Selasa, 31 Agustus 2010

VAISHNAVA DHARMA DI THAILAND (1)

Kerajaan Thai Bersatu yang dahulu dikenal sebagai Siam, didirikan pada pertengahan abad ke-14. Kemudian pada tahun 1939, namanya diubah menjadi Thailand (Muangthai). Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh kekuasaan bangsa Eropa berkat kemampuan diplomasi yang luar biasa dari Raja Maha Mongkut (Rama IV). Modernisasi Thailand tanpa meninggalkan identitas kebangsaannya dan budayanya yang luhur dipelopori oleh putra Raja Maha Mongkut, yaitu Raja Maha Chulalongkorn (Rama V).

Peradaban bangsa Thai di masa lampau sudah sangat tinggi. Kebudayaan perunggu dari tahun 3600 SM yang ditemukan di Ban Chiang merupakan salah satu yang tertua di dunia. Migrasi nenek moyang bangsa Thai yang berasal dari Cina, diikuti oleh migrasi dari India sekitar 300 SM dengan membawa Veda-dharma. Sekitar tahun 100 M, Hinduisme tumbuh dengan kuat diikuti oleh perkembangan puncak Buddhisme sekitar tahun 1000 M. Dengan demikian Veda-dharma turut membentuk sendi-sendi kehidupan dan tata nilai serta budaya rakyat Thai. Aksara Thai dibentuk berdasarkan huruf Mon (Burma), Khmer (Kamboja), dan aksara Grantha dari India Selatan, seperti aksara Jawa dan Bali di Indonesia. Sebagaimana pula bahasa Jawa dan Bali, bahasa Thai juga mengandung banyak sekali kata-kata bahasa Sanskrit.

Thailand saat ini adalah sebuah negara Buddhis yang besar. Tetapi pengaruh Veda masih dapat dirasakan dan terutama tampak pada upacara-upacara kerajaan. Sampai saat ini masih ditemukan adanya masyarakat Brahmana Thai yang sangat berperan dalam kehidupan rakyat. Para Brahmana ini menentukan horoskop, hari-hari baik, menafsirkan pertanda-pertanda serta melaksanakan ritual pemujaan kepada para devata. Upacara-upacara seperti pencukuran rambut anak (cudakarma samskara), kremasi, dan upacara rumahtangga serta yang berkaitan dengan pertanian tetap dilaksanakan oleh para Brahmana. Upacara penobatan raja (Rajabhiseka) dan membajak sawah merupakan ritual paling utama yang dilaksanakan oleh Raja. Pendeta Agung Kerajaan dari golongan Brahmana merupakan pemimpin utama upacara ini. Dalam penobatan para Raja Thai dilakukan ritual-ritual rumit seperti homa, prayascitta, pengurapan minyak, dsb. yang berperan pertama adalah Brahmana, kemudian dilanjutkan oleh para Bhikku.

Brahmin Thai dalam upacara membajak sawah oleh Raja

Bentuk terakhir perkembangan Veda-dharma di Thailand tampaknya berasal dari tradisi Smarta (Brahmana) dan Saiva-siddhanta India Selatan. Sekalipun Buddhisme Theravada telah menjadi agama resmi Kerajaan Thai yang dianut oleh mayoritas penduduknya semenjak masa dinasti Sukhothai, namun Hinduisme masih merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Thai. Keberadaan Pendeta Agung Rumahtangga Kerajaan yang disebut Phra Rajaguru merupakan bukti kuatnya pengaruh Veda-dharma di Thailand. Sampai saat inipun rakyat Thailand, sekalipun beragama Buddha, masih memuja Trideva Brahma (Phra Phrom), Siva (Phra Issuan), dan Sri Vishnu (Phra Narai) dan para devata lain seperti Parvati (Nang Umadevi), Laksmi (Nang Laksmi), Surya (Phra Ah-thit), Indra (Phra Inn), Ganesha (Phra Khanesh), dan Vishvakarman (Phra Vissukam). Buddhisme Theravada tidaklah memberikan pengajaran ritual kepada pemeluknya, sehingga dapat dikatakan bahwa semua ritual keagamaan yang kini masih dipraktekkan oleh rakyat Thai merupakan warisan Veda. Upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian di Thailand adalah bentuk upacara Vedika, tentu saja sekarang ditambah dengan partisipasi para bhikku yang membacakan paritta-paritta atau doa-doa Buddhis.

Bentuk Veda-dharma yang berkembang di Thailand seperti disebutkan sebelumnya berasal dari tradisi Saiva dan Smarta Brahmana, seperti yang terdapat di Indonesia. Tradisi Veda mapan terakhir yang berhasil mencapai Asia Tenggara dan Nusantara adalah dari kedua bentuk ini, karena seluruh hubungan dengan India terputus sejak masuknya penjajah Islam.

Di Thailand terdapat golongan Brahmana yang masih memelihara sistem pewarisan ajaran dalam garis keturunannya. Mereka merupakan keturunan dari Brahmana India dengan orang Thai. Para Brahmana Thai hampir sepenuhnya hanya mengandalkan panduan dari warisan para leluhurnya terdahulu dalam mengadakan upacara-upacara, seperti para Brahmana di Bali-Indonesia. Walau demikian, putusnya hubungan dengan garis parampara mereka di India tampaknya akan segera berakhir, dengan inisiatif dari Phra Rajaguru. Phra Rajaguru Vamadevamuni merupakan kepala masyarakat Brahmana Thai, sekaligus menduduki jabatan sebagai Pendeta Agung Kerajaan. Beliau mengirimkan beberapa brahmana muda untuk menerima pengajaran dan pelatihan di Vedapathasala yang didirikan dan dirintis oleh Sri Mahaperiyava, Sankaracharya yang memegang tahta di Kanchi Kamakoti-pitham, dengan demikian menyambungkan kembali garis parampara mereka yang terputus selama berabad-abad.

Minggu, 15 Agustus 2010

PEMUJAAN NARASIMHA DALAM SAKTI TANTRA

Sri Maha Pratyangira Devi (atau Pratyankira) adalah seorang Devi yang mahasakti, yang dikatakan melampaui kemurkaan Sarabhesvara, suatu ugra-avatar Siva. Beliau juga dikenal sebagai Nrisinghika (Narasimhi), Devi yang berwujud setengah manusia setengah singa. Disebutkan apabila Nrisinghika menggoyang-goyangkan rahang singanya, maka bintang-bintang akan berantakan. Beliau dikandung sebagai kekuatan dalam bijaksara “Ksham”.


Sri Pratyankira Devi dihubungkan dengan Sri Cakra. Beliau merupakan kekuatan tersakti dalam menghancurkan pengaruh yang ditimbulkan oleh ilmu sihir. Beliau merupakan pelindung para penyembah-Nya yang menekuni sadhana Sri Cakra dalam sakti-tantra, agar mereka selalu berada di jalan yang benar. Pratyankira Devi melaksanakan peran yang sama dalam sakti-tantra seperti Sri Narasimha bagi para Vaishnava.

Bentuk perwujudan Beliau sangat menyeramkan, berkulit gelap, berwajah seekor singa yang murka, dengan mata merah penuh amarah dan mengendarai seekor singa juga. Terkadang Beliau juga tampak telanjang, dengan kalungan kepala-kepala manusia, rambutnya berdiri. Tangan padma-Nya memegang trisula, seekor naga yang dibentuk jerat, damaru, dan mangkuk tengkorak. Beliau dihubungkan juga dengan Bhairava melalui wujud-Nya yang dikenal sebagai Atharvana Bhadrakali.

Berbeda dengan Bhagavata, kisah lila Narasimha lebih mengerikan dalam Tantra. Setelah membunuh Hiranyakashipu dikatakan bahwa walaupun sudah banyak rishi dan deva yang berdoa, Tuhan Narasimhadeva belum juga dapat ditenangkan dari kemarahan-Nya. Kemurkaan Narasimhadeva mengambil bentuk banyak Narasimha yang kemudian meminum setiap tetes darah Hiranyakasipu. Akhirnya para deva dan rishi juga meminta Siva untuk mengambil wujud murka untuk mengejutkan Narasimha. Siva kemudian mengambil rupa Sarabhesvara yang sangat ajaib berwujud makhluk mengerikan seperti burung yang dapat memakan gajah dan singa. Kedua sayapnya adalah Devi Uma dan Mahalaksmi. Sebagian kemurkaan Narasimhadeva dapat ditaklukkan oleh Sarabhesvara, akan tetapi tidak berlangsung lama karena ternyata Sri Narasimhadeva menjadi lebih murka lagi. Wujud yang sangat mengerikan bernama Astamukha Gandaberundha Narasimha tiba-tiba muncul. Rupa ini berwajah delapan yaitu Garudamukha (wajah garuda, menganugerahkan kesehatan dan melawan racun), Varahamukha (wajah babi hutan, memusnahkan kekuatan ilmu hitam), Vanaramukha-Hanuman (wajah kera, melindungi dari kekuatan jahat dan mengembalikan kehilangan), Balukamukha (wajah beruang, melindungi dari kegelapan dan menganugerahkan kemakmuran), Hayagriva (wajah kuda, memberikan kebijaksanaan dan energi kehidupan), Vyagramukha (wajah harimau, melindungi dari segala jenis penyakit, roh jahat, dan setan), Gandaberundha (dua wajah burung seperti feniks, memberikan kedamaian pikiran) dan wajah Sri Narasimhadeva Sendiri (menganugerahkan moksa dan bhakti). Di depan wujud yang sangat murka ini rupa Sarabhesvara musnah dan Devi Uma pergi ketakutan. Hanya Mahalaksmi yang secara rahasia mendekati Astamukha-murti, kemudian Beliau menyerap kemarahan Sri Narasimhadeva sehingga Beliau mengambil wujud mengerikan sebagai Sri Maha Pratyankira Devi. Wujud damai Beliau kemudian duduk di pangkuan wujud damai Narasimha di atas gulungan tubuh Anantadeva untuk bisa dipuja oleh Prahlada dan para deva lain. Tuhan Sri Narasimhadeva dalam wujud ini dipuja di Yadagirigutta-ksetra.

Sarabheshvara

Gandaberundha-sadhana adalah salah satu mantra-sadhana yang paling kuat dalam Vaishnava-tantra yang sangat rahasia. Saat ini hanya beberapa orang saja yang mewarisi parampara dari sadhana ini, mereka dapat membuat Gandaberundha-kavacha yang mampu mengalahkan semua penyakit jasmani maupun penyakit karena sihir. Saat ini ada yang menyediakan rekaman mantra-mantra khusus ini, dilantunkan oleh Sudarsana Narasimha Murty, seorang Astamukha-sadhaka dari garis Sri Vaishnava. Apabila didengarkan pada malam hari dikatakan dapat menghilangkan mimpi buruk dan menjauhkan hantu-hantu. Tentu saja untuk seluruh mantra-siddhi hanya bisa dicapai dengan melaksanakan sadhana khususnya.

Sri Maha Pratyankira Devi kemudian dipuja oleh mereka yang mendalami sadhana Nava-Matrika (Sembilan Ibu) dalam pemujaan rahasia Sri Vidya. Beliau dipuja untuk mengusir roh-roh jahat ganas dan kekuatan ilmu hitam, tetapi kadang-kadang kekuatan mantra-Nya juga disalah mengerti dan disalah gunakan. Beberapa orang bahkan menggunakan kekuatan siddhi Beliau untuk Marana-puja (membunuh musuh). Orang-orang seperti itu juga menyalahgunakan pemujaan Narasimha secara Vamachara untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi sesungguhnya Kedua Pasangan Rohani ini dapat memberikan pembebasan dari samsara dan anugerah yang paling mulia yaitu pengabdian suci kepada Beliau. Lupakan segala tujuan-tujuan duniawi apalagi tujuan jahat ketika memuja-Nya, karena kemusnahan yang mengerikan justru menjadi hasilnya.

Sengedongma - Simhamukhadakini di Tibet

Dalam Tantra Tibet kita juga bisa menemukan pemujaan Sri Nrisinghikadevi sebagai Singhamukha-dakini (Senge Dongma). Beliau menghalangi orang-orang yang tidak pantas memasuki rahasia Tantra. Beliau juga salah satu yidam (istadeva) yang digunakan dalam sadhana Tantra Buddhisme Tibet. Padmasambhava, yogi yang mengalahkan semua deva dan roh jahat di Tibet dan yang berhasil membawa agama Buddha masuk dan berkembang di Tibet untuk pertama kalinya, dikatakan mendapatkan kekuatan dari sadhana Singhamukha-dakini. Dia bahkan mampu mengubah wujudnya seperti Sri Narasimhadeva dan menaklukkan semua deva, naga, dan bhuta yang menghalangi penyebaran agama Buddha di Tibet, Nepal, dan Bhutan.

Guru Padmasambhava sebagai Simhamukha. Wujud damainya tampak di atas sebagai seorang bhiksu bertopi

Jumat, 13 Agustus 2010

MAKNA OM

SEBAGAIMANA DIJELASKAN OLEH SRI PARASARA BHATTA DALAM ASTASLOKI


akarartho vishnuh jagadudaya raksha pralaya krt makarartho jivah tadupakaranam vaishnavamidam ukaronanyarham niyamayati sambandhamanayoh trayi sarah tryatma pranava imamartham samadisat
Arti
Kata OM (AUM) yang terdiri dari tiga aksara A, U, dan Ma, merupakan intisari dari Vedatraya (Tiga Veda – Rig, Yajur, Sama). Ketiga aksara ini menunjukkan konsep berikut ini. Aksara A menyatakan Sri Vishnu sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur seluruh alam semesta. Aksara Ma menyatakan jiva sebagai hak milik Vishnu dan sebagai instrumen di tangan-Nya. Aksara U menyatakan hubungan antara jiva dengan Tuhan, yaitu bahwa jiva merupakan milik Tuhan.
(Sri Parasara Bhatta Astasloki 1)

Catatan
Dalam sloka ini Sri Bhatta memberitahukan kepada kita bahwa OM menyatakan,
akarartho vishnuh jagadudaya raksha pralaya krt-
Aksara A menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa Sri Vishnu, yang berada di mana-mana meresapi segalanya. Sang pencipta, pemelihara, dan pelebur tertinggi seluruh alam semesta yang tunggal tiada duanya, sebagaimana Beliau Sendiri menyatakan dalam Bhagavad-gita (10.33), "aksharanam akarosmi", yang berarti bahwa di antara segala aksara, Beliau adalah aksara A. Aksara A merupakan perlambang dari Tuhan, karena aksara ini merupakan asal-muasal segala aksara, sebagaimana dinyatakan dalam Veda, "akaro vai sarva vak, aksara A adalah segala ucapan." Aksara A ini memberikan perlindungan kepada jiva yaitu berupa ishta-prapti dan anishta-nivritti. Ini berarti membuat segala hal yang diinginkan oleh jiva dapat dijadikan nyata yaitu dia dapat menginsafi Tuhan dan menyingkirkan segala sesuatu yang tidak dibutuhkannya yaitu hal-hal yang menghalanginya mencapai Tuhan.

makarartho jivah tadupakaranam vaishnavamidam -
Aksara Ma mewakili para jiva, sebagai milik Tuhan Sri Vishnu dan berperan sebagai alat di tangan-Nya dalam mempertunjukkan kegiatan sukacita-Nya (lila). Dengan menggunakan kata "tat" dan "idam" yang dalam bahasa Sanskrit bersifat netral, Sri Bhatta mengindikasikan bahwa jiva adalah seperti wayang yang tak berdaya di tangan Tuhan dan sepenuhnya bergantung pada Tuhan

ukaronanyarham niyamayati sambandhamanayoh-
Aksara U menyatakan hubungan antara jivatma dengan Tuhan, dimana jiva sepenuhnya adalah milik dari Tuhan Sri Vishnu semata. Tidak ada yang dapat memiliki kuasa atas para jiva selain Tuhan Sri Vishnu, karena mereka sepenuhnya tergantung pada Beliau dan merupakan sarana dalam permainan sukacita rohani Sri Vishnu. Sehingga dengan demikian jiva tidak memiliki keberadaannya yang terpisah dari Vishnu. Hanya ada semata-mata demi Sri Vishnu.

trayi sarah tryatma pranava imamartham samadisat-
Dalam sastra dinyatakan bahwa OM merupakan satu kesatuan aksara (bentuk samhitakaram), omityekaksharam. Tetapi dalam bentuk asamhitakaram-nya OM (AUM) terdiri dari tiga aksara yaitu A, U, dan Ma, sebagai perwujudan intisari Tiga Veda yang diwujudkan dalam konsep-konsep tersebut. Suara suci OM ini memberikan perlindungan kepada para jiva melalui ajaran suci yang digemakan dalam ketiga aksara penyusunnya.


Sri Bhatta berkata,
dehasaktatmabuddhih yadi bhavati padam sadhu vidyat dvitiyam-
Apabila seseorang berpikir bahwa tubuh jasmani dan atmanya adalah satu, sehingga apapun yang dirasakannya baik bagi tubuh adalah baik pula bagi sang atma, maka aksara Ma dari AUMkara akan menyelamatkannya dengan mengatakan bahwa semua ini tidaklah benar. Atma bukanlah badan, bukan pula menjadi pemilik dari dirinya sendiri, jivatma adalah milik Sri Vishnu. Maka dengan demikian hanyalah segala sesuatu yang diperuntukkan bagi Vishnulah yang akan membawa kebaikan bagi sang atma.

svatantryandho yadi syat prathamam-
Apabila seseorang dibutakan oleh pemikiran bahwa dia sepenuhnya tidak bergantung kepada Tuhan Sri Vishnu, maka aksara A dalam AUMkara akan mengingatkannya dan membuatnya belajar bahwa sesungguhnya dia tidaklah bebas merdeka (svatantra), karena kenyataannya adalah bahwa Tuhan Yang Maha Esa Sri Vishnulah sang pencipta, pengendali, pemelihara dan pelebur tertinggi seluruh manifestasi ini.

itara seshatvadhischet dvitiyam-
Apabila seseorang berpikir bahwa dirinya tunduk pada insan lain, selain dari Sriman Narayana, maka aksara U dalam AUMkara akan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah diperuntukkan bagi Sri Vishnu semata. Jiva hanyalah milik dan tunduk kepada Sri Vishnu saja, Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana.

(catatan diberikan oleh T.Thiruvengadavan, V.S.M.Vishnu and Smt. Chandra Sampathkumar berdasarkan pelajaran dari Sriman Embar Rangacharya Swami)

Rabu, 11 Agustus 2010

DHARMA INI HANYA ADA DI SINI

Suatu hari saya sedang berdiskusi dengan seorang teman tentang pelajaran dari salah satu mentor rohani saya. Beliau mengatakan bahwa Hindu meyakini semua agama memiliki suatu sumber yang bersifat rohani, kebenaran adalah tetap kebenaran, di manapun atau dari manapun dia didapatkan. Tuhan Yang Maha Esa sejak awal dunia telah mengungkapkan kebenaran itu kepada semua bangsa dan negara di atas bumi ini, dalam masa dan tempat yang berbeda-beda, dengan cara atau bentuk yang terbaik dan paling sesuai bagi umat manusia yang dituju. Penerimaan dan juga pemahaman akan Kebenaran yang murni itu telah melewati saringan pikiran individual yang sudah dikondisikan oleh berbagai pengalaman psikis dan psiko-sosial. Itu kemudian diekspresikan melalui struktur sosio-politik unik, yang ada – eksis, pada masyarakat dan kelompok sosial tertentu. Perbedaan-perbedaan pengertian, ekspresi, dan penafsiran yang bersifat relatif berkaitan dengan Kebenaran itu, menghasilkan munculnya berbagai perguruan filsafat, doktrin teologis, mitologi, dan berjenis-jenis ritual atau upacara. Dalam batas tertentu semuanya ini sama-sama valid.

Menurut pandangan Hindu, semua agama adalah valid sebagai berbagai ekspresi dari Satu Kebenaran Rohani yang tunggal dan semua juga sama-sama bisa keliru akibat pengaruh “faktor manusia”. Jelas sangat tidak mungkin akan ada SATU agama untuk semua orang, dan berpikir begitu menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakmatangan, sekalipun memang ada satu hukum universal yang membentuk dasar dari semua agama-agama beradab.

Hindu meyakini bahwa Hukum-hukum Semesta ini, apabila dipatuhi, pastilah akan mengarahkan seseorang kembali kepada Tuhan, tanpa peduli apapun kepercayaan, filsafat, atau keyakinan teologis yang dianutnya. Dalam Hindu kaidah-kaidah kehidupan ini dikenal sebagai 14 Loka Dharma dan dapat diterapkan oleh dan untuk seluruh umat manusia. Tujuh yang berkaitan dengan pengembangan diri pribadi yaitu kejujuran, pengendalian diri, mencari pengetahuan, mengembangkan kebijaksanaan, kesederhanaan, kesabaran, dan senantiasa merasa puas. Tujuh yang lainnya berkaitan dengan hubungan secara sosial yaitu keadilan, tidak mencuri dan menipu, hubungan seksual yang terkendali, bebas dari amarah, belas kasih kepada semua makhluk, mengampuni, dan bebas dari kecurangan. (Bhagavad Gita 13:7 —11, Manu 7:92. Mahabharata Vana Parva 297:35 & Santi Parva).

Kemudian teman itu bertanya, ”Apabila memang Hindu meyakini bahwa semua agama adalah benar dan semua agama mengajarkan kebaikan, lalu apa salahnya tidak menganut Hindu dan beralih ke agama lain. Saya kira semua kebaikan itu juga diajarkan di tempat lain. Mengapa selama ini saya harus tetap Hindu, bukankah Hindu sendiri mengatakan bahwa kebenaran itu ada di semua tempat. Bila kita mengajarkan hal-hal semacam ini, maka untuk tidak menjadi Hindu lagi, kita tidak perlu banyak pertimbangan.” Memang betul untuk tidak menjadi Hindu lagi dan konversi menjadi agama lain tidak perlu banyak pertimbangan. Saya setuju dengan kesimpulan dari teman ini. Betul tidak perlu banyak, menurut saya cuma perlu satu pertimbangan saja.


Berdasarkan pemikiran Hindu setiap orang boleh memilih, mempelajari, meyakini, dan melaksanakan agama apapun yang menurutnya paling sesuai dan baik untuk dirinya secara pribadi. Setiap orang berhak mengkaji semua jalan rohani yang menurutnya dapat membawa kepada Kebenaran, membawa kepada Tuhan. Tetapi di tempat lain mungkin pemikiran seperti ini tidak ada. Mereka akan mengajarkan bahwa mungkin ada kebaikan dalam semua agama dan semua kebenaran merupakan wahyu dari Tuhan. Mereka tidak menolak apa yang baik dan suci dalam keyakinan lain tetapi tetap saja mereka mengklaim bahwa hanya melalui mereka dan pribadi tertentu saja, yang mereka yakini, keselamatan itu datang. Ada juga yang mengajarkan bahwa hanyalah keyakinan merekalah satu-satunya yang benar dan semua bentuk keyakinan yang lain bukan berasal dari Tuhan, bahkan berasal dari Iblis. Kebaikan apapun yang ada di sistem religi lain merupakan sebuah tiruan yang berasal dari tipuan setan demi menyesatkan orang-orang dan membuat mereka berpaling dari keimanan yang benar, yaitu agama mereka! Ada pula yang meyakini bahwa apapun kebaikan yang dilakukan oleh orang beragama lain tidak akan diterima Tuhan, tetapi hanyalah menambah dosa-dosa mereka. Baik atau buruk hanya ditentukan oleh satu hal yaitu penerimaan akan kebenaran total sistem religi mereka. Semua doktrin dan dogma ini tidak seorangpun bisa menjamin semuanya adalah kebenaran dan sayangnya tidak bisa dipertanyakan.

Bila anda meninggalkan agama dan keyakinan Hindu, sebagai warisan leluhur yang telah eksis selama berabad-abad dalam keluarga, biasanya anda pasti akan memasuki salah satu agama dengan misi penyebaran atau dakwah yang aktif. Di sana kita mungkin akan mempelajari dan meyakini bagian dari sesuatu yang juga dianggap dharma oleh Hindu. Tetapi di sana kita juga tidak mendapatkan dharma yang sudah diuraikan sebelumnya.

Jadi memang benar Hindu meyakini bahwa kebenaran itu ada di mana-mana dan setiap jalan yang menuju kepada-Nya adalah valid dengan keistimewaannya sendiri. Berjalan menuju Kebenaran Tertinggi dengan keinsafan akan dharma yang seperti ini akan menciptakan kondisi rohani yang bebas konflik. Tidak adanya konflik itu merupakan salah satu jalan menuju kedamaian. Sedangkan kedamaian sendiri merupakan ciri dari dharma sejati yang mampu mengantarkan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tujuan Akhir. Orang dapat menemukan kebenaran di setiap tempat. Dengannya kita dapat berjalan menuju kesempurnaan. Tetapi bila dalam menuju kesempurnaan kita sibuk melihat kesalahan orang lain, mencela dan mengejeknya, maka seluruh jalan itu akan berbalik menuju kejatuhan lebih dalam. Sayangnya sedikit yang memahami atau bahkan sekedar tahu saja mengenai hal ini. Sebagian besar tidak memperoleh informasi apapun tentang hal yang begitu penting dalam hidup rohani. Inilah salah satu sumbangan Hindu yang terbesar bagi para penganutnya dan ini pula yang dapat menjadi jaminan atau bukti bahwa dharma ini sungguh menuju kepada Sang Kebenaran. Sekali lagi, sayangnya dharma seperti ini tidak diajarkan di tempat lain. Hanya Hindu yang berani berkata dan mengajarkan ini dengan tegas, karena itu Hindu berbeda dari yang lainnya.

Pernyataan Bhagavad-gita 4.11, ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah, seringkali disalah artikan sebagai pendapat bahwa Hindu mengatakan semua jalan, vartma, dengan demikian semua agama, adalah sama dan hanya menuju pada satu Tuhan. Entah siapa yang pertama kali menerjemahkan seperti itu dan apa motifnya, kita tidak tahu. Namun kita perlu tahu makna yang sebenarnya. Kata-kata kunci dalam sloka ini, sehubungan dengan topik adalah yatha - tatha - prapadya - dan mama vartma. Kata yatha dan tatha menunjukkan hubungan sebab-akibat. "Sejauh mana maka sedemikianlah". Anda tidak bisa mengatakan bahwa punya seribu rupiah bisa membeli apel sama banyaknya dengan sepuluh ribu. Ada perbedaan yang diukur, suatu nilai... Maka kata prapadya menunjukkan variabel yang diukur ini. Prapadya adalah dedikasi diri. Seberapa besar kita mempersembahkan diri atau seberapa mungkin jalan itu memfasilitasi dedikasi diri kita terhadap Tuhan. Prapadya juga bukan menyatakan sekedar sikap teoritis saja. "Oh, saya mengikuti jalan yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Jadi ini yang terbaik." Sama sekali bukan seperti itu. Tapi lebih pada sejauh mana egoisme dan keakuan kita diubah menjadi pengabdian yang tulus murni. Motifnya bukan saya ingin mendapatkan yang terbaik, tetapi bagaimana saya mempersembahkan yang terbaik. Inilah prapadya. Ada perbedaan antar kadar kepenuhan prapadya masing-masing jalan berikut mereka yang menempuhnya, dan Tuhan dalam Gita menyatakan bahwa Beliau memberikan karunia-Nya, memberkati mereka sesuai dengan kadar prapadya ini. Walau demikian di sisi lain juga dikatakan mama-vartma, Jalan-Ku. Tuhan dalam Gita menyatakan bahwa berbagai jalan ini ada oleh kehendak-Nya. Tidak ada yang tidak berasal dari Dia. Jadi Gita tidak mengutuk, menghina, maupun merendahkan jalan-jalan yang berbeda, mengatakannya berasal dari setan, iblis, dan sebagainya. "Mereka semua, seluruh umat manusia, manusya-sarvasah, menempuh Jalan-Ku." Jalan-jalan itu berbeda. Modalnya, yaitu kadar prapadya, tidaklah sama satu dengan yang lainnya, maka dari itu wajar mereka mencapai berbagai tujuan yang berbeda. Tetapi segala sesuatunya memperoleh hasilnya adalah berkat perkenanan dan berkat dari Tuhan. Tidak ada yang layak dinyatakan sebagai jalan setan. Bahkan Tuhan dalam Gita menghargai pilihan setiap individu!

Sebagai akhir dari topik pembicaraan ini saya mengajukan beberapa pertanyaan yang segera dijawab oleh teman itu.
Benarkah bila Hindu mengajarkan bahwa kita bisa menemukan kebenaran di setiap jalan dan di semua tempat? Benar.
Lalu apa masalahnya meninggalkan Hindu dan mencari kebenaran di tempat lain? Ada masalah, karena dharma seperti ini hanya diajarkan secara jujur dalam Hindu.
Memangnya kenapa kalau dalam Hindu saja ada dharma semacam ini? Secara alamiah secara pribadi kita akan menjadi damai, sedangkan bagi orang lain dan alam sekitar secara alamiah pula kita tidak membawa bahaya. Dalam bahasa teman itu, “Naturally, becoming a Hindu wasn’t make you a harmful person”. Ini modal utama untuk menuju kesempurnaan rohani. Jadi apakah butuh banyak pertimbangan untuk meninggalkan Vedadharma (atau juga menerimanya)? Tidak, cuma satu. Dharma ini hanya ada di sini. Inilah yang harus kita pertimbangkan dan pikirkan secara mendalam.

Senin, 02 Agustus 2010

PEBAYUHAN SAPU LEGER


Akan diselenggarakan PEBAYUHAN OTON SAPU LEGER-PEMARISUDDHA PAPA PATAKA, NIRROGHA, NIRUPADRAWA dan PELUKATAN AGUNG MAHOTTAMA PENGLEBUR DASAMALA (Ruwatan Agung Mandi Weda).

Tanggal: 29 Agustus 2010Pukul: 16.00 wita,
Tempat: Pura WINDU SEGARA, Padanggalak, Kesiman, Denpasar-Bali.
Peserta terbuka bagi semua kalangan.

Pebayuhan oton Sapu Leger terutama diperuntukkan bagi semua yang lahir di uku Wayang, yang hari Sabtunya ada Tumpek (jadi yg lahir dari Redite/Minggu Wage Wayang sampai Saniscara/Sabtu Kliwon Wayang). Juga untuk kasus-kasus kelahiran yang membutuhkan pengruwatan seperti "sanan empeg (kelahiran di antara saudara kandung yang mati), tlaga apit pancoran (kelahiran perempuan di antara dua saudara laki-laki ~ laki – perempuan – laki), pancoran apit tlaga (perempuan – laki – perempuan), bayuh melik (kelahiran yang horoskopnya menunjukkan adanya kecelakaan/musibah fatal)". Sedangkan Penglukatan Agung Mandi Weda boleh diikuti oleh siapa saja yang sekiranya membutuhkan pengruwatan dan penyucian diri.
Kesempatan melihat dan mengikuti Upacara Pebayuhan dan Penglukatan (Ruwatan) yang cukup langka (juga upacaranya cukup besar dengan caru mancakelud-tingkat madya, mepesaksi sanggar tawang rong tiga munggah catur, bebangkit, pulagembal. Dipuput oleh 4 orang Ida Pedanda bersama Mangku Dalang dan Para Pinandita).

Bagi yang mengikuti Pebayuhan Sapu Leger dirangkai dengan Pelukatan Mandi Weda menghaturkan punia sebesar Rp. 600 ribu (untuk biaya Upakara/banten selengkapnya). Untuk Pelukatan Mandi Weda punia sebesar Rp. 50 ribu. Semua siap di tempat oleh penyelenggara sehingga tidak ada kewajiban ngayah, dsb. Yang perlu dibawa oleh peserta adalah Tirtha dari Bhatara Hyang Guru-nya masing-masing.

Pendaftaran dan info selanjutnya silakan hubungi GRIYA BANG SWARGA MANUABA
0361 423 582
0361 74 74 7900361 79 88 950
0361 27 96 734

SUASANA UPACARA TAHUN 2009 LALU

Ida Pedanda Gede Nabe Bang Burwan Manuaba tengah melukat peserta

Dalang mempersiapkan tirtha dan menggelar Wayang Sapu Leger

Para peserta pebayuhan dan pelukatan

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking