Senin, 04 Januari 2010

KEBENARAN MUTLAK DALAM SEBATANG KAYU

Seringkali orang menganggap bahwa penempatan sesaji di bawah pohon atau persembahyangan yang dilakukan di bawah pohon adalah suatu bentuk keyakinan primitif yang dilakukan oleh orang-orang purba yang tidak beradab. Orang-orang sering berpikir bahwa pemujaan yang dilakukan di satu gedung mewah, dengan bangunan yang permanen, adalah lebih baik atau lebih tinggi nilainya dari pemujaan yang dilakukan di alam terbuka, termasuk di bawah pohon. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang bersembahyang di bawah pohon tidak mengenal Tuhan yang sejati, melainkan memuja roh-roh yang bersemayam di pohon-pohon itu. Ini adalah pendapat yang sama sekali salah. Dalam Veda-dharma kita tidak saja mengenal pemujaan yang bertempat di bawah pohon, tetapi juga ada pemujaan terhadap beberapa pohon tertentu yang disucikan. Pippala (beringin), Bael, dan Tulasi adalah sebagian dari banyak pohon yang dihormati oleh para pengikut Veda.


Pohon tidaklah lebih dari tempat-tempat atau elemen-elemen alam lainnya. Penghormatan Veda terhadap pohon adalah dengan memperhatikan beberapa hal. Pohon adalah suatu makhluk hidup. Itu artinya dia memiliki jiva atau atma. Pohon adalah suatu pribadi, suatu individu. Pohon juga merupakan tempat tinggal bagi begitu banyak kehidupan. Dia memiliki peran yang penting dalam memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya dan juga menyediakan perlindungan. Dalam satu pohon, apalagi semakin dia besar, akan ada banyak sekali makhluk yang tergantung padanya. Kita juga meyakini, bentuk-bentuk kehidupan tertentu yang tidak dapat dilihat oleh mata jasmani bisa saja menganggap pohon sebagai rumahnya. Ada begitu banyak jiva yang berdiam di sana. Pohon juga adalah simbolisasi. Dia bisa berperan sebagai emblem yang mengingatkan kita kepada Sang Sumber Segala Sesuatu. Melihat pohon tertentu dapat membuat kita mengingat Tuhan, Penguasa Sejati seluruh alam semesta.

Pertama kita melihat pohon sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman isi alam semesta. Dia adalah salah satu elemen alam. Tidak ada satu tempat pun di seluruh manifestasi kosmis ini yang tidak diresapi oleh kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai Paramatma bahkan berada di atom yang terkecil sekalipun. Jadi bukanlah hal yang salah bila beberapa orang, atau beberapa kelompok manusia, yang memiliki rasa kedekatan dengan alam justru menemukan Tuhan di pepohonan. Mereka menjadikan pohon yang terpilih sebagai tempat mereka melakukan pemujaan, menyatakan rasa syukurnya, atau ungkapan perasaan lainnya kepada Tuhan di bawah pohon. Dalam pemahaman seperti ini, apa bedanya sebatang pohon dengan bangunan dari beton? Tentu tidak ada. Ini hanyalah suatu tempat kita bisa mencurahkan perasaan kita. Banyak orang masih pacaran di bawah pohon, padahal sudah ada cafe, resto mewah, dsb. Jadi bukan masalah bila beberapa orang menjalin kasih dengan Tuhan Yang Maha Esa di bawah pohon, toh seluruh tempat di alam semesta ini adalah milik-Nya. Kita juga harus ingat betapa besar manfaat pohon bagi kita. Regulasi air, udara bersih, pangan, sandang, dan papan kita, semua dikerjakan oleh tumbuh-tumbuhan. Pohon-pohon ini adalah karunia Tuhan yang begitu besar kepada kita semua. Bukankah dengan demikian naungan sebuah pohon boleh kita anggap sebagai salah satu tempat terbaik untuk memuliakan Tuhan?

Pemahaman kedua adalah kita melihat pohon sebagai tempat berdiamnya begitu banyak makhluk hidup. Bila kita ke Bali, Thailand, Kamboja, Myanmar, India, dan tempat-tempat lain yang masih berpegang pada tradisi Dharma, kita akan melihat begitu banyak altar-altar kecil di bawah pohon-pohon besar. Orang awam hanya bilang pohon itu angker, ada penunggunya, ada hantunya, dsb. Tetapi pengertian sebenarnya adalah ada bentuk-bentuk kehidupan yang berdiam di pohon itu. Manusia adalah trespasser (pelanggar). Kita sering melakukan pelanggaran dalam segala hal, sengaja maupun tak sengaja. Dengan tingginya individualisme sekarang ini, bahkan bila kita melangkah di pekarangan orang pun bisa ditodong senapan oleh yang punya. Ini lazim di negara-negara Barat, tapi mungkin di Indonesia belum setajam itu. Tetapi untuk hidup kita banyak melanggar wilayah tempat tinggal berbagai makhluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu apabila orang membuat desa, biasanya dengan merabas hutan. Satu pohon beringin besar disisakan atau sengaja ditanam di tengah-tengah desa. Desa-desa di India dan setahu saya di Bali juga memiliki pola seperti ini. Lalu pohon beringin ini menjadi pusat desa, selain Pura tentunya. Di sana penduduk mendirikan altar kecil dan memberikan persembahan makanan, dan lain-lain. Mengapa seperti itu? Kita yakin bahwa begitu banyak makhluk tinggal di pohon. Ketika kita menebang pohon untuk keperluan kita, begitu banyak yang kehilangan tempat tinggal. Kita harus menebang secukupnya saja, dengan betul-betul memperhatikan efeknya pada lingkungan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Jadi kita berusaha selalu ingat, bahwa demi fasilitas yang kita nikmati, banyak makhluk yang kesenangannya kita ganggu dan wilayahnya kita langgar. Para tetua pendiri desa, sebagai contoh, lalu mempersilakan semua makhluk itu untuk berdiam di pohon yang berada di pusat desa. Manusia mengajaknya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Setiap hari kita menyatakan rasa terimakasih kita dengan memberikan sedikit hasil alam yang kita nikmati dalam bentuk sesaji sederhana. Setiap generasi yang hidup di desa itu harus ingat, bahwa mereka bisa tinggal di sana berkat kerelaan makhluk lain untuk berbagi tempat tinggalnya. Kita tentu tidak bisa membuktikan secara ilmiah, apakah memang benar ada hal-hal semacam makhluk halus yang menjadi penghuni pohon dan sebagainya. Apakah mereka memang mau dan bisa makan sesajian. Kita tidak bisa memastikan. Tetapi seekor semut pun berguna bagi kita, sehingga kita juga perlu berterimakasih pada mereka. Kenyataannya semut-semut itu yang pasti mendapat makanan dari sisa persembahan kita. Paling tidak sikap mental yang baik kita kembangkan. Pikiran dibiasakan untuk berterimakasih, untuk selalu mengusahakan kehidupan bersama yang harmonis, untuk selalu mengingat bahwa manusia hidup tidak sendiri dan memang tidak mampu untuk hidup sendiri.


Pemahaman ketiga adalah kita melihat bahwa dalam Veda ada penghormatan terhadap pohon-pohon tertentu. Tumbuhan yang disucikan oleh umat Hindu antara lain Tulasi, Bael (Bilva), dan Pippala. Di sini pohon-pohon ini dihormati sebagai suatu individu, suatu pribadi yang istimewa. Sebagai contoh, Tulasi terutama dipuja sebagai manifestasi dari Vrinda-devi oleh para Vaishnava. Tulasi merupakan tumbuhan yang disayangi Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana. Setiap bagian tumbuhan ini adalah mutlak diperlukan dalam segala jenis pemujaan kepada Sriman Narayana. Daun-daunnya dan bunga-bunganya digunakan untuk untaian bunga yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kayunya ada dalam kapas tercelup minyak yang digunakan untuk persembahan pelita kepada Tuhan. Selain itu bila digiling menjadi pasta, dia dapat digunakan sebagai penyejuk yang dipersembahkan juga untuk Tuhan. Api homa menyala dengan kayu Tulasi pula. Setiap yajna dan puja tidak sempurna tanpa kehadirannya. Tulasi menyatakan ideal seorang bhakta yang mencintai Tuhan dengan segenap jiwa raganya. Setiap bagian dirinya adalah persembahan bagi Tuhan. Hidupnya adalah semata demi memuliakan Sriman Narayana di dunia ini. Mungkinkah kita mendapatkan teladan lain yang sebaik Tulasi dalam memuja Tuhan? Bahkan hanya dengan berada di dekatnya dan melihatnya, seorang Hindu segera diingatkan akan Sriman Narayana pujaannya. Karena itulah semua keluarga Hindu tradisional biasanya menanam Tulasi di rumahnya dan memujanya setiap hari. Tulasi juga bisa digolongkan sebagai tadiya. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan segala benda yang berhubungan dengan Tuhan. Semua tradisi Bhakti dalam Hindu menyatakan bahwa tadiya ini juga harus dipuja, karena pemujaan itu akan menganugerahkan bhakti yang semakin dalam kepada Tuhan. Oleh karena itu kita juga mengenal kebiasaan memisahkan semua alat-alat yang digunakan untuk puja (kumbhan, vattil, piring, vastram, ganta, tripada, dsb.), dengan alat-alat yang kita gunakan untuk diri kita sendiri. Alat-alat ini disucikan, bahkan dihormati sedemikian rupa, karena kehadirannya menyatakan kehadiran Tuhan. Pohon-pohon yang memiliki hubungan khusus dengan pemujaan kita pada Tuhan, seperti Tulasi, Bilva, dan Pippala, juga turut dihormati dan dipuja sebagai pribadi-pribadi istimewa.

Tulasi

Pemahaman yang keempat adalah bahwa pohon sendiri merupakan simbolisasi Tuhan, bahkan Citra dari Tuhan Sendiri. Dalam Veda, Citra Tuhan dapat diwujudkan dengan Sila (batu) seperti Salagramam, Lekhya (lukisan) seperti Yantra-Mandala, dan juga Daru atau kayu. Tuhan dalam kayu disebutkan oleh Taittiriya-upanishad (10.12) adau yaddaro plavate sindho pare apaurusam tada ravasva durdano tena yahi parasparam. Citra Tuhan ini, adalah Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, yang tiada terbentuk oleh tangan makhluk fana, mengapung di atas samudera. Dengan memuja-Nya, kediaman tertinggi dan kesempurnaan yang paling akhir dapat dicapai. Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu ini dijelaskan dalam Purana dan Itihasa sebagai Daru-brahman, yang kini dipuja di Jagannath Puri Orissa, India Timur. Daru-brahman hadir dalam Tiga Wujud yang dikenal sebagai Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra. Para Vedanti memahami-Nya sebagai pengejawantahan Ananda (Kebahagiaan Tertinggi), Cit (Kesadaran Tertinggi), dan Sat (Kenyataan Tertinggi atau Kekekalan). Mereka adalah Trimurti Hindu, Vishnu, Rudra, dan Brahma, sekaligus merupakan Adi-parasakti. Para Tantrika memuja-Nya sebagai Adi Bhairava, Uttara-sadhaka, dan Uttara-sadhika. Bagi Vaishnava dinyatakan sebagai perwujudan Paravasudeva dengan berbagai sakti-Nya. Bagi Jaina adalah Sang Jina, dan bagi Buddhis Vajrayana adalah Tri Ratna, sebagaimana tercantum dalam Jnanasiddhi dari Indrabhuti-tantra. Para Adivasi (suku pribumi) tetap memuja-Nya dalam pohon yang berada di desa mereka sebagai Jagant-Kitung atau ada pula yang menyebut-Nya dengan tiga nama Jakeri-penu, Tana-penu, dan Murabi-penu, dalam wujud pilar kayu. Sungguh menarik juga ketika Media Hindu mengatakan bahwa umat Hindu Alukta melihat pohon tertentu sebagai sthana dari Puang Matua atau Tuhan Yang Maha Esa.

Citra Sri Sri Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra di Mayapur, Bengala, India.

Persembahyangan di “pohon” memang ada dalam Hindu dan ini bukanlah bentuk keyakinan primitif atau kesesatan yang menjauhkan dari Tuhan Sejati. Tuhan memang berada di pohon, bahkan di setiap tempat dan sudut semesta. Umat Hindu diajarkan dan dilatih untuk melihat kehadiran-Nya yang universal itu. Kita dibawa untuk dapat menghargai dan menghormati alam ciptaan-Nya. Betapa kasih sayang-Nya dan berkat-Nya ada dalam setiap elemen yang menyusun seluruh manifestasi kosmis ini. Mereka yang tidak dapat memisahkan kehidupannya dari alam, menemukan Tuhan di dalam alam itu sendiri. Bahkan Kebenaran Mutlak Tertinggi, Parabrahman, telah mewujudkan Diri-Nya sebagai Daru-brahman, Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, oleh cintakasih-Nya kepada segenap ciptaan-Nya, terutama bagi mereka yang juga menyayangi ciptaan-Nya.

1 komentar:

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking