Hindu bersama banyak tradisi relijius kuno lainnya menganut sistem waktu yang bersifat siklik. Berarti bahwa penciptaan dan peleburan adalah proses berkesinambungan tanpa awal dan akhir. Peleburan, bukanlah akhir segalanya, melainkan suatu proses yang alamiah untuk mengembalikan manifestasi alam yang telah usang, kembali menjadi bahan-bahan penyusunnya, untuk selanjutnya hadir dalam wujud yang segar dan baru.
Perayaan tahun baru selalu dilaksanakan sebagai pesta untuk menyambut hadirnya suasana dan kebahagiaan yang baru di masa depan. Namun sebagaimana layaknya kita hidup di alam duniawi ini, dengan selalu berdampingan antara suka dan duka, adalah mustahil mengabaikan bahwa di masa depan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, tantangan, halangan, maupun bentuk-bentuk penderitaan yang lebih berat lagi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa setahun ke depan pasti ada kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Merayakan pergantian tahun bukan saja bergembira karena masalah yang telah lalu telah lewat, namun juga sebenarnya menyambut sebuah ketidakpastian yang baru. Perenungan semacam ini sangat jarang dilakukan oleh kebanyakan dari kita.
Kita patut bersyukur karena leluhur kita, umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali, telah mewariskan suatu bentuk perayaan tahun baru yang sarat dengan nilai filosofis dibanding sekedar gegap-gempita suasana pesta. Perayaan Nyepi adalah bentuk perayaan yang tepat untuk sebuah pergantian tahun.
Rangkaian ritual Nyepi dimulai terutama saat prosesi
melasti. Melasti dinyatakan sebagai upacara untuk menyucikan diri,
prayascitta, dan memohon amrita kehidupan bagi semua makhluk. Dalam Veda, sebelum kita melaksanakan puja, yajna, atau acara apapun, pasti akan diawali dengan upacara menyucikan diri. Penyucian yang terbaik adalah dengan mengingat Tuhan Yang Maha Esa, Vishnu, yang kehadiran-Nya meresapi segala-galanya di seluruh alam semesta ini. Ingatan akan Kemaha-adaan Vishnu, seketika itu juga akan membawa kita dalam keadaan
Pavitram (suci) secara lahir maupun batin (
sa bahih - abhi - antarah). Ketika Pratima para devata dibawa berjalan bersama kita, maka ini membawa kita pada suasana adi-duniawi. Pratima menyatakan kehadiran para Devata di tengah-tengah kita. Maka sekalipun secara lahiriah kita masih melangkah di dunia, namun mental kita diarahkan untuk berada di alam-alam luhur.
Melasti juga dapat menandakan
Sankalpa, ucapan peneguhan. Upacara-upacara suci dalam Veda selalu diawali dengan pengucapan
Maha-sankalpa, yaitu menyatakan tekad kita untuk melaksanakan upacara tertentu itu.
Sankalpa menetapkan hati kita untuk tidak mundur saat kesulitan muncul di tengah upacara dan tidak menghentikannya sebelum maksud yang diinginkan dapat diwujudkan. Air dan samudera adalah perlambang dari
Sankalpa ini, dan upacara
Sankalpa juga dilakukan dengan sarana mencurahkan air. Jadi kita menetapkan hati untuk menyelesaikan tugas dan menjalani hidup sesuai dharma kita di tahun yang akan datang ini.
Selanjutnya tibalah Tilem atau dalam Veda disebut Amavashya. Amavashya adalah hari yang sejak jaman dahulu kala diperuntukkan untuk melaksanakan persembahan yang disebut
Tarpanam.
Tarpana berarti memberi kesejukan, kelegaan, atau kesenangan.
Tarpanam terutama memang dipersembahkan kepada Pitri, roh nenek moyang yang telah mendahului kita. Namun sesungguhnya
Tarpanam adalah persembahan kepada setiap jiwa yang memiliki hubungan karma dengan kita, dan itu berarti semua bentuk kehidupan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yang tanpanya kita tak mampu hidup dengan baik di dunia ini.
Di Indonesia, ini adalah saat dilakukannya upacara persembahan Tawur dan Caru kepada para Bhuta serangkaian dengan perayaan Nyepi. Bila kita melihat isi dari persembahan Tawur atau Caru, di sana akan tampak berbagai jenis bahan yang bersifat Tamasika atau mengandung sifat kegelapan – kebodohan. Bahan-bahan Tamasika adalah sumber energi yang paling kasar dan rendah. Di India, bila seorang Brahmin menyentuh benda-benda Tamasika, maka ia harus melakukan penyucian diri lagi.
Tetapi di sisi lain, bahan-bahan yang bersifat Tamasika juga melambangkan energi duniawi yang bergelora. Ini adalah kesukaan dari makhluk-makhluk yang juga bersifat Tamasika dan dapat memberikan kepuasan/kesenangan bagi mereka. Anda bisa membayangkan bagaimana jika melihat sampah plastik berserakan di mana-mana, tentu ada rasa tidak suka. Tetapi seorang pemulung yang mendaur ulang plastik akan senang sekali. Itu karena sampah ini sangat bermanfaat untuknya dan dia memiliki kemampuan untuk mengolahnya menjadi barang yang lebih baik.
Kita juga harus tahu bahwa setiap unsur penyusun alam ini juga disebut Bhuta. Kemudian setiap unsur alam memiliki pengendali yang disebut
Abhimani-devata. Energi alam yang ganas dan sulit dikendalikan dapat mengakibatkan bencana bagi manusia. Contohnya api bila digunakan dalam kompor di dapur akan bermanfaat tetapi bila tak dikendalikan akan menjadi kebakaran yang memusnahkan. Energi yang ganas ini dipersonifikasikan dalam Tantra sebagai wujud murka dari Devata yang disebut Ugrarupa. Jadi pada upacara Bhuta-yajna, saat pengundangan (
avahana) kita tidak memanggil para Bhuta dalam pengertian makhluk-makhluk halus yang bersifat Tamasika saja. Kita memohon kehadiran Ugrarupa dari para Abhimani-devata. Dengan memperlihatkan berbagai benda kesenangan yang disusun dalam wujud berbagai Mandala atau diagram kita berupaya mendamaikan energi yang bergelora itu. Mandala-yantra ini “dihidupkan” dengan mantra, sehingga lambang akan menjadi yang dilambangkannya, persembahan yang sedikit akan divisualisasikan memenuhi seluruh alam semesta dan “menjadi” seluruh alam semesta. Semuanya dileburkan secara mental ke dalam energi alam yang bergelora itu, kemudian energi itu kembali dipersatukan dengan para Abhimani-devata yang menguasainya. Energi itu menjadi “jinak” dan tenang (
Saumya). Para Devata pun dapat dipuja dalam
Saumyarupa-Nya yang pengasih dan menganugerahkan kehidupan yang harmonis bagi semua makhluk.
Saat Nyepi tiba, kita memasuki keadaan yang benar-benar “diheningkan”. Inilah masa ketika kita merenungkan secara mendalam makna keberadaan diri kita dan perannya sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta. Hening menandakan saat ketika semua telah berada di tempatnya yang sebenarnya. Ke-
sunya-an bukanlah dipandang sebagai kekosongan yang tak ada apa-apanya, nol – nihil. Sunya adalah keadaan dimana segala sesuatu berada pada keadaan awalnya, sesuai aslinya,
tattva.
Tathata, kesedemikianan. Keadaan seperti ini juga mengingatkan kita pada keadaan sebelum Brahma menciptakan alam semesta. Di sekeliling Brahma hanya ada kegelapan dan kekosongan yang hening. Lalu Brahma memulai fungsi kreatifnya bukan dari membuat dari tidak ada menjadi ada, melainkan mengolah energi primordial menjadi alam semesta yang dapat dipersepsi berikut semua bentuk kehidupan yang beraneka warna. Brahma mewujudkan semua itu melalui kekuatan TAPA.
Seperti itu pula saat Nyepi, di tengah keheningan, kita melaksanakan tapa mengarahkan energi kreatif kita, yang telah disucikan dan diberkati oleh Tuhan melalui berbagai ritual dan prosesi yang mendahului Nyepi. Dengan energi ini kita akan menyusun diri kita untuk menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi di tahun yang baru. Mengisinya dengan kesegaran karya-karya kita yang baru dan menjalani dharma kita dengan kebugaran semangat yang baru. Nyepi bukanlah sekedar rutinitas ritual yang kita jalani setiap tahun. Ini adalah kebenaran yang maknanya akan terkuak melalui kontemplasi mendalam dan tentunya sangat bermanfaat dalam segala aspek kehidupan. SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU SAKA 1932.