
Sebagai contoh perumpamaan sederhana, melalui serangkaian metode dan usaha tertentu seseorang bisa memperoleh 1 milyar dalam 3 bulan melalui investasi dengan modal awal 1 juta. Jadi orang yang menemukan cara ini memberitahukannya kepada umum. Dia tidak sekedar mengatakan beri saya 1 juta, dalam 3 bulan akan jadi 1 milyar. Tetapi dia mengatakan saya dahulu memiliki uang 1 juta, kemudian melalui teknik investasi ini saya akhirnya berhasil mendapat 1 milyar dalam 3 bulan, apakah kalian ingin mencoba? Orang yang berminat lalu datang kepada dia. Tentu juga setelah mempertimbangkan berbagai hal, misalnya mencoba melihat beberapa literatur ekonomi untuk mencoba mencari tahu apa benar cara investasi ini berhasil, lalu bisa juga dengan melihat orang yang lebih dahulu mengikuti cara itu dan ternyata berhasil. Lalu dengan keyakinan yang terbentuk ini dia mulai mempelajari metode itu dari seseorang yang sudah menguasainya, kalau tidak langsung dari orang yang “menemukannya”. Jadi beda kan, dengan orang yang mengatakan, "Beri saya 1 jutamu, dalam 3 bulan akan jadi 1 milyar? Kalau kamu tidak menyerahkannya pada saya, uang 1 jutamu akan habis tidak karuan dan kamu jadi pengemis di jalanan." Orang yang meyakini dan ikut dengan cara seperti ini adalah orang-orang yang ketakutan menjadi pengemis sekaligus ingin dapat untung besar dengan mudah tanpa berpikir apakah orang ini akan menipu dia atau tidak. Tetapi Sraddha dalam Hindu seperti orang yang berpikir alam contoh terdahulu itu. "Marilah kita gunakan modal 1 juta ini dengan baik lewat proses ini. Saya juga tidak mau sekedar berpangku tangan untuk dapat untung besar dan saya juga tidak takut menjadi rugi, toh banyak orang sebelum saya sudah berhasil, kalau saya tidak berhasil seperti mereka pasti ada sesuatu yang salah dengan saya." Introspeksi juga tumbuh di sini! Jadi inilah Sraddha, suatu keyakinan yang muncul dan bertumbuh secara dinamis. Bukan iman buta.

Sehingga demikian pula dalam Hindu, Tuhan bukanlah sesuatu yang harus dipercayai. Kepercayaan sekali lagi tidak berhubungan dengan eksistensi. Anda boleh percaya Si X ada atau tidak. Tapi bila Si X memang ada maka dia akan selalu ada, tak masalah anda percaya atau tidak. Demikian pula, Sri Bhagavan, Tuhan Yang Maha Esa. Suatu eksistensi itu dikenali, dialami, ditemui, bukan sekedar dipercayai. Dengan demikian seperti dikatakan tadi, umat Hindu tidak membangun Pura-nya untuk membuktikan imannya. Tuhan adalah Realitas Absolut itu, sumber utama dari segala kekuatan, kuasa, dan realitas-realitas yang lainnya. Itulah yang dinyatakan dalam Vedanta-sutra 1.1.2, janmadhyasya yatah.

Pura ini kemudian dibangun sesuai petunjuk Agamika-sastra sebagai sarana menyalurkan energi Divinitas, menghadirkan Sang Realitas Absolut itu ke tengah-tengah dunia realitas relatif ini. Karena itu Pura adalah pitham, tahta tempat bersemayamnya kekuatan rohani Tuhan sehingga dapat “bekerja”, dalam artian dapat diakses oleh masyarakat secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar