerikan dalam Tantra. Setelah membunuh Hiranyakashipu dikatakan bahwa walaupun sudah banyak rishi dan deva yang berdoa, Tuhan Narasimhadeva belum juga dapat ditenangkan dari kemarahan-Nya. Kemurkaan Narasimhadeva mengambil bentuk banyak Narasimha yang kemudian meminum setiap tetes darah Hiranyakasipu. Akhirnya para deva dan rishi juga meminta Siva untuk mengambil wujud murka untuk mengejutkan Narasimha. Siva kemudian mengambil rupa Sarabhesvara yang sangat ajaib berwujud makhluk mengerikan seperti burung yang dapat memakan gajah dan singa. Kedua sayapnya adalah Devi Uma dan Mahalaksmi. Sebagian kemurkaan Narasimhadeva dapat ditaklukkan oleh Sarabhesvara, akan tetapi tidak berlangsung lama karena ternyata Sri Narasimhadeva menjadi lebih murka lagi. Wujud yang sangat mengerikan bernama Astamukha Gandaberundha Narasimha tiba-tiba muncul. Rupa ini berwajah delapan yaitu Garudamukha (wajah garuda, menganugerahkan kesehatan dan melawan racun), Varahamukha (wajah babi hutan, memusnahkan kekuatan ilmu hitam), Vanaramukha-Hanuman (wajah kera, melindungi dari kekuatan jahat dan mengembalikan kehilangan), Balukamukha (wajah beruang, melindungi dari kegelapan dan menganugerahkan kemakmuran), Hayagriva (wajah kuda, memberikan kebijaksanaan dan energi kehidupan), Vyagramukha (wajah harimau, melindungi dari segala jenis penyakit, roh jahat, dan setan), Gandaberundha (dua wajah burung seperti feniks, memberikan kedamaian pikiran) dan wajah Sri Narasimhadeva Sendiri (menganugerahkan moksa dan bhakti). Di depan wujud yang sangat murka ini rupa Sarabhesvara musnah dan Devi Uma pergi ketakutan. Hanya Mahalaksmi yang secara rahasia mendekati Astamukha-murti, kemudian Beliau menyerap kemarahan Sri Narasimhadeva sehingga Beliau mengambil wujud mengerikan sebagai Sri Maha Pratyankira Devi. Wujud damai Beliau kemudian duduk di pangkuan wujud damai Narasimha di atas gulungan tubuh Anantadeva untuk bisa dipuja oleh Prahlada dan para deva lain. Tuhan Sri Narasimhadeva dalam wujud ini dipuja di Yadagirigutta-ksetra.

Sarabheshvara

Gandaberundha-sadhana adalah salah satu mantra-sadhana yang paling kuat dalam Vaishnava-tantra yang sangat rahasia. Saat ini hanya beberapa orang saja yang mewarisi parampara dari sadhana ini, mereka dapat membuat Gandaberundha-kavacha yang mampu mengalahkan semua penyakit jasmani maupun penyakit karena sihir. Saat ini ada yang menyediakan rekaman mantra-mantra khusus ini, dilantunkan oleh Sudarsana Narasimha Murty, seorang Astamukha-sadhaka dari garis Sri Vaishnava. Apabila didengarkan pada malam hari dikatakan dapat menghilangkan mimpi buruk dan menjauhkan hantu-hantu. Tentu saja untuk seluruh mantra-siddhi hanya bisa dicapai dengan melaksanakan sadhana khususnya.

Sri Maha Pratyankira Devi kemudian dipuja oleh mereka yang mendalami sadhana Nava-Matrika (Sembilan Ibu) dalam pemujaan rahasia Sri Vidya. Beliau dipuja untuk mengusir roh-roh jahat ganas dan kekuatan ilmu hitam, tetapi kadang-kadang kekuatan mantra-Nya juga disalah mengerti dan disalah gunakan. Beberapa orang bahkan menggunakan kekuatan siddhi Beliau untuk Marana-puja (membunuh musuh). Orang-orang seperti itu juga menyalahgunakan pemujaan Narasimha secara Vamachara untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi sesungguhnya Kedua Pasangan Rohani ini dapat memberikan pembebasan dari samsara dan anugerah yang paling mulia yaitu pengabdian suci kepada Beliau. Lupakan segala tujuan-tujuan duniawi apalagi tujuan jahat ketika memuja-Nya, karena kemusnahan yang mengerikan justru menjadi hasilnya.

Sengedongma - Simhamukhadakini di Tibet

Dalam Tantra Tibet kita juga bisa menemukan pemujaan Sri Nrisinghikadevi sebagai Singhamukha-dakini (Senge Dongma). Beliau menghalangi orang-orang yang tidak pantas memasuki rahasia Tantra. Beliau juga salah satu yidam (istadeva) yang digunakan dalam sadhana Tantra Buddhisme Tibet. Padmasambhava, yogi yang mengalahkan semua deva dan roh jahat di Tibet dan yang berhasil membawa agama Buddha masuk dan berkembang di Tibet untuk pertama kalinya, dikatakan mendapatkan kekuatan dari sadhana Singhamukha-dakini. Dia bahkan mampu mengubah wujudnya seperti Sri Narasimhadeva dan menaklukkan semua deva, naga, dan bhuta yang menghalangi penyebaran agama Buddha di Tibet, Nepal, dan Bhutan.

Guru Padmasambhava sebagai Simhamukha. Wujud damainya tampak di atas sebagai seorang bhiksu bertopi

Jumat, 13 Agustus 2010

MAKNA OM

SEBAGAIMANA DIJELASKAN OLEH SRI PARASARA BHATTA DALAM ASTASLOKI


akarartho vishnuh jagadudaya raksha pralaya krt makarartho jivah tadupakaranam vaishnavamidam ukaronanyarham niyamayati sambandhamanayoh trayi sarah tryatma pranava imamartham samadisat
Arti
Kata OM (AUM) yang terdiri dari tiga aksara A, U, dan Ma, merupakan intisari dari Vedatraya (Tiga Veda – Rig, Yajur, Sama). Ketiga aksara ini menunjukkan konsep berikut ini. Aksara A menyatakan Sri Vishnu sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur seluruh alam semesta. Aksara Ma menyatakan jiva sebagai hak milik Vishnu dan sebagai instrumen di tangan-Nya. Aksara U menyatakan hubungan antara jiva dengan Tuhan, yaitu bahwa jiva merupakan milik Tuhan.
(Sri Parasara Bhatta Astasloki 1)

Catatan
Dalam sloka ini Sri Bhatta memberitahukan kepada kita bahwa OM menyatakan,
akarartho vishnuh jagadudaya raksha pralaya krt-
Aksara A menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa Sri Vishnu, yang berada di mana-mana meresapi segalanya. Sang pencipta, pemelihara, dan pelebur tertinggi seluruh alam semesta yang tunggal tiada duanya, sebagaimana Beliau Sendiri menyatakan dalam Bhagavad-gita (10.33), "aksharanam akarosmi", yang berarti bahwa di antara segala aksara, Beliau adalah aksara A. Aksara A merupakan perlambang dari Tuhan, karena aksara ini merupakan asal-muasal segala aksara, sebagaimana dinyatakan dalam Veda, "akaro vai sarva vak, aksara A adalah segala ucapan." Aksara A ini memberikan perlindungan kepada jiva yaitu berupa ishta-prapti dan anishta-nivritti. Ini berarti membuat segala hal yang diinginkan oleh jiva dapat dijadikan nyata yaitu dia dapat menginsafi Tuhan dan menyingkirkan segala sesuatu yang tidak dibutuhkannya yaitu hal-hal yang menghalanginya mencapai Tuhan.

makarartho jivah tadupakaranam vaishnavamidam -
Aksara Ma mewakili para jiva, sebagai milik Tuhan Sri Vishnu dan berperan sebagai alat di tangan-Nya dalam mempertunjukkan kegiatan sukacita-Nya (lila). Dengan menggunakan kata "tat" dan "idam" yang dalam bahasa Sanskrit bersifat netral, Sri Bhatta mengindikasikan bahwa jiva adalah seperti wayang yang tak berdaya di tangan Tuhan dan sepenuhnya bergantung pada Tuhan

ukaronanyarham niyamayati sambandhamanayoh-
Aksara U menyatakan hubungan antara jivatma dengan Tuhan, dimana jiva sepenuhnya adalah milik dari Tuhan Sri Vishnu semata. Tidak ada yang dapat memiliki kuasa atas para jiva selain Tuhan Sri Vishnu, karena mereka sepenuhnya tergantung pada Beliau dan merupakan sarana dalam permainan sukacita rohani Sri Vishnu. Sehingga dengan demikian jiva tidak memiliki keberadaannya yang terpisah dari Vishnu. Hanya ada semata-mata demi Sri Vishnu.

trayi sarah tryatma pranava imamartham samadisat-
Dalam sastra dinyatakan bahwa OM merupakan satu kesatuan aksara (bentuk samhitakaram), omityekaksharam. Tetapi dalam bentuk asamhitakaram-nya OM (AUM) terdiri dari tiga aksara yaitu A, U, dan Ma, sebagai perwujudan intisari Tiga Veda yang diwujudkan dalam konsep-konsep tersebut. Suara suci OM ini memberikan perlindungan kepada para jiva melalui ajaran suci yang digemakan dalam ketiga aksara penyusunnya.


Sri Bhatta berkata,
dehasaktatmabuddhih yadi bhavati padam sadhu vidyat dvitiyam-
Apabila seseorang berpikir bahwa tubuh jasmani dan atmanya adalah satu, sehingga apapun yang dirasakannya baik bagi tubuh adalah baik pula bagi sang atma, maka aksara Ma dari AUMkara akan menyelamatkannya dengan mengatakan bahwa semua ini tidaklah benar. Atma bukanlah badan, bukan pula menjadi pemilik dari dirinya sendiri, jivatma adalah milik Sri Vishnu. Maka dengan demikian hanyalah segala sesuatu yang diperuntukkan bagi Vishnulah yang akan membawa kebaikan bagi sang atma.

svatantryandho yadi syat prathamam-
Apabila seseorang dibutakan oleh pemikiran bahwa dia sepenuhnya tidak bergantung kepada Tuhan Sri Vishnu, maka aksara A dalam AUMkara akan mengingatkannya dan membuatnya belajar bahwa sesungguhnya dia tidaklah bebas merdeka (svatantra), karena kenyataannya adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa Sri Vishnulah sang pencipta, pengendali, pemelihara dan pelebur tertinggi seluruh manifestasi ini.

itara seshatvadhischet dvitiyam-
Apabila seseorang berpikir bahwa dirinya tunduk pada insan lain, selain dari Sriman Narayana, maka aksara U dalam AUMkara akan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah diperuntukkan bagi Sri Vishnu semata. Jiva hanyalah milik dan tunduk kepada Sri Vishnu saja, Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana.

(catatan diberikan oleh T.Thiruvengadavan, V.S.M.Vishnu and Smt. Chandra Sampathkumar berdasarkan pelajaran dari Sriman Embar Rangacharya Swami)

Rabu, 11 Agustus 2010

DHARMA INI HANYA ADA DI SINI

Suatu hari saya sedang berdiskusi dengan seorang teman tentang pelajaran dari salah satu mentor rohani saya. Beliau mengatakan bahwa Hindu meyakini semua agama memiliki suatu sumber yang bersifat rohani, kebenaran adalah tetap kebenaran, di manapun atau dari manapun dia didapatkan. Tuhan Yang Maha Esa sejak awal dunia telah mengungkapkan kebenaran itu kepada semua bangsa dan negara di atas bumi ini, dalam masa dan tempat yang berbeda-beda, dengan cara atau bentuk yang terbaik dan paling sesuai bagi umat manusia yang dituju. Penerimaan dan juga pemahaman akan Kebenaran yang murni itu telah melewati saringan pikiran individual yang sudah dikondisikan oleh berbagai pengalaman psikis dan psiko-sosial. Itu kemudian diekspresikan melalui struktur sosio-politik unik, yang ada – eksis, pada masyarakat dan kelompok sosial tertentu. Perbedaan-perbedaan pengertian, ekspresi, dan penafsiran yang bersifat relatif berkaitan dengan Kebenaran itu, menghasilkan munculnya berbagai perguruan filsafat, doktrin teologis, mitologi, dan berjenis-jenis ritual atau upacara. Dalam batas tertentu semuanya ini sama-sama valid.

Menurut pandangan Hindu, semua agama adalah valid sebagai berbagai ekspresi dari Satu Kebenaran Rohani yang tunggal dan semua juga sama-sama bisa keliru akibat pengaruh “faktor manusia”. Jelas sangat tidak mungkin akan ada SATU agama untuk semua orang, dan berpikir begitu menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakmatangan, sekalipun memang ada satu hukum universal yang membentuk dasar dari semua agama-agama beradab.

Hindu meyakini bahwa Hukum-hukum Semesta ini, apabila dipatuhi, pastilah akan mengarahkan seseorang kembali kepada Tuhan, tanpa peduli apapun kepercayaan, filsafat, atau keyakinan teologis yang dianutnya. Dalam Hindu kaidah-kaidah kehidupan ini dikenal sebagai 14 Loka Dharma dan dapat diterapkan oleh dan untuk seluruh umat manusia. Tujuh yang berkaitan dengan pengembangan diri pribadi yaitu kejujuran, pengendalian diri, mencari pengetahuan, mengembangkan kebijaksanaan, kesederhanaan, kesabaran, dan senantiasa merasa puas. Tujuh yang lainnya berkaitan dengan hubungan secara sosial yaitu keadilan, tidak mencuri dan menipu, hubungan seksual yang terkendali, bebas dari amarah, belas kasih kepada semua makhluk, mengampuni, dan bebas dari kecurangan. (Bhagavad Gita 13:7 —11, Manu 7:92. Mahabharata Vana Parva 297:35 & Santi Parva).

Kemudian teman itu bertanya, ”Apabila memang Hindu meyakini bahwa semua agama adalah benar dan semua agama mengajarkan kebaikan, lalu apa salahnya tidak menganut Hindu dan beralih ke agama lain. Saya kira semua kebaikan itu juga diajarkan di tempat lain. Mengapa selama ini saya harus tetap Hindu, bukankah Hindu sendiri mengatakan bahwa kebenaran itu ada di semua tempat. Bila kita mengajarkan hal-hal semacam ini, maka untuk tidak menjadi Hindu lagi, kita tidak perlu banyak pertimbangan.” Memang betul untuk tidak menjadi Hindu lagi dan konversi menjadi agama lain tidak perlu banyak pertimbangan. Saya setuju dengan kesimpulan dari teman ini. Betul tidak perlu banyak, menurut saya cuma perlu satu pertimbangan saja.


Berdasarkan pemikiran Hindu setiap orang boleh memilih, mempelajari, meyakini, dan melaksanakan agama apapun yang menurutnya paling sesuai dan baik untuk dirinya secara pribadi. Setiap orang berhak mengkaji semua jalan rohani yang menurutnya dapat membawa kepada Kebenaran, membawa kepada Tuhan. Tetapi di tempat lain mungkin pemikiran seperti ini tidak ada. Mereka akan mengajarkan bahwa mungkin ada kebaikan dalam semua agama dan semua kebenaran merupakan wahyu dari Tuhan. Mereka tidak menolak apa yang baik dan suci dalam keyakinan lain tetapi tetap saja mereka mengklaim bahwa hanya melalui mereka dan pribadi tertentu saja, yang mereka yakini, keselamatan itu datang. Ada juga yang mengajarkan bahwa hanyalah keyakinan merekalah satu-satunya yang benar dan semua bentuk keyakinan yang lain bukan berasal dari Tuhan, bahkan berasal dari Iblis. Kebaikan apapun yang ada di sistem religi lain merupakan sebuah tiruan yang berasal dari tipuan setan demi menyesatkan orang-orang dan membuat mereka berpaling dari keimanan yang benar, yaitu agama mereka! Ada pula yang meyakini bahwa apapun kebaikan yang dilakukan oleh orang beragama lain tidak akan diterima Tuhan, tetapi hanyalah menambah dosa-dosa mereka. Baik atau buruk hanya ditentukan oleh satu hal yaitu penerimaan akan kebenaran total sistem religi mereka. Semua doktrin dan dogma ini tidak seorangpun bisa menjamin semuanya adalah kebenaran dan sayangnya tidak bisa dipertanyakan.

Bila anda meninggalkan agama dan keyakinan Hindu, sebagai warisan leluhur yang telah eksis selama berabad-abad dalam keluarga, biasanya anda pasti akan memasuki salah satu agama dengan misi penyebaran atau dakwah yang aktif. Di sana kita mungkin akan mempelajari dan meyakini bagian dari sesuatu yang juga dianggap dharma oleh Hindu. Tetapi di sana kita juga tidak mendapatkan dharma yang sudah diuraikan sebelumnya.

Jadi memang benar Hindu meyakini bahwa kebenaran itu ada di mana-mana dan setiap jalan yang menuju kepada-Nya adalah valid dengan keistimewaannya sendiri. Berjalan menuju Kebenaran Tertinggi dengan keinsafan akan dharma yang seperti ini akan menciptakan kondisi rohani yang bebas konflik. Tidak adanya konflik itu merupakan salah satu jalan menuju kedamaian. Sedangkan kedamaian sendiri merupakan ciri dari dharma sejati yang mampu mengantarkan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tujuan Akhir. Orang dapat menemukan kebenaran di setiap tempat. Dengannya kita dapat berjalan menuju kesempurnaan. Tetapi bila dalam menuju kesempurnaan kita sibuk melihat kesalahan orang lain, mencela dan mengejeknya, maka seluruh jalan itu akan berbalik menuju kejatuhan lebih dalam. Sayangnya sedikit yang memahami atau bahkan sekedar tahu saja mengenai hal ini. Sebagian besar tidak memperoleh informasi apapun tentang hal yang begitu penting dalam hidup rohani. Inilah salah satu sumbangan Hindu yang terbesar bagi para penganutnya dan ini pula yang dapat menjadi jaminan atau bukti bahwa dharma ini sungguh menuju kepada Sang Kebenaran. Sekali lagi, sayangnya dharma seperti ini tidak diajarkan di tempat lain. Hanya Hindu yang berani berkata dan mengajarkan ini dengan tegas, karena itu Hindu berbeda dari yang lainnya.

Pernyataan Bhagavad-gita 4.11, ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah, seringkali disalah artikan sebagai pendapat bahwa Hindu mengatakan semua jalan, vartma, dengan demikian semua agama, adalah sama dan hanya menuju pada satu Tuhan. Entah siapa yang pertama kali menerjemahkan seperti itu dan apa motifnya, kita tidak tahu. Namun kita perlu tahu makna yang sebenarnya. Kata-kata kunci dalam sloka ini, sehubungan dengan topik adalah yatha - tatha - prapadya - dan mama vartma. Kata yatha dan tatha menunjukkan hubungan sebab-akibat. "Sejauh mana maka sedemikianlah". Anda tidak bisa mengatakan bahwa punya seribu rupiah bisa membeli apel sama banyaknya dengan sepuluh ribu. Ada perbedaan yang diukur, suatu nilai... Maka kata prapadya menunjukkan variabel yang diukur ini. Prapadya adalah dedikasi diri. Seberapa besar kita mempersembahkan diri atau seberapa mungkin jalan itu memfasilitasi dedikasi diri kita terhadap Tuhan. Prapadya juga bukan menyatakan sekedar sikap teoritis saja. "Oh, saya mengikuti jalan yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Jadi ini yang terbaik." Sama sekali bukan seperti itu. Tapi lebih pada sejauh mana egoisme dan keakuan kita diubah menjadi pengabdian yang tulus murni. Motifnya bukan saya ingin mendapatkan yang terbaik, tetapi bagaimana saya mempersembahkan yang terbaik. Inilah prapadya. Ada perbedaan antar kadar kepenuhan prapadya masing-masing jalan berikut mereka yang menempuhnya, dan Tuhan dalam Gita menyatakan bahwa Beliau memberikan karunia-Nya, memberkati mereka sesuai dengan kadar prapadya ini. Walau demikian di sisi lain juga dikatakan mama-vartma, Jalan-Ku. Tuhan dalam Gita menyatakan bahwa berbagai jalan ini ada oleh kehendak-Nya. Tidak ada yang tidak berasal dari Dia. Jadi Gita tidak mengutuk, menghina, maupun merendahkan jalan-jalan yang berbeda, mengatakannya berasal dari setan, iblis, dan sebagainya. "Mereka semua, seluruh umat manusia, manusya-sarvasah, menempuh Jalan-Ku." Jalan-jalan itu berbeda. Modalnya, yaitu kadar prapadya, tidaklah sama satu dengan yang lainnya, maka dari itu wajar mereka mencapai berbagai tujuan yang berbeda. Tetapi segala sesuatunya memperoleh hasilnya adalah berkat perkenanan dan berkat dari Tuhan. Tidak ada yang layak dinyatakan sebagai jalan setan. Bahkan Tuhan dalam Gita menghargai pilihan setiap individu!

Sebagai akhir dari topik pembicaraan ini saya mengajukan beberapa pertanyaan yang segera dijawab oleh teman itu.
Benarkah bila Hindu mengajarkan bahwa kita bisa menemukan kebenaran di setiap jalan dan di semua tempat? Benar.
Lalu apa masalahnya meninggalkan Hindu dan mencari kebenaran di tempat lain? Ada masalah, karena dharma seperti ini hanya diajarkan secara jujur dalam Hindu.
Memangnya kenapa kalau dalam Hindu saja ada dharma semacam ini? Secara alamiah secara pribadi kita akan menjadi damai, sedangkan bagi orang lain dan alam sekitar secara alamiah pula kita tidak membawa bahaya. Dalam bahasa teman itu, “Naturally, becoming a Hindu wasn’t make you a harmful person”. Ini modal utama untuk menuju kesempurnaan rohani. Jadi apakah butuh banyak pertimbangan untuk meninggalkan Vedadharma (atau juga menerimanya)? Tidak, cuma satu. Dharma ini hanya ada di sini. Inilah yang harus kita pertimbangkan dan pikirkan secara mendalam.

Senin, 02 Agustus 2010

PEBAYUHAN SAPU LEGER


Akan diselenggarakan PEBAYUHAN OTON SAPU LEGER-PEMARISUDDHA PAPA PATAKA, NIRROGHA, NIRUPADRAWA dan PELUKATAN AGUNG MAHOTTAMA PENGLEBUR DASAMALA (Ruwatan Agung Mandi Weda).

Tanggal: 29 Agustus 2010Pukul: 16.00 wita,
Tempat: Pura WINDU SEGARA, Padanggalak, Kesiman, Denpasar-Bali.
Peserta terbuka bagi semua kalangan.

Pebayuhan oton Sapu Leger terutama diperuntukkan bagi semua yang lahir di uku Wayang, yang hari Sabtunya ada Tumpek (jadi yg lahir dari Redite/Minggu Wage Wayang sampai Saniscara/Sabtu Kliwon Wayang). Juga untuk kasus-kasus kelahiran yang membutuhkan pengruwatan seperti "sanan empeg (kelahiran di antara saudara kandung yang mati), tlaga apit pancoran (kelahiran perempuan di antara dua saudara laki-laki ~ laki – perempuan – laki), pancoran apit tlaga (perempuan – laki – perempuan), bayuh melik (kelahiran yang horoskopnya menunjukkan adanya kecelakaan/musibah fatal)". Sedangkan Penglukatan Agung Mandi Weda boleh diikuti oleh siapa saja yang sekiranya membutuhkan pengruwatan dan penyucian diri.
Kesempatan melihat dan mengikuti Upacara Pebayuhan dan Penglukatan (Ruwatan) yang cukup langka (juga upacaranya cukup besar dengan caru mancakelud-tingkat madya, mepesaksi sanggar tawang rong tiga munggah catur, bebangkit, pulagembal. Dipuput oleh 4 orang Ida Pedanda bersama Mangku Dalang dan Para Pinandita).

Bagi yang mengikuti Pebayuhan Sapu Leger dirangkai dengan Pelukatan Mandi Weda menghaturkan punia sebesar Rp. 600 ribu (untuk biaya Upakara/banten selengkapnya). Untuk Pelukatan Mandi Weda punia sebesar Rp. 50 ribu. Semua siap di tempat oleh penyelenggara sehingga tidak ada kewajiban ngayah, dsb. Yang perlu dibawa oleh peserta adalah Tirtha dari Bhatara Hyang Guru-nya masing-masing.

Pendaftaran dan info selanjutnya silakan hubungi GRIYA BANG SWARGA MANUABA
0361 423 582
0361 74 74 7900361 79 88 950
0361 27 96 734

SUASANA UPACARA TAHUN 2009 LALU

Ida Pedanda Gede Nabe Bang Burwan Manuaba tengah melukat peserta

Dalang mempersiapkan tirtha dan menggelar Wayang Sapu Leger

Para peserta pebayuhan dan pelukatan

Senin, 14 Juni 2010

BUKU BARU YANG BISA DIDOWNLOAD GRATIS!

Jagannath Puri dengan Nilacala Mandir (Kuil Bukit Biru) sebagai pusatnya, memiliki keistimewaan tersendiri dibanding tempat-tempat suci lainnya. Ia adalah kota suci yang telah menarik jumlah peziarah terbesar setiap tahunnya. Daya tarik misteriusnya tiada lain berasal dari Tuhan Jagannath, Tuhan Alam Semesta yang dipuja di sana selama ribuan tahun. Pemujaan kepada Jagannath setua sejarah umat manusia, yang ditunjukkan oleh berbagai simbol peradaban rohani yang bertebaran di sekitar Jagannath. Satu-satunya kuil di India yang dirasakan sebagai milik semua sekte, semua aliran, semua perguruan rohani, dan semua paham keagamaan. BUKU INI BERKISAH TENTANG SRI JAGANNATH DAN SEGALA KEISTIMEWAANNYA.

CLICK PADA GAMBAR UNTUK LINK 4SHARED-NYA

Kamis, 20 Mei 2010

BHISMA STUTI


Semoga Rupa Yang Terindah dari segala keindahan di ketiga dunia ini, dengan warna kebiruan yang gilang-gemilang bagaikan pohon Tamala, bersinar kemilauan oleh busana kuning yang bercahaya bagaikan mentari terbit di pagi hari, dan yang wajah-Nya dipercantik oleh rambut-rambut ikal yang mempesona, senantiasa tetap bersemayam dalam pikiranku untuk selama-lamanya.

Saat Sang Sais mengendarai kereta-Nya di medan perang dengan sangat cepat, debu-debu yang berterbangan oleh deru lajunya mendarat di wajah dan rambut-Nya. ketika Sang Junjungan memacu gerak kereta dengan sangat cepat, rambut-rambut ikal-Nya tergerai jatuh di pipi dan Dia tak sempat merapikan atau menggelungnya. Sedemikian besarnya kesungguhan Tuhan membantu memusnahkan musuh-musuh Pandava. Bulir-bulir keringat bagai permata membasahi wajah-Nya, walau sedikitpun kesegaran ketampanan-Nya tidak berkurang olehnya. Pada suatu ketika, luka-luka yang disebabkan oleh panah-panahku yang tajam membuat darah menetes dari dada-Nya. Semoga pikiranku senantiasa terpusat pada keindahan yang belum pernah ditampakkan sebelumnya, yaitu ketika Tuhan Sendiri melayani hamba-Nya, Arjuna!

Begitu memasuki medan pertempuran, Sri Parthasarathi mematuhi perintah sahabat-Nya, Arjuna, untuk membawa kereta mereka di antara kedua balatentara yang siap berperang. Tuhan kita menerima Arjuna sebagai junjungan-Nya dan mematuhi apa yang dititahkannya. Dengan pandangan mata-Nya yang melirik ke arah pasukan Kaurava, Dia telah mencuri umur dan kehidupan dari semua tentara berikut para panglimanya. Semoga Tuhan, yang merupakan penyebab sejati musnah binasanya pasukan Kaurava, senantiasa bersemayam dalam pikiranku.

Semoga batinku memeluk erat kaki Tuhan Tertinggi Yang Mahasuci, yang menyingkirkan kegelapan batin Arjuna melalui Upadesha-Nya mengenai Atma-tattva dan Dharma. Semoga pikiranku selalu terpusat kepada kaki Sang Paramatma, yang telah membebaskan Arjuna dari pikirannya yang kalut memikirkan kemungkinan pembantaian sanak keluarga dan guru-gurunya yang akan segera terjadi dalam perang yang sudah ada di depan mata dan juga kekhawatiran akan dosa-dosa yang timbul oleh tindakannya dalam pertempuran besar itu.

Aku bersumpah akan membuat-Nya angkat senjata, walaupun Dia berjanji tidak akan turut bertempur dalam peperangan besar itu. Betapa kebahagiaan yang kurasakan saat menyaksikan Tuhan melompat turun dari tempat duduk-Nya di kereta perang dan mengabaikan janji-Nya yang setara dengan kata-kata Veda nan suci, demi membuat sumpahku menjadi nyata. Berlari ke arahku seperti seekor singa ganas yang siap membunuh gajah! Begitu Dia menyentuh tanah, bumi berguncang oleh berat-Nya, pakaian atas-Nya terlepas seakan tanpa sepengetahuan-Nya. Baju zirah-Nya compang-camping oleh tembusan anak-anak panahku. Dengan Sudarsana di tangan-Nya, Dia menuju ke arahku untuk segera membinasakanku berikut semua senjataku. Oh, Bhakta-vatsala Teragung, Yang Mahapengasih, telah memberikan hidup pada satu hamba-Nya (Arjuna) dan menggenapi kata-kata hamba-Nya yang lain. Semoga Sri Mukunda itu, menjadi satu-satunya tempatku berlindung dan satu-satunya penyelamat bagi diriku!

Detik-detik terakhir hidupku, semoga batinku terpancang kuat pada Sang Bhagavan itu, yang bersumpah akan melindungi kereta Arjuna sebagai darah daging-Nya Sendiri dan membuktikannya pula secara nyata. Semoga hamba ini diberkati untuk melihat Rupa-Nya sebagai Sri Parthasarathi yang tampan, dengan cemeti pengendali kuda-kuda di tangan, dan pesona-Nya mencuri hati semua orang. Sungguhlah mereka semua yang gugur di medan perang telah mencapai Moksha, hanya karena mereka beruntung telah memandang Tuhan Sendiri dengan mata kepalanya.

Para Gopi, sekalipun dikatakan tidak memiliki pengetahuan yang tinggi, namun mencapai pembebasan tertinggi dengan melihat Lila rohani Tuhan. Para Gopi ini dikasihi, dicintai, dan dimuliakan oleh Tuhan Sendiri. Mereka sepenuhnya bersama Tuhan dan terlibat dalam berbagai permainan sukacita-Nya. Mereka sungguh beruntung hanya dengan melihat gerak langkah, canda ria, senyum manis, lirikan kasih dan cinta Tuhan. Jika demikian tidaklah mengherankan para ksatriya yang gugur itu pun akan mencapai pembebasan.

Mereka yang berkumpul dalam Rajasuya-yajna Yudhistira, sidang para Rishi dan raja-raja yang termashyur, semua memuji keindahan-Nya yang tiada bandingannya dan pandangan penuh kasih-Nya. Mereka mempersembahkan berbagai haturan kepada-Nya. Tuhan itu, yang menerima semua penyembahan ini, telah berdiri di hadapanku dan memberkatiku dengan sukacita darshana-Nya. Anugerah yang kuterima sungguh tak terukur dan tak ada bandingannya!

Aku kini sudah menginsafi Tuhan Tertinggi Yang Mula, Yang Tiada Kelahiran bagi-Nya, bercahaya gemilang di dalam hati setiap insan ciptaan-Nya. Dengan menginsafi Kebenaran Tertinggi Yang Paling Akhir ini, semua kegelapan batinku telah sirna. Sang Surya yang bersinar terang di angkasa hanyalah Esa dan dilihat oleh semua mata yang memandangnya. Walau ada begitu banyak mata melihatnya, tetapi mentari itu sejatinya tidaklah berbeda-beda. Mentari yang sama dilihat pula dalam bayangannya yang terpantul oleh permukaan air di sedemikian banyak periuk, tetapi itu tetaplah matahari yang satu dan sama. Demikianlah Sang Jiwa Kehidupan Tertinggi yang dialami oleh tiada terhitung banyaknya Yogi dalam hatinya adalah tunggal dan sama. Kini aku sudah menginsafi kebenaran ini dan segalanya telah digenapi (tidak ada lagi yang tersisa semua sudah dikabulkan).

Demikianlah Sesepuh Agung keluarga Bharata memuliakan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna di tengah-tengah padang pertempuran, di atas pembaringan panah-panah. Dia mempersembahkan segenap pikiran, kata-kata, dan raganya ke hadirat kaki Tuhan yang tersuci. Atas perintah Tuhan, maka terciptalah keheningan dan kedamaian sempurna saat itu. Maka cahaya kehidupan Bhisma, hamba Tuhan yang agung, bersinar gemilang mencapai kaki padma Tuhan Sri Krishna.

Minggu, 16 Mei 2010

BUKU-BUKU YANG BISA DIDOWNLOAD

SILAKAN KLIK PADA GAMBAR UNTUK MENDAPAT LINK DOWNLOAD

GERBANG KEBENARAN

SRI MADHVANAMA

BHAJA GOVINDAM

VIRAHA VIDURA


SRI ANDAL

Minggu, 09 Mei 2010

PILAR HELIODORUS

Heliodorus adalah seorang duta besar dari Yunani untuk India, 200 tahun sebelum lahirnya Kristus. Sebagai seorang diplomat asing, dia nyata-nyata memiliki kepercayaan diri yang penuh akan pemerintahan Yunaninya dan tentu juga memiliki pemahaman yang sangat maju tentang keadaan dunia di masa itu. Walau demikian dia menjadi termashyur, terutama dalam masyarakat arkeolog, bukan karena catatan politik dan diplomatiknya, melainkan karena pembangunan sebuah pilar monumental pada tahun 311 BCE di Beshnagar, Madhya Pradesh, India. Sekarang bangunan itu dikenal sebagai Pilar Heliodorus, tetapi di bidang arkeologi dan literatur-literatur, pilar tersebut diketahui sebagai sebuah Garuda-stambha, mirip seperti bangunan serupa yang masih kita temukan berada di Pura Agung Jagannath yang terkenal itu, di Puri, Orissa, India bagian timur. Bagi orang awam, keberadaan pilar ini tidak begitu dikenal, namun di kalangan arkeolog itu dianggap sebuah fenomena dari jaman kuno, yang penemuannya memberikan kesan yang tak terbantahkan tentang pengaruh universal kebudayaan Veda selama berabad-abad. Mengingat kenyataan bahwa negara-negara barat menerima sebagian besar pengetahuan mereka dan juga cara berpikirnya dari peradaban Yunani, maka pilar ini merupakan sebuah penemuan arkeologi yang penting dan unik, yang sangat bermakna bagi dunia secara keseluruhan.

Pilar Heliodorus pertama kali menarik perhatian kalangan sarjana barat pada tahun 1877 dalam sebuah ekspedisi arkeologis yang dikepalai oleh Sir Alexander Cunningham. Setelah menganalisa gaya (style) dan bentuk pilar, Cunningham salah menyimpulkannya sebagai bangunan yang didirikan pada masa Kekaisaran Gupta (abad ke dua), tanpa pernah bermimpi bahwa di balik lapisan adonan merah (kumkum) di bagian bawah pilar, tersembunyi sebuah inskripsi. Walau demikian tigapuluh dua tahun kemudian pada 1901, seorang peneliti independen didampingi oleh Dr. J.H. Marshall, menyingkirkan lapisan lumpur merah itu. Pada inspeksi jarak dekat, nampak sebuah inskripsi yang memberi tahu kita bahwa pilar itu bukanlah dibangun pada abad ke dua dan juga bukan pada masa Kekaisaran Gupta sebagaimana disangka sebelumnya. Dr. Marshall kemudian menjelaskan dalam sebuah artikel yang dimuat di Journal of the Royal Asiatic Society, bahwa Cunningham sudah salah memperkirakan jaman dari pilar itu dan tidak pernah membayangkan nilai dari penemuan yang ia biarkan terlepas begitu saja dari genggamannya. Bahasa yang digunakan dalam inskripsi di pilar itu adalah Prakrit, suatu turunan Sanskrit, dan pandangan sekali saja pada aksara Brahmi yang digunakan akan dengan jelas mengindikasikan bahwa pilar tersebut jauh berabad-abad lebih tua dari tahun 200 CE. Ini sebuah kejutan besar bagi Dr. Marshall, tetapi apa yang membuatnya lebih kaget lagi, sekaligus juga menyentak masyarakat arkeologi internasional, adalah terjemahan dari inskripsi Brahmi kuno itu sendiri. Terbaca, “devadevasya väsudevasya garuòa dhvajaù ayaà kärétaù heliodoreëa bhägavatena diyasa putreëa täkñaçiläkena, Pilar Garuda ini dipersembahkan kepada Väsudeva, Tuhan di atas segala tuhan, dan telah didirikan di tempat ini oleh Heliodorus, seorang pengikut jalan pengabdian suci Bhägavata, putra dari Dion, dan seorang warga negara Täkñaçila.” Täkñaçila adalah Taxila, dan menurut buku ‘Select Inscriptions on Indian History and Civilization’ oleh Profesor Dines Candra Sircar, yang diterbitkan oleh University of Calcutta, lokasi tepat dari Taxila adalah di Distrik Rawalpindi, Pakistan Barat di masa kini.

Kemudian tertulis lagi, “yavanadütena ägatena mahäräjasya antalikitasya upäntät sakäçaà räjïah käçé putrasya bhägabhadrasya trätuù varñena caturdaçena räjyena vardhamänasya, Yang telah datang sebagai duta besar dari raja agung Antialkidas, untuk kerajaan Maharaja Bhagabhadra putra Kashi, sang pelindung, yang kini telah memerintah selama empatbelas tahun dengan penuh kemakmuran.“

Supaya mendapat gambaran sekilas, kita harus mengingat bahwa filsuf-filsuf Yunani terbesar, dimulai dari Phytagoras yang hidup pada 560 BCE, Socrates pada 450 BCE, Hippocrates pada 400 BCE, serta Plato dan Aristoteles pada 350 BCE, pada masa itu telah mengajarkan doktrin-doktrin mereka, mengumandangkan filsafatnya, menyusun buku-bukunya, dan mulai menyebarluaskan pengaruh mereka. Duta besar Heliodorus, sebagai salah satu di antara elit Yunani yang terpelajar pada abad ke dua BCE, tentu sudah akrab dengan reputasi dan semua filsafat yang mereka ajarkan. Dengan memperhatikan latar belakang sosial dan historis ini, betapa cemerlangnya seorang Duta besar Yunani, Heliodorus, yang menjadi seorang pengikut Vaishnava memuja Vasudeva Krishna, dan mewariskan sebuah pilar monumental, sebuah Garuda-stambha, sebagai saksi dan bukti bagi semua keturunannya atas keyakinannya ini. Pada tahun 1955 setelah melalui penelitian yang melelahkan, Dr. M.D. Khare menemukan pada daerah yang sama, peninggalan dari sebuah kompleks Pura yang besar dipersembahkan untuk memuja Krishna, yang juga berasal dari masa yang sama dengan pilar itu.

Untuk menyimpulkan uraian singkat ini, adalah jelas dan menarik bahwa melalui panjang lebarnya sejarah, kita dapat menguak detil-detil pribadi yang terkecil dan memberikan penerangan mengenai pengalaman hidup dan kejadian-kejadian transformasi pribadi dari satu individu. Terimakasih banyak pada Heliodorus dan pilarnya, sehingga membuat kita dapat melihat bahwa Vaishnavisme (dan ajaran Veda secara umum) merupakan sebuah ajaran yang begitu unggul, cukup untuk meluluhkan hati orang-orang Yunani yang terdidik dan berbudaya, dan juga cukup universal untuk dapat menerima mereka masuk ke dalam tingkat-tingkat kedudukan rohani yang terdapat dalam keyakinan tersebut, bahkan pada masa ketika kebudayaan India dan Eropa secara ideologis terpisah begitu jauh. Pilar Heliodorus menjadi bukti bahwa kebudayaan Veda telah memiliki pengaruh yang begitu luas dan kuat bagi Eropa. Paling tidak di masa itu, orang sepenting dan seterpelajar duta besar, seorang diplomat dari sebuah negeri berbudaya tinggi di Eropa, menerima, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran Veda. Sekalipun di negerinya sendiri sudah berkembang selama beberapa ratus tahun pemikiran-pemikiran dan filsafat yang sampai saat ini masih kita kagumi. Lihatlah! Betapa menariknya pemahaman rohani yang berasal dari Veda ini.

Sabtu, 20 Maret 2010

MAKANAN DAN PIKIRAN?

Beberapa mungkin bertanya, bukannya para rishi jaman dahulu biasa makan daging? Ada kejadian seperti itu pada kisah Vathapi-Illvala. Ini juga sering dikutip oleh dalam dakwah dari orang-orang semacam Zakir Naik. Dengan demikian mempersamakan kebiasaan makan para pengikut Veda dengan umat lainnya.

Ya, ada disebutkan hal-hal semacam itu dalam kisah-kisah masa lampau. Kita perlu memahami dengan jelas mengapa dan dalam keadaan bagaimana beliau makan daging. Pertama bahwa beliau itu tidaklah makan daging sebagai makanan kesehariannya. Hewan akan dikorbankan dalam yajna tertentu, kepada api suci, lalu kemudian para rishi yang memiliki kekuatan yoga sangat tinggi memakannya sebagai prasad yajna. Karena kekuatan yajna khusus ini si binatang korban langsung pergi ke surga. Dalam cerita Maharishi Agastya juga seperti itu. Disebutkan bahwa begitu Agastya Muni berkata, “vathapi jirno bhava”, raksasa Vathapi dalam bentuk daging kambing itu langsung hancur dan lenyap. Jangan lupa Agastya punya kekuatan mengeringkan lautan lho!

Beberapa bagian dalam Veda memang menjelaskan adanya kebiasaan makan daging pada masyarakat Veda jaman dahulu. Tetapi keadaan saat itu sungguh jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dalam keadaan tertentu mereka diijinkan makan daging yang telah dipersembahkan dalam upacara yang sangat rumit dan suci. Daging dari tubuh hewan yang dikurbankan dalam upacara ada yang bisa dianggap sebagai karunia (prasada). Tetapi dalam upacara seperti itu, kekuatan mantra para Brahmana juga mampu membangkitkan hewan yang dikurbankan dalam tubuh jasmani yang baru, sehingga tubuh yang lama tidak digunakan lagi. Brahmana yang bertanggung jawab dan juga pelaksana upacara kurban suci semacam ini harus mampu menyeberangkan roh hewan yang dikurbankan ke tingkat rohani yang lebih tinggi. Hanya setelah melalui syarat-syarat seperti ini daging itu bisa dimakan.

sadhu (hindu holy man) with cow - orchha (india)

Tetapi sekarang daging tidaklah dianjurkan untuk para Brahmin. Pertama kita harus tahu kenapa kita perlu makan. Itu adalah untuk menjadi sehat. Tidak hanya sehat fisik tetapi juga sehat secara rohani. Dalam Sanskrit ini disebut svasthya, pikiran yang sehat, suci, dan damai. Daging dan makanan non vegetarian memang memberi kekuatan kepada tubuh tetapi tidak pada pikiran. Kekuatan mental sangat diperlukan. Untuk hidup damai kita harus memiliki pikiran yang suci dan damai, stabilitas dan konsentrasi yang baik. Bagi kita daging dilarang. Sejak berbagai jaman, para leluhur kita, para pengikut Veda terutama para Brahmin terkenal penuh kelembutan, berbelas kasih, tenang dan pandai, sejak jaman dahulu pula para leluhur kita tidak memakan daging. Kalau kita mulai makan daging, maka pelan-pelan kita akan kehilangan semua sifat baik ini. Tentu perubahan itu tidak akan kelihatan dalam semalam. Itu perlu waktu dan akan tampak pada generasi keturunan kita berikutnya.

Banyak pemenang hadiah Nobel, orang-orang yang berbudi dan baik hati juga makan daging. Bagaimana dengan ini? Mendapatkan hadiah Nobel bukanlah tolok ukur seseorang memiliki pikiran yang suci, damai, tenang, dan konsentrasi yang baik. Contohnya para ilmuwan, mereka sesungguhnya lebih gelisah pikirannya. Semua yang mereka temukan tidaklah timbul dari pikiran yang tenang dan damai tetapi pikiran yang terganggu. Karena itu mereka bisa menciptakan sesuatu yang baru terus. Pada umumnya para Brahmana diharapkan memiliki pikiran yang tenang dan damai serta konsentrasi yang tinggi untuk melakukan japa dan tapa. Bahkan pada jaman dahulu, sekalipun mereka terkadang makan daging, namun kekuatan yogi mereka yang tinggi dapat tetap menjaga kedamaian pikirannya. Tapi bila di Kaliyuga sekarang ini, kekuatan mental dan konsentrasi kita jelas sudah menurun jauh. Suasana sattvik dan sifat-sifat sattvik berkurang karena kita tidak melakukan cukup japa, tapa, dan yajna dengan kualitas sebaik dahulu kala. Jadi kalau kita mulai lagi ditambah dengan makan daging, maka semua sifat baik perlahan-lahan akan lenyap.

Ada pula yang berkeberatan. Kita mengenal ada seorang yang sangat baik. Dia penuh kesabaran, memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, dan mampu melaksanakan banyak perbuatan yang berkebajikan. Di satu sisi ada seorang vegetarian yang kerjanya mengritik dan menyindir teman-temannya yang masih makan daging. Gampang tersinggung pula. Bagaimana ini?

Bila kemajuan sadhana bisa diperoleh dengan mengganti pola makan saja maka alangkah mudahnya menjalani hidup rohani. Namun apapun itu, pemilihan gaya hidup khususnya makanan dalam Hindu adalah sesuatu yang sangat pribadi. Sastra menyatakan bahwa tanpa makan daging seseorang membantu usahanya untuk mewujudkan kondisi Sattvika, yang menguntungkan bagi kemajuan rohaninya. Apakah hanya makanan saja faktor yang menentukan? Tentu saja tidak, tetapi memang para Rishi kita menemukan adanya pengaruh yang besar dari makanan. Jika sadhaka belum dapat mewujudkan semua sifat-sifat mulia, maka tidak ada seorangpun yang berhak menuntutnya. Begitu pula sadhaka yang bervegetarian harus sadar sepenuhnya bahwa dengan mengubah pola makan merupakan upaya untuk menjadikan hidup rohani lebih baik, tetapi bukan untuk meninggikan dirinya di atas anggota masyarakat lainnya.

Kesimpulannya apakah seorang Hindu harus tidak makan daging? Harus, mungkin adalah kata yang terlalu keras. Seorang Hindu berusaha melaksanakan sadhananya dengan baik. Sadhana ini bertujuan untuk memurnikan pikiran. Segala sesuatu berasal dari pikiran, termasuk pilihan makanan. Jadi seseorang yang pikirannya dimurnikan, dia akan bebas dari amarah, keserakahan, dan rasa iri. Dia kemudian tidak akan melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain apapun alasannya. Memang dalam rangka membantu proses memurnikan pikiran seorang Hindu memilih makanan vegetarian ini. Tetapi yang sesungguhnya adalah pada saat pikiran dimurnikan, seorang Hindu atau bukan Hindu pun, secara alamiah akan menghindari makanan non vegetarian.

Nilai-nilai kehinduanlah yang membuat orang memilih diet ini. Vegetarianisme sejalan dengan nilai-nilai Hindu. Jadi seorang Hindu bukannya harus tidak makan daging, tetapi mereka lebih memilih untuk tidak makan daging atau merasa lebih baik hidup bervegetarian. Biarlah setiap orang menjadi penentu hidup dan nasibnya sendiri. Manusia biasa, bahkan Tuhan Sendiri tidak dalam posisi memaksakan suatu kondisi kepada orang lain. Setiap tindakan memiliki konsekuensinya. Setiap yang kita lakukan memiliki efeknya sendiri terhadap diri kita secara alamiah. Sastra Veda dan para Acharya hanya mengungkapkannya saja kepada kita. Semua keputusan berada di tangan kita.

Kamis, 18 Maret 2010

VEGETARIANISME DALAM MASYARAKAT HINDU


Vegetarian memang merupakan diet Hindu dan merupakan gaya hidup yang dianjurkan dalam Veda. Vegetarian merupakan suatu bentuk sadhana atau disiplin spiritual yang umum diterapkan oleh masyarakat Hindu. Umat Hindu meyakini bahwa pola makan seperti ini dapat meminimalisir perbuatan-perbuatan menyakiti (himsa-karma) yang menimbulkan reaksi-reaksi dosa. Dasar dari gaya hidup vegetarian dalam Hindu adalah konsep Ahimsa, tidak menyakiti. Saat ini umat Hindu di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika mengusahakan vegetarian sebagai diet Hindu yang diterapkan pada semua jenis pelayanan umum, misalnya di pesawat terbang. Di negara-negara maju bila kita menyatakan diri sebagai seorang Muslim, maka otomatis akan disediakan makanan Halal menurut Islam. Begitu pula bila kita menyatakan diri beragama Hindu, maka otomatis kita akan disediakan makanan vegetarian.

Benar juga kalau dikatakan bahwa tumbuhan juga punya hidup dan membunuh tumbuhan juga berarti dosa. Jadi sebenarnya penerapan sempurna prinsip tanpa kekerasan adalah dengan mengikuti Shilonchana-Vrati. Hanya mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohonnya atau dedaunan yang berguguran secara alami sebagai makanan kita. Dengan demikian kita bisa sama sekali tidak menyakiti yang lain. Namun tak semua orang bisa mengikuti cara hidup seperti itu. Kita harus makan untuk bertahan hidup dan memelihara badan ini. Ini masalah mempertahankan hidup. Jadi kita boleh memilih cara hidup yang paling sedikit menimbulkan dosa dan paling sedikit membuat makhluk lain menderita.

Sekarang ada dua alasan kita mengatakan makanan vegetarian memiliki dosa yang tidak seberapa berat. Banyak tanaman yang hidupnya hanya sekali panen seperti padi, gandum, dll. Begitu berbuah, mereka langsung mati, bahkan tanpa kita perlu memotongnya. Jadi memotong tanaman-tanaman seperti ini menimbulkan sedikit dosa atau bahkan tidak berdosa sama sekali. Banyak tanaman lain juga berbuah seperti mangga, jeruk, kelapa, dsb. yang tidak perlu dimatikan bila kita memetik buahnya. Maka memetik buah juga tidak menimbulkan dosa. Dengan demikian makanan vegetarian lebih sedikit menimbulkan dosa. Lebih jauh lagi, makanan seperti itu sudah cukup untuk kita hidup, makanan berdaging adalah suatu kemewahan dan kita tentu dapat menghindarinya. Makanan berdaging menimbulkan dosa karena untuk mendapatkannya kita tidak mungkin tidak membunuh hewan. Kita pasti harus menyiksa dan mematikannya.

VEGETARIAN THALI
Vegetarian adalah gaya hidup terbaik di India, terutama bagi kesehatan kantong anda (1 rupee sekitar 200 rupiah)
Vegetarian thali: Rs 12.50

Non-vegetarian thali: Rs 22
dua kali lipat!
Sada dosa: Rs 2.50

Masala dosa: Rs 4 Dal (assorted): Rs 1.50
Soup with one slice: Rs 5.50

Four chapatis: Rs 2

Boiled rice: Rs 2
keterangan:
thali arti sebenarnya nampan, ini istilah untuk hidangan macam-macam yang lengkap, sejenis nasi campur di Indonesia.
dosa adalah nama makanan seperti dadar gulung atau kulit loenpia Semarang. Ada yang berbumbu (masala) ada yang tidak (sada). Jadi cuma di India kita bisa makan dosa sebanyak-banyaknya
dari: Churumuri.wordpress.com (17/08/09)

Sekarang kita juga harus tahu kenapa beberapa tindakan itu bisa menimbulkan dosa. Setiap bentuk kehidupan (tumbuhan, hewan, manusia, dsb.) datang ke dunia ini untuk melaksanakan daya upaya spiritual (sadhana). Demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sampai akhirnya mencapai pembebasan (moksa). Kapanpun sadhana itu dibuat menjadi lebih singkat secara tidak wajar (dipaksa mengakhiri sadhana), maka itu menjadi tindakan berdosa. Bagi tumbuhan tidak terdapat sadhana yang terlampau tinggi. Mereka hampir tidak dapat melakukan sadhana apapun secara mental maupun fisik. Jadi apabila kita memotongnya kita tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap sadhananya maupun mengurangi kesempatan mereka melakukan sadhana. Jadi hal demikian bukanlah dosa. Tetapi hewan dapat saja melakukan sejumlah besar sadhana secara fisik maupun secara mental. Dengan membunuhnya kita memotong masa hidupnya dan kesempatannya untuk melaksanakan sadhana dalam rangka mencapai evolusi spiritual yang lebih tinggi, sampai mencapai moksa. Jadi hal inilah yang mengakibatkan dosa.

Lebih jauh lagi dapat kita tambahkan bahwa dalam hal ini melakukan bunuh diri juga dosa. Padahal tidak ada yang rugi, toh? Cuma diri sendiri saja yang mati. Tetapi kita mesti ingat bahwa Tuhan telah memberikan kita tubuh dan hidup yang luarbiasa ini untuk melakukan sadhana dan menggapai kesempurnaan. Bila kita membuangnya begitu saja, itu merupakan pengingkaran kepada Tuhan dan suatu penghinaan. Jadi bunuh diri juga dosa. Maka dari itu secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan yang dapat memotong sadhana seseorang adalah dosa, dan menjadi vegetarian dapat memperkecil kemungkinan berbuat dosa.

Beberapa orang berpendapat bahwa binatang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mereka mendapat peningkatan dengan cara dikorbankan oleh manusia, karena mereka sendiri tidak mampu melaksanakan sadhana. Tidak benar begitu. Memang benar mereka tidak bisa melakukannya sebaik manusia. Mereka bersadhana dengan aktivitas mental. Tidakkah kita melihat ada berbagai tingkah laku hewan yang berbeda-beda bahkan antara jenis yang sama sekalipun, seperti antar kucing, antar anjing, atau antar sapi?! Beberapa lembut, beberapa ganas, beberapa sangat sensitif dan bisa menyayangi. Ini adalah karena sadhana mental mereka. Pada bayi kecil yang belum bisa “berpikir” juga bisa kita lihat ada perbedaan. Kami sudah pernah lihat seorang bayi berusia 2 tahun yang lucu di Bombay. Dia mencintai Tuhan Sri Krishna melebihi segala-galanya. Saat tidur dia memeluk erat Rupa Krishna. Dia tidak mau minum susu yang tidak dipersembahkan kepada Krishna, selalu ingin mendengar cerita tentang Krishna-lila, dan selalu ingin menonton Krishna-puja. Sungguh mengejutkan. Padahal bayi sekecil itu masih hampir seperti hewan saja. Semua itu karena samskaranya terdahulu, impresi mental. Begitu pula yang terjadi pada hewan.

Kamis, 25 Februari 2010

PERHATIKAN JIWANYA!

Hindu seperti yang telah kita pahami sebenarnya adalah Sanatana Dharma yang berdasarkan atas ajaran Veda. Sanatana Dharma sendiri merupakan fungsi roh yang kekal, sehingga sesungguhnya penampakan luar atau jasmaniah tidaklah seberapa penting dalam Hindu. Penerapan ajaran Veda atau agama Hindu dapat berkembang sesuai dengan keadaan di tempat dia tumbuh, sekalipun prinsip-prinsip yang mendasarinya tetap sama.

Sebagai contoh seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang gadis bisa saja mengungkapkan perasaannya dengan cara yang berbeda-beda. Masing-masing orang tidaklah sama. Ada yang mengungkapkannya dengan memberi setangkai mawar, ada yang memberi isi seluruh toko kembang, ada yang mengarang puisi atau menyanyikan lagu, dan sebagainya. Ungkapan cinta juga bisa diberikan dengan mempersembahkan sesuatu yang menurut kita paling baik dan indah. Tentu saja batasan yang terbaik dan terindah ini sangat relatif, berbeda masing-masing bangsa, masing-masing suku, masing-masing keluarga, bahkan masing-masing individu. Tetapi esensi dari cinta itu tetap sama. Di manapun juga cinta adalah cinta yang sama. Inilah yang diajarkan oleh Veda. Hindu mengijinkan umatnya mengembangkan potensi pribadinya sendiri setinggi-tingginya. Standarisasi bukan dalam hal eksternal tetapi menyatukan pandangan secara internal atau batiniah.

Sebenarnya bukan saja Hindu di India tampak berbeda dengan di tempat lain, bahkan tradisi Hindu di India Utara dengan Selatan saja sudah cukup berbeda. Sebagai contoh lagi dalam sejarah kita ketahui di kala India berada dalam masa kelam di bawah penjajahan bangsa-bangsa dan agama asing, India Selatan relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi penuh tekanan ini. Kebudayaan Veda masih tumbuh dan berkembang dalam keindahan dan keasliannya yang sama sebagaimana beribu-ribu tahun yang lampau. Dengan adanya perlindungan kerajaan-kerajaan dan panglima-panglima perang Hindu yang cukup kuat, peradaban Veda yang suci tetap terjaga di India Selatan. Demikian pula hampir semua orang suci utama di jaman Kali, jaman kita ini, yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ajaran Veda hingga hari ini, muncul dan hidup di India Selatan. Di antara mereka adalah para Nayanmar Saiva, Alvar Vaishnava, dan para Acharya. Sedangkan di Utara, tradisi Hindu telah menyesuaikan dengan pengaruh budaya bangsa lain yang pernah menjajah India dengan penuh tekanan. Kita tidak mendapatkan bentuk pemujaan yang penuh gegap gempita dan kemewahan seperti di Selatan. Di Utara kita bisa melihat Pura-pura Hindu yang berbentuk Haveli, seperti rumah orang kebanyakan.

KITA SEJIWA


Adalah salah apabila kita mengatakan berbagai sampradaya yang dirintis oleh para Jagadguru dan Acharya ini merupakan suatu perpecahan dalam tubuh Hindu atau Sanatana Dharma. Hindu juga bukanlah sekedar penggabungan (konglomerasi) secara sembarangan berbagai jenis tradisi dan ajaran rohani berbeda, dengan tujuan hanya untuk memperbesar kuantitas pengikut. Semua tradisi rohani yang beranekawarna, yang berkembang di India maupun yang tersebar luas di seluruh dunia, memang merupakan bagian dari Sanatana Dharma. Sekalipun wujud kasarnya berbeda, tetapi jiwa kehidupannya tetap sama, yaitu mengembangkan cintakasih rohani kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sanatana Dharma ini sungguh-sungguh menghormati keunikan relasi setiap roh dengan Tuhan, sekaligus juga membantu perkembangan potensi rohani kita setinggi-tingginya, cocok sesuai dengan keadaan yang kita butuhkan. Karena itu, sekalipun jiwa kehidupan Sanatana Dharma adalah satu, namun kita disediakan begitu banyak metode pendekatan yang sempurna sebagaimana dihadirkan oleh para Jagadguru-Acharya dan sampradayanya masing-masing.


Kata dharma dalam Veda diterjemahkan menjadi bermacam-macam. Dharma merupakan sesuatu yang menjadi satu dengan sang roh, kekal bersama roh, dia yang memberikan roh jati dirinya yang sejati. Tanpa dharma segala sesuatu bukanlah menjadi sebagaimana adanya (as it is). Seperti panas dari api atau terangnya cahaya memberikan jati diri bagi api dan juga cahaya. Tanpa panas, api bukanlah api dan tanpa terang, cahaya bukanlah cahaya. Panas dan terang merupakan dharma dari api dan cahaya. Demikian pula halnya dengan dharma bagi sang roh, adalah berkaitan langsung dengan jati diri sejatinya. Dharma bukanlah sesuatu yang dibuat-buat karena itu dia dapat disebut pula sebagai agama dalam pengertian seperti di atas. Jadi agama juga bukan merupakan suatu keadaan yang tidak alamiah, tidak dipaksa-paksakan. Dia merupakan pancaran sejati dari jati diri sang roh yang asli.


Makhluk hidup atau roh (atma), sang kesadaran yang menghidupkan, disebutkan sebagai pancaran kecil dari Parambrahman Bhagavan Sri Krishna, Kesadaran Yang Mahatinggi atau Tuhan. Semua roh ini memiliki hubungan sejati dengan Roh Tertinggi. Hubungan ini merupakan salah satu dari kebenaran yang paling mendasar, yang disebut sebagai sambandha-tattva. Pengetahuan mengenai hubungan ini disebut sambandha-jnana. Kebenaran selanjutnya adalah tindakan dalam hubungan tersebut. Apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan itu, ini disebut abhideya-tattva, dan pengetahuan mengenai hal itu dikenal sebagai abhideya-jnana. Pada titik akhir sampailah kepada apa maksud dari hubungan itu. Apa yang menjadi tujuan tertinggi dari semuanya ini. Kebenaran mengenai tujuan tertinggi dikenal sebagai prayojana-tattva, dan mengetahui hal ini merupakan keinsafan terhadap prayojana-jnana. Bila seseorang merenungkan semua ini dalam-dalam dan juga melihat dari mata kitab-kitab suci yang diwahyukan, maka kita mendapatkan bahwa cinta merupakan penjelasan bagi ketiga kebenaran ini. Kita berhubungan dengan Tuhan melalui cinta, tindakan dalam hubungan itu adalah karya-karya dalam cinta, dan tujuan tertinggi segalanya adalah mencintai Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Cinta ini merupakan tujuan (sadhya) dan juga merupakan cara (sadhana) untuk mencapai tujuan itu. Cara yang sempurna adalah merupakan kesempurnaan itu sendiri, sadhana yang sejati juga merupakan sadhya yang tertinggi itu, bagaikan lingkaran yang tak terputuskan, tiada awal dan akhirnya, dan mahamutlak. Inilah kosep ketuhanan dan kerohanian yang sejati, yang dinyatakan oleh semua kitab suci dan oleh mereka yang tercerahkan.


Pengabdian cintakasih atau Bhakti merupakan jawaban sesungguhnya atas semuanya ini. Hanya dia yang mampu mengungkapkan kebenaran yang paling mendasar, karena dia merupakan kebenaran itu sendiri. Bhaktilah yang merupakan dharma sejati, agama yang asli bagi semua makhluk hidup. Bhaktilah yang mampu mengungkapkan ketiga kebenaran mendasar itu dengan sempurna. Agama sejati adalah yang mampu membawa roh dalam keinsafan seperti itu. Dapatlah kita simpulkan bahwa Bhakti adalah merupakan dharma sejati bagi sang roh. Bhakti bercahaya sebagai perwujudan jati diri sang roh yang sesungguhnya. Dia kekal bersama roh, dia merupakan sifat alamiahnya, karena hanya dalam Bhaktilah hubungan antara roh dengan Tuhan diungkapkan secara sempurna. Oleh karena itu dikatakan bahwa Bhakti merupakan jiwa kehidupan Sanatana Dharma.

Rabu, 24 Februari 2010

SEMUA ACHARYA SEJATI DALAM SAT-SAMPRADAYA HANYA MENYAMPAIKAN SATU KEBENARAN

Adi Sankaracharya

Sri Ramanujacharya turun dari Vaikuntha, jadi beliau menekankan bhakti kepada Vishnu, namun beliau juga menjelaskan tentang pemujaan kepada Bhagavan Sri Rama dan Bhagavan Krishna. Beliau menulis tentang Sri Rama dalam bukunya, Sri Rama Patal dan Sri Rama Rahasya. Nimbarkacharya turun dari Goloka-dhama, jadi beliau mengajarkan tentang devosi kepada Radha Krishna. Sankaracharya merupakan titisan Siva, yang adalah Tuhan dalam yoga dan pembebasan, dan beliau juga seorang pemuja Krishna yang taat, jadi Sankaracharya menjelaskan tentang jnana dan yoga, namun disisipi juga tentang bhakti seperti yang kita dapatkan dalam bagian akhir ajaran Aparoksha-anubhutinya. Sankaracharya kemudian menguraikan pemujaan Krishna secara terperinci dalam Prabodha-suddhakara. Goswami Tulsidas adalah seorang pemuja Bhagavan Sri Rama yang abadi, jadi beliau secara panjang lebar memuji dan menyembah Bhagavan Sri Rama dalam semua tulisannya. Tetapi dalam suatu bagian Vinaya-patrika, beliau menulis bahwa maya tidak dapat menipunya karena beliau telah memiliki Nanda-kumara (Krishna) dalam lubuk hatinya. Contoh-contoh ini merepresentasikan status rohani sesungguhnya (posisi ontologis) dari masing-masing Sants dan Acharya, sekaligus juga menunjukkan penyerahan diri yang bersifat internal kepada berbagai Wujud Rohani Tuhan Yang Maha Esa.

Sri Ramanujacharya

Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam berbagai bhasya (ulasan terhadap kitab suci) dari para Jagadguru atau Acharya ini bukanlah perbedaan atau pertentangan yang bersifat substansial. Mereka merupakan deskripsi dari Zat Illahi (divya-vastu) yang sama dengan suatu penyajian yang berbeda dan dengan pendekatan yang berbeda, dan terkadang mereka merupakan penjelasan yang lebih dalam lagi mengenai kebenaran rohani yang sama. Sebagai contoh, Sankaracharya mengatakan dalam bhasyanya bahwa Tuhan adalah impersonal (nirakar) dan maya hanyalah khayalan belaka. Sri Ramanujacharya tidaklah menolak keberadaan nirakar-brahman dan sifat mengkhayalkan dari maya, namun beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa nirakar-brahman merupakan salah satu aspek dari purushottam-brahman (Pribadi Tertinggi Tuhan) dan berada di dalam-Nya. Maya sendiri bukanlah khayalan, hanya efek atau hasil karyanyalah yang berupa khayalan, sedang maya merupakan kekuatan yang kekal dan tidak memiliki hidup (achit–lifeless). Jagadguru yang lain mengatakan bahwa roh merupakan bagian yang sangat kecil dari chit-shakti Tuhan. Jiva Goswami lebih lanjut mengungkapkan keadaan roh ini dan menjelaskan bahwa ada kekuatan (Tuhan) yang disebut jiva-shakti yang merupakan bagian dari chit-shakti. Roh sesungguhnya adalah suatu bagian yang sangat kecil dari jiva shakti tersebut. Nimbarkacharya dan Vallabhacharya memantapkan supremasi Krishna (aspek maskulin) tetapi mereka tidak sepenuhnya menjelaskan Ketuhanan Radharani (aspek feminin). Jiva Goswami dan Rupa Goswami lebih lanjut menjelaskan bahwa Radharani adalah jiwa Krishna dan kemutlakan dari kekuatan hladini (energi kebahagiaan Tuhan) yang merupakan kekuatan (shakti) personal utama dari Tuhan Tertinggi Krishna. Para Goswami kemudian juga menuliskan dalam Krishna-sandarbha, Priti-sandarbha, dan Ujjvala-nilamani suatu uraian yang terperinci mengenai keadaan-keadaan cinta rohani dan luapan kesukacitaan para gopi, Krishna, dan Radha sebagaimana mereka dilihat di Goloka-Vrindaban. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial dalam ajaran para Jagadguru dan Acharya Sanatana Dharma. Semua ini merupakan deskripsi dari keberadaan rohani yang sama dalam gaya penulisan atau gaya pengajaran mereka yang khas dan sesuai dengan pengalaman pribadi mereka akan Tuhan.

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking