Secara teologis dan ontologis, Buddha di kedua agama ini berbeda. Tetapi dari agama Buddha sendiri, kita mendapatkan sedikit informasi. Sumber-sumber dalam tradisi Vajrayana Tibet, salah satunya Taranatha, menyebutkan bahwa pada masa Buddha Sakyasingha terdapat seorang raja di daerah Oddiyana yang bernama Indrabhuti, yang kebetulan juga seusia dengan Buddha. Dalam kisah munculnya Vajrayana yang bersifat metafisik, dikatakan bahwa Indrabhuti berkeinginan mendapatkan ajaran dari Sakyasingha, yang memungkinkannya mencapai pencerahan tertinggi dalam satu tubuh, satu kehidupan, bebas dari segala kemelekatan tanpa harus meninggalkan fungsinya di kehidupan sekarang, dalam hal ini tentu adalah tugas dan kewajibannya sebagai raja. Sakyasingha lalu metransmisikan ajaran Vajrayana kepadanya, khususnya ajaran Guhyasamaja-mula-tantra. Selain itu Buddha juga mentransmisikan berbagai emenasi Anuttarayoga-tantra lainnya seperti Sri Kalachakra, Hevajra, dan Cakrasamvara. Jadilah Indrabhuti sebagai salah satu penerima awal ajaran Buddha Tantrayana atau Vajrayana. Dia mempraktikkan ajaran ini, mengembangkan, dan menyebarluaskannya di seluruh wilayah Oddiyana.
Tersebut dalam legenda-sejarah Blue Annals, bahwa Munindra sendiri (Buddha Sakyasingha) mengajarkan Guhyasamaja kepada Indrabhuti dari Oddiyana. Seorang yogini dari alam Naga menerimanya dari Indrabhuti, lalu mengajarkannya kepada raja Visukalpa dari India Selatan. Mahasiddha Saraha mempelajarinya dari raja ini untuk kemudian diturunkan kepada Acharya Nagarjuna, tokoh Buddhisme Mahayana terbesar setelah masa Sakyasingha. Jadi bisa disimpulkan bahwa Oddiyana, yang banyak disebut-sebut dalam berbagai literatur Tantra, terutama yang masih dilestarikan di Tibet, merupakan pusat Vajrayana, bahkan kemungkinan besar merupakan tempat awal munculnya Vajrayana. Kerajaan kuno Oddiyana diperkirakan oleh beberapa orang sebagai suatu daerah di India bagian barat, kemungkinan di lembah Swat.
Namun penelitian para ahli sejarah India mendapatkan bahwa Oddiyana lebih tepat berada di negara bagian Orissa modern, di pesisir Timur India. Bukti-bukti kuat menunjukkan bahwa Orissa merupakan pusat Tantrayana yang besar selama berabad-abad, tidak seperti daerah Swat. Magnum-opus dari almarhum Prof. N.K. Sahu, “Buddhism in Orissa”, membuktikan semua ini dengan sumber-sumber tekstual maupun penemuan-penemuan arkeologis. Satu lagi didapatkan catatan mengenai Indrabhuti sebagai raja Sambhala, yang diperkirakan pula oleh para sejarawan sebagai pengajar utama Vajrayana secara historis. Vajrayana dari Indrabhuti ini menyebar ke Pascima Lanka yang diperintah oleh Jalendra, yang putranya menikah dengan saudari Indrabhuti yang bernama Laksmikara.
Para sejarawan berpendapat bahwa Indrabhuti merupakan penggagas Vajrayana dan Laksmikara merupakan pengagas Sahajayana atau Dakini-tantra. Sambhala dan Lankapuri, di luar kemungkinan bahwa keduanya merupakan tempat di dimensi spiritual, diperkirakan sebagai Sambalpur dan Sonepur di Orissa modern. Konsep Adi-Buddha sendiri, sebagai total potensi pencerahan semua Buddha, sumber semua manifestasi Buddha dan Bodhisattva, khususnya dikenal dalam Vajrayana. Pada masa ketika Orissa menjadi pusat perkembangan agama Buddha Mahayana-Vajrayana, maka keyakinan ini berakar kuat dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu agama negara. Vajrayana, Tantrayana, atau Mantrayana dari Indrabhuti, meyakini bahwa pencerahan tertinggi Kebuddhaan dapat dicapai melalui pelaksanaan pelafalan mantra (japa) dan puja, dalam hidup ini juga. Terlepas dari kenyataan apakah Sakyasingha memang mengajarkan metode ini atau tidak, maka apabila kita secara ketat berpegang pada ajaran Buddha historis, adalah mustahil dapat memperoleh pencerahan dengan menggantungkan diri pada sarana-sarana seperti puja, penyembahan, dan sebagainya. Buddha historis mengatakan bahwa sepeninggal dirinya, para pengikutnya haruslah menjadi perahu untuk menyeberangkan diri mereka sendiri. Dia tidak dapat membantu mereka lagi. Lalu Buddha yang bagaimana yang dipuja dan dilafalkan mantranya oleh Indrabhuti? Sesuatu yang sangat menarik ditemukan dalam Jnanasiddhi karya Indrabhuti, yang menunjukkan keterkaitan antara Mahayana-Vajrayana dengan Vaishnavisme. Dinyatakan, “pranipatya jagannatham sarvajina-vararcitam sarva-buddha-mayam siddhi vyapinam gaganopamam, Persembahkan diri kepada Jagannath, yang disembah oleh mereka yang terbaik di antara pribadi-pribadi yang telah mengalahkan (insan-insan yang telah tercerahkan), yang adalah hakikat kesempurnaan semua Buddha, meresapi segala-galanya bagaikan angkasa yang tak terbatas.” (Jnanasiddhi 1.1). Sloka ini menyatakan pujian kepada Adi-Buddha. Identifikasi Adi-Buddha dengan Jagannath menjadi semakin bermakna apabila kita memperhatikan kenyataan bahwa keyakinan Vajrayana ini berkembang di Orissa, yang memiliki Jagannath sebagai Pujaan Utama, jauh sebelum agama Buddha mulai tersebar luas. Sri Jagannath yang dipuja oleh seluruh rakyat Orissa sampai saat ini di Pura Agung-Nya di Puri adalah personifikasi Adi-Buddha dalam Vajrayana. Sedangkan para Vaishnava memuja Jagannath ini sebagai Vishnu, Kebenaran Mutlak Tertinggi yang meresapi segalanya. Vishnu juga diuraikan dengan perumpamaan gaganam (angkasa/langit) seperti Jagannath-Buddha dalam Jnanasiddhi Indrabhuti. Vishnu dinyatakan sebagai gaganasaddrusham, hakikat ketidakterbatasan yang diumpamakan angkasa. Indrabhuti tidak mengidentikkan Buddhanya dengan Sakyasingha, Buddha historis, melainkan dengan suatu Buddha yang bersifat adi duniawi, yaitu Jagannath Buddha. Jagannath yang sampai sekarang dipuja di Orissa adalah Buddhadeva dalam Vaishnavisme yang tidak berbeda dari Vishnu! Kami tidak mengatakan bahwa umat Hindu, khususnya Vaishnava, mengubah Adi-Buddha menjadi Vishnu atau sebaliknya. Tetapi kita bisa melihat bahwa keyakinan dan cara pandang Buddhisme Vajrayana terhadap Adi-Buddha dan Vaishnava terhadap Vishnu memiliki keparalelan. Kesejajaran ini terutama mencapai keharmonisannya dalam pemujaan Jagannath di Orissa. Sri Jagannath kemudian hadir sebagai Adi-Buddha bagi umat Buddha dan sebagai Mahavishnu atau Krishna bagi Vaishnava.
Jagannath-Buddha. Perhatikan gambar sepuluh Avatar dalam lingkaran. Bawah, no. 2 dari kiri adalah Buddhadeva (sebelum Kalkideva). Rupa Buddhadeva identik dengan Jagannath berwarna hitam atau biru gelap. Bandingkan dengan gambar Adi-Buddha Samantabhadra di bawah ini.
Informasi lain juga bisa kita temukan dari Amarakosha. Amarasingha yang menyusun kamus Amarakosha membedakan antara Vishnu-avatara Buddha yang dinamainya Sugata Buddha dengan Buddha historis yang disebut sebagai Sakyamuni atau Sakyasingha. Lankavatara-sutra juga menyatakan seorang Buddha yang berbeda dan mendahului Sakyamuni. Lebih tegasnya kitab-kitab suci Hindu-Vaishnava yang menyebutkan tentang Buddha seperti Nrisingha-purana, Vishnu-purana, Agni Purana, Vayu-purana, Skanda-purana dan sebuah naskah yang bernama Nirnaya-sindhu memuat catatan astronomis yang menyatakan saat kemunculan Buddha-avatara dari Vishnu di dunia. Berdasarkan perhitungan astronomis tersebut dapat disimpulkan bahwa Buddha yang dipuja oleh Vaishnava hidup pada 4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyasingha hidup 2500 tahun yang lalu.
Bandingkan juga penggambaran Adi-Buddha di stupa Bouddhanath (gambaran mata yang menonjol) dan Jagannath di Puri-Orissa ini
Dengan adanya catatan ini, sebagian sarjana Vaishnava berpendapat bahwa Buddha-avatara juga mewujud secara fisik di dunia pada masa yang mendahului Sakyasingha. Dia mengajarkan Dharma yang kemudian kembali diajarkan oleh Sakyasingha, setelah dia menemukannya dalam pengalaman pencerahan di Vajrasana, Gaya. Ada pula yang berpendapat bahwa potensi Buddhadeva mewujudkan diri dalam Sakyasingha. Jadi Sakyasingha hanyalah manusia biasa yang mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga dia dapat menjadi wadah yang tepat bagi potensi itu. Ini tentu merupakan sudut pandang Vaishnava yang tidak berhubungan dengan doktrin Buddhis manapun. Hanya saja menegaskan sekali lagi bahwa Buddhanya Vaishnava dengan Guru Agung Sakyasingha adalah berbeda. Hal ini juga bukan sesuatu yang istimewa dalam sejarah Veda. Keadaan serupa juga terdapat pada kasus Kapila-avatara. Memang ada dua Kapila. Satu Kapila merupakan Kapila-avatara, inkarnasi Vishnu, yang mengajarkan ajaran Sankhya theistik dalam Kapila-gita. Sedangkan satu Kapila lain adalah seorang filsuf yang mengajarkan Sankhya atheistik. Kapila-avatara hidup pada masa yang mendahului Kapila sang filsuf. Kita juga mengenal dua Risabhadeva. Satu adalah Vishnu-avatara, sedangkan yang satunya lagi adalah seorang Arhat dalam agama Jain.
Kamis, 17 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar