Jumat, 11 September 2009

Pemujaan Leluhur (1)


Tahun ini Mahalaya Pithru-paksha jatuh pada tanggal 5-9-2009 pukul 00.04 WITA sampai tanggal 19-9-2009 pukul 02.44 WITA. Waktu ini adalah yang sangat bertuah untuk melaksanakan Pithru-puja atau pemujaan kepada leluhur dengan melaksanakan Sharddha maupun persembahan Tarpanam. Pemujaan leluhur ini topik yang juga menarik dan penting diketahui. Agama Hindu dan kepercayaan tradisional banyak bangsa seperti dalam Taoisme yang berkembang di Tiongkok, sama-sama meyakini adanya alam-alam kehidupan dan berbagai kelompok makhluk-makhluk hidup yang tersebar di seluruh alam semesta ini. Beberapa tinggal di alam yang secara spiritual berada di atas bumi ini dan beberapa tinggal di bawah bumi. Makhluk-makhluk ini ada yang tergolong mampu memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi manusia, ada pula yang dapat mengganggu kehidupan manusia. Beberapa ritual dan ajaran dalam Veda yang diterapkan oleh masyarakat Hindu dan juga oleh mereka yang dikatakan mengikuti kepercayaan nenek moyang atau keyakinan suku, memungkinkan manusia berhubungan dengan makhluk-makhluk dari alam kehidupan yang berbeda. Semuanya adalah untuk mengusahakan keselarasan semesta yang pada akhirnya juga dapat memberikan kesejahteraan bagi manusia.

Salah satu golongan makhluk hidup yang dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia adalah para pitri, yaitu termasuk di dalamnya adalah para leluhur kuno umat manusia sampai anggota keluarga kita yang telah meninggal. Di antara para pitri ini juga tidaklah sama. Ada berbagai tingkatan dengan kemampuan spiritual yang berbeda, asal yang berbeda, dan masing-masing juga memiliki kedekatan yang berbeda dengan manusia yang hidup di bumi. Para pitri paling tidak adalah mereka yang memiliki hubungan karma dengan kita selama berbagai kehidupan.

Dalam tradisi Hindu dikenal beberapa kelompok pitri seperti Agnisvatta (pitri dari para deva), Barhisad (pitri dari para asura), Vairaja (pitri dari para pertapa), Somapa (pitri dari para brahmana), Havismat (pitri dari ksatriya), Ajyapa (pitri dari vaisya), Sukalin (pitri dari sudra), Vyama (pitri dari luar empat varna), dan sebagainya. Para pitri ini mencapai kedudukannya bukan saja berdasarkan garis keluarga saat dia masih hidup sebagai manusia, tetapi juga disiplin rohani dan dharma yang dilaksanakannya. Mereka yang hidup di alam para leluhur atau Pitriloka, dan alam cahaya atau Devaloka, dapat dihubungi oleh manusia di bumi dengan metode tertentu. Leluhur yang didewakan ini tentu lebih mudah dihubungi karena ikatannya dengan yang hidup lebih dekat. Inilah yang membentuk adanya pemujaan pitri dalam tradisi-tradisi banyak bangsa.

Sebagai contoh kami pernah membaca bahwa para dewa Tionghoa banyak merupakan para leluhur yang semasa hidupnya melakukan disiplin spiritual tertentu, melaksanakan perbuatan bajik dan kepahlawanan dalam masyarakat dan berhasil mencapai tingkatan spiritual yang spesial, sehingga sekalipun tidak hidup di bumi lagi tetapi masih terus dapat membantu manusia dalam menjalani kehidupannya. Kita bisa sisihkan keyakinan akan kemampuan mereka membantu kita, tetapi kita tidak boleh menyangkal perbuatan-perbuatan bajik mereka dan teladan yang mereka berikan dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk ini kita wajib menghormati dan memuliakan para leluhur kita. Kepercayaan tradisional yang berkembang di India, Asia Tenggara, dan Cina (juga di berbagai bagian dunia lainnya) mengusahakan agar hubungan baik dengan para pitri ini masih tetap terjaga.

Pemujaan, atau sebenarnya lebih tepat disebut penghormatan kepada para pitri juga merupakan bagian dari ajaran Hindu. Di Jawa ada dikenal prinsip “mikul dhuwur mendem jero”, memuliakan jasa-jasa para pendahulu kita dan menutup kenangan akan kesalahannya, dalam artian dijadikan sarana introspeksi diri, bukan semata menyalahkan mereka atas kelalaian yang telah dibuat atau mengumbarnya kemana-mana, namun jauh lebih penting adalah sebagai cerminan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Baik-buruk, sempurna-tidak sempurna, para pendahulu kita layak dihormati atas jasa sekecil apapun yang telah mereka berikan bagi kita. Bila mereka berada dalam tingkat rohani yang lebih mulia, maka mereka adalah teladan, pembimbing, dan pelindung yang layak kita muliakan. Apabila mereka berada di tingkat rohani dan alam kehidupan yang lebih rendah, maka sudah selayaknya kita membina rohani lebih baik lagi sembari mengingat mereka agar juga dapat memperoleh peningkatan spiritual.

Memang ikatan terhadap keluarga adalah hubungan jasmani yang sementara. Entah berapa banyak kita berganti orangtua dan lahir di berbagai garis keluarga yang berbeda. Betapa banyaknya leluhur kita, dalam artian betapa banyaknya jiva-jiva yang telah memiliki ikatan karma bersama kita selama jutaan kehidupan. Ikatan ayah-ibu-anak, hubungan keluarga tidaklah kekal, dan berakhir bersama kematian tubuh kita ini. Namun jivatma hidup selamanya dan dalam keadaan terkondisi (baddha) maka hubungan antar jiva ini akan terus berlanjut sebagai ikatan karma. Maka dari itu para jiva yang memiliki ikatan karma dengan kita ini akan memberikan pengaruhnya pada diri kita dalam kehidupan manapun.

Adi Sankaracharya

Hubungan kita dengan orangtua saat ini sekalipun bersifat fana, namun berperan besar dalam perkembangan rohani kita pula. Ketika Sripada Adi Sankaracharya menempuh sannyasa memasuki kehidupan kerahibannya dalam usia muda, ibunya yang janda merasa sangat sedih. Demi ibunya Sripada Adi Sankaracharya berjanji untuk hadir kapanpun ibunya akan meninggal dan mengurus jenazahnya sekalipun itu tak lazim bagi seorang pertapa sannyasi. Acharya Sankara kemudian mengungkapkan Sri Vishnu Bhujanga-prayata-stotra demi menyelamatkan ibunya dan membawanya ke tempat kediaman rohani Tuhan yang kekal. Sripada Madhvacharya menempuh sannyasa setelah memberkati ayah dan ibunya dengan kelahiran seorang putra lagi yang akan menggantikan dirinya mengurus mereka sampai akhir hayatnya (yang setelah itu juga menempuh hidup kerahiban menjadi Sri Vishnu Tirtha). Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva setelah menempuh sannyasa bersujud kepada Ibunda Sacidevi dengan berkata, “Ibunda, tubuh ini adalah milikmu, berilah perintah dan berkatmu kepada-Ku”. Sriman Mahaprabhu memenuhi permohonan sang ibunda untuk tinggal di Jagannath Puri, agar paling tidak dia selalu bisa mendapat kabar tentang Putranya. Bagi seorang istri, Tuhan yang pertama adalah suaminya dan bagi seorang anak, Tuhan yang pertama baginya adalah orangtua. Inilah peradaban Veda, dimana peran leluhur begitu dihargai dan dihormati. Keberadaan dan kemuliaan mereka tidak layak ditolak dengan alasan apapun juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking