Minggu, 20 September 2009

Saktya-avesha Buddha

Ada pula beberapa orang Hindu yang mengatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha Avatara. Saktya-avesha berarti seorang jiva-tattva atau makhluk hidup biasa yang diberikan kuasa khusus dan kekuatan khusus dari aspek tertentu Tuhan. Sebagai contoh adalah para Avatara seperti Narada, Mahidasa, dan Empat Kumara. Kekuatan Tuhan bekerja melalui mereka, sekalipun mereka sendiri adalah makhluk hidup biasa. Seperti dibahas pada posting-posting sebelumnya, dalam tradisi Vaishnava-vedanta kita memahami adanya tiga tattva utama, atau adanya tiga kenyataan yaitu ishvara, cit, dan acit. Cit dan acit tergantung pada ishvara, sedangkan ishvara atau Tuhan Tertinggi adalah merdeka sepenuhnya, tidak tergantung pada apapun juga (paramasvatantra). "Biasa" di sini dengan pengertian bahwa mereka bukan tergolong ishvara-vargam atau ishvara-tattva, namun adalah cit-tattva. Memang benar Buddha dianggap salah satu Saktya-avesha sesuai dengan keyakinan bahwa Tuhan Sendiri secara Pribadi tidak menjelma pada jaman Kali sebagai Avatara. Dalam Veda dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada Avatara pada Kaliyuga, sehingga dengan demikian tentu saja Buddha bukan termasuk golongan Avatara seperti Rama, Nrisimha, Vamana, dan sebagainya, tetapi termasuk golongan Saktya-avesha.

Gambar lama Dasa-avatara. Buddhadeva pada pojok kanan atas. Tidak ditampilkan seperti gambaran Buddha biasanya, namun lebih menyerupai Vishnu Sendiri. Tidak ada klaim kepemilikan terhadap Gautama Buddha oleh umat Hindu, apalagi dari golongan Vaishnava seperti sering dinyatakan oleh orang-orang.

Walau demikian, menurut berbagai catatan dalam Veda dan Purana, yang juga diperjelas oleh Sri Jiva Gosvami dalam Sri Krishna Sandarbha, Sarva-samvadini-tika, dan Vishnu-dharmottara, dikatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha yang turun pada saat jaman Kali sudah berjalan selama 2000 tahun (tatah ity ayam kaler abda-sahasra-dvitiye gate vyaktah). Itu berarti sekitar 3500-4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyamuni atau Buddha Gautama hidup 2500 tahun yang lalu. Jadi jelas bahwa Buddha yang dimaksud dalam Veda bukanlah Buddha historis, melainkan Buddha lain yang oleh Amarasingha disebut sebagai Sugata Buddha. Sugata Buddha inilah yang disebut sebagai Saktya-avesha dari Vishnu, bukan Sakyamuni Buddha. Kemudian dalam Dasa-avatara-stotra, Sri Vadiraja Tirtha menjelaskan bahwa Vishnu-avatara Buddha mengajarkan dharma Kebuddhaan di alam surga kepada para deva, sedangkan Sakyamuni, yang dikatakan sebagai putra Suddhodana mengajar di alam manusia. Buddha yang dipuja oleh umat Hindu, khususnya para Vaishnava, adalah Sugata Buddha ini atau yang oleh Sri Vadiraja disebut Paramatma Buddha. Saat ini biografi Sakyamuni atau Gautama Buddha yang tersedia adalah kitab-kitab Lalitavishtara, Jatakamala (kisah-kisah kelahiran Buddha sebelum mencapai kebuddhaan), dan Buddhacarita yang lebih baru. Di sisi lain Sugata Buddha dikisahkan dalam bentuk prediksi oleh Purana-purana Hindu, karena Purana dalam bentuk tertulis disusun oleh Vedavyasa hampir 6000 tahun yang lalu. Ribuan tahun lebih awal dari kemunculan Buddha, baik Sugata Buddha maupun Sakyamuni Buddha. Bahkan dalam Srimad Bhagavatam juga dikisahkan adanya 2 Buddha berbeda karena Purana Hindu mencatat hampir semua kejadian relijius penting di setiap kalpa yang berbeda. Bila kita bandingkan kisah kehidupan Buddha Hindu dalam Purana dengan Buddhanya umat Buddha, maka akan jelas tampak sekali perbedaannya.

Gambaran Buddha dalam masyarakat Hindu lebih menyerupai pencitraan Vishnu tradisional dengan dua dvarapalaka Vaikuntha atau para Divyasuri

Hindu dan Buddhisme, sekalipun memiliki banyak persamaan, namun juga berdiri pada dasar konsep ketuhanan yang berbeda. Umat Buddha tidak perlu merasa keberatan dengan keyakinan Hindu bahwa Buddha adalah salah satu Avatara Vishnu. Di luar ada tidaknya dampak politis dari keyakinan ini, setidaknya secara filosofis Buddha yang dimaksud oleh kedua belah pihak tidaklah sama. Umat Hindu juga tidak benar memaksakan bahwa Sakyamuni merupakan Buddha-avatara dari Vishnu. Dalam literatur Veda sendiri tidak ada bukti-bukti yang mendukung hal ini, tidak pula dalam tulisan para guru Hindu terdahulu. Tampaknya keyakinan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Avatara adalah kesalahpahaman yang terlanjur populer dan disebar luaskan oleh mereka yang berada di luar tradisi Veda otentik. Satu-satunya penjelasan adalah oleh karena kebesaran nama Buddha historis sendiri dan juga oleh pemikiran para sarjana Barat yang menganggap tidak mungkin ada catatan sejarah lebih tua lagi dari jaman Buddha historis 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak percaya bila sebelum masa itu sudah ada peradaban rohani Vaidika yang telah berkembang sangat tinggi.

Jumat, 18 September 2009

Tempat Pemujaan Buddhadeva bagi Vaishnava (Hindu)

Bila ada pertanyaan, apakah Vaishnava memuja Buddha? Maka jawabannya YA, tetapi bukan dalam Vihara Buddhis, karena ini bukan tempat sembahyang bagi para pengikut Veda. Buddhis tidak menerima Veda sebagai kebenaran, karena itu tidak sepantasnya para Vaishnava turut memuja Buddha di Vihara, di samping konsep Buddha yang dipegang oleh kedua ajaran juga berbeda. Namun bukan larangan bagi Vaishnava maupun umat Hindu yang lain untuk pergi ke Vihara dan menghormati "Buddhanya umat Buddha". Bagaimanapun juga kita memuliakan Sakyasingha Buddha atau Gautama Buddha sebagai pribadi yang terhormat. Seorang guru agung bagi banyak orang yang juga turut kita ajak bersama-sama berbagi susah dan senang bersama di dunia ini.

Pura Agung Jagannath di Puri, Orissa, India

Lalu di manakah para Vaishnava memuja Buddhadeva? Tentunya di Jagannath Puri, Orissa. Karena kita memuja Jagannath sebagai Param-brahman, dan Buddhadeva adalah salah satu wujud-Nya. Selain itu umat Hindu juga memuja Buddhadeva di Mahabodhi Vihara, di Bihar. Buddhadeva yang dipuja oleh Vaishnava merupakan salah satu wujud manifestasi Jagannath yang adalah Adi-Buddha, sumber semua potensi pencerahan, bukan Buddha Sakyasingha, Buddha historis yang merupakan manusia dan guru besar yang telah mencapai pencerahan, pendiri agama Buddha yang masih ada di jaman modern ini. Vajrasana atau Mahabodhi Vihara dinyatakan sebagai tempat pemujaan Adi-Buddha, jadi tidak mengkhusus pada peringatan pencapaian pencerahan Buddha historis saja. Lalitavistara bab 21 menyatakan bahwa Sakyasingha (Siddhartha) duduk di bawah pohon Bodhi di Vajrasana demi mencapai pencerahan sebagaimana para Buddha sebelumnya (purvabuddhasanasthah). Jadi jelas bahwa Mahabodhi Vihara tidak hanya dimaksudkan sebagai monumen peringatan pencapaian pencerahan Sakyasingha saja, melainkan semua Buddha sebelumnya. Dengan kata lain Mahabodhi merupakan tempat memuja hakikat tertinggi Kebuddhaan itu sendiri yang disebut Adi-Buddha dalam Vajrayana dan Vishnu-avatara Buddha atau Jagannath dalam Vaishnavisme. Inilah sebabnya mengapa para Vaishnava hanya bersembahyang pada Buddha di Mahabodhi Vihara saja.

Mahabodhi Vihara, Bihar

Arca Buddha dalam Mahabodhi Vihara. Satu-satunya Arca Buddha di India yang dipuja oleh umat Hindu ortodoks

Gaya-ksetra, tempat perziarahan suci dalam Veda bahkan sebelum munculnya Gautama Buddha historis

Bagaimana dengan para Vaishnava dan umat Hindu Indonesia secara umum? Apakah harus ke India dulu untuk bisa memuja Buddha? Untuk ini kita harus "melihat" sejarah. Dari sumber-sumber Buddhisme di Cina, dikatakan bahwa raja Subhakarasingha dari Odra atau Orissa berjasa dalam membawa agama Buddha ke Cina. Subhakarasingha dikatakan merintis penyebaran agama Buddha ke Cina dengan membawa Mahavairochana-sutra dan sebuah kitab ikonografi memuat berbagai mandala yang bernama Sarvatathagatha-tattvasamgraha yang secara khusus menekankan pentingnya Mahavairochana. Mahavairochana di sini juga merepresentasikan kembali konsep Adi-Buddha-Jagannath yang sudah berkembang di Orissa sebelumnya. Mandala-mandala terkenal yang berkaitan dengan ajaran ini antara lain Mahakaruna-garbhodbhava-mandala dan Vajradhatu-mandala. Ajaran-ajaran ini memang mencapai popularitasnya pada awal abad ke-8 di Orissa. Jagannath yang dipuja di Orissa sebagai Adi-Buddha sekali lagi mendapat tempat-Nya di pusat Vajradhatu-mandala sebagai Mahavairochana. Para sejarawan di Orissa meyakini bahwa ajaran ini mencapai Cina setelah melalui Sumatra dan Jawa, di Indonesia. Ajaran tentang Mahavairochana ini masih dianut di Cina dan Jepang sampai sekarang.

Ajaran ini juga berkembang dengan kuat di Indonesia di masa kejayaan Srivijaya-Sumatra dan Mataram-Jawa, bisa dilihat dari isi kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantrayana, yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh sebagian umat Buddha Indonesia. Bahkan lebih dari itu ternyata juga sampai pada jaman Majapahit yang melahirkan konsep Siva-Buddha sebagaimana ditemukan dalam kitab Sutasoma. Buddhisme Indonesia tampaknya merupakan turunan Mahayana-Vajrayana-Mantrayana. Para praktisi ajaran ini menyebut diri mereka mengikuti Dharma Kasugatan. Memang Buddha historis juga disebut dengan gelar Sugata, tetapi Amarasingha terutama menggunakan nama Sugata Buddha untuk menyebut Vishnu-avatara Buddha. Melihat pelaksanaan Dharma Kasugatan dan keyakinannya akan konsep Adi-Buddha yang theistik, maka tampaknya Buddhisme Indonesia ini bersifat Vajrayana. Theravada, yang lebih bersifat non-theistik, mazhab Buddhisme terbesar di Asia Tenggara dan Srilanka tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Buddhisme Indonesia di masa lampau, yang sekarang sisa-sisanya masih ditemukan di beberapa tempat. Kompleks Candi Borobudur merupakan pengejawantahan fisik dari ajaran ini.

Candi Buddha terbesar di dunia ini merupakan Vajradhatu-mandala tiga dimensi yang luar biasa, dengan Mahavairochana di pusatnya, yang dilambangkan dengan stupa induk Borobudur. Sedangkan Mendut merupakan mandala Buddha Mahavairochana yang juga diuraikan dalam Kamahayanikan. Mahavairochana Buddha kembali mewakili konsep Adi-Buddha dan Jagannath yang juga diyakini dan dipuja oleh Vaishnava. Di antara kedua candi ini, yang posisinya membentuk garis lurus, terdapat Candi Pawon. Pawon merupakan tempat puja Homa atau Agnihotra, sebuah ritual api suci yang nyaris hanya dilaksanakan dalam Vajrayana saja, selain dalam agama Hindu tentunya. Homa juga masih dilaksanakan oleh para pengikut Shingon Buddhisme di Jepang, salah satu cabang Tantra Buddha yang juga memuliakan Mahavairochana. Di Jepang upacara ini disebut Goma. Poros Mendut-Pawon-Borobudur dengan jelas menggambarkan konsep dan ajaran agama Buddha mana yang diterapkan di sini.
Dengan demikian kompleks Borobudur merupakan satu lagi tempat suci Buddha yang juga boleh menjadi tempat persembahyangan Vaishnava, setelah Mahabodhi Vihara di Gaya (Bihar). Sehingga secara spiritual tidak mengherankan bila Borobudur-Buddhis dibangun serangkaian dengan kompleks Candi Prambanan-Hindu (Prambanan=Param-brahman=Para-vasudeva). Borobudur dibangun berdasarkan konsep bahwa dia merepresentasikan Kebuddhaan Tertinggi dalam Vajradhatu-mandala yang berpusat pada Mahavairochana. Mahavairochana adalah Adi-Buddha yang adalah Jagannath atau Vishnu sebagai Svayam-bhagavan-para-vasudeva atau Param-brahman. Sedangkan Prambanan menghadirkan Param-brahman dalam representasi Tri Natha, Tri Deva, atau Tri Murti. Keduanya menyatakan Kebenaran Mutlak Tertinggi yang sama! Sehingga bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya para Vaishnava, di candi-candi inilah mereka dapat memuja Buddhadeva.

Sebagai kesimpulan dapatlah kita nyatakan bahwa Sakyamuni, Sakyasingha, atau Gautama yang dikenal sebagai Buddha historis bukanlah Buddha yang dipuja oleh para Vaishnava sebagai Vishnu-avatara Buddha. Sakyasingha merupakan guru agung yang telah mengalami pencerahan tidak disembah oleh para Vaishnava, bahkan kenyataannya umat Buddha pun juga tidak menyembahnya. Umat Buddha hanya menghormatinya sebagai guru pembimbing, teladan yang tiada taranya bagi mereka. Buddha yang dimaksud oleh para Vaishnava berbeda dengan yang dimuliakan oleh umat Buddha sebagai pendiri agamanya. Perbedaan ini terutama sangat jelas sehubungan dengan pandangan kalangan Theravada dari Buddhisme. Selama ini golongan Vaishnava dianggap bertanggung jawab atas masuk atau diserapnya Buddha historis sebagai salah satu Avatara serta memperoleh kehormatan dalam pantheon deva-deva Hindu. Ini tidaklah benar! Pemujaan Vaishnava kepada Buddhadeva mendahului kemunculan Sakyamuni atau Buddha historis.

catatan: Kamahayanikan memang menyatakan bahwa Mahavairochana memancar dari wajah Sakyasingha. Namun sekali lagi, ini tampaknya tidak bersesuaian dengan keyakinan Buddhis populer yang memandang Gautama Buddha hanya sebagai pribadi agung yang telah mencapai pencerahan sempurna tanpa mengidentifikasikannya dengan makhluk illahi apapun. Akan tetapi, ketika kita berjumpa dengan konsep Trikaya Buddha dalam Mahayana-Vajrayana atau Dharma Kasugatan, maka kita akan menemukan hal yang hampir sama sekali berbeda dengan pandangan Buddhis tradisionalis (Theravadin). Konsep Trikaya Buddha lebih dekat dengan pemahaman Buddhadeva dalam Vaishnavisme. Dharmakaya Buddha adalah Jagannath atau Adi-buddha yang paralel dengan Para-vasudeva dalam Vaishnava-tantra. Sambhogakaya Buddha paralel dengan Vaibhava-avatara Buddha. Nirmanakaya Buddha adalah Sugata Buddha dalam Vaishnavisme (sedangkan dalam Mahayana-Vajrayana saat ini adalah Sakyamuni Buddha). Penelitian yang dilakukan oleh Bhakti Ananda Goswamy di berbagai negara Buddhis menunjukkan adanya kesejajaran teologi antara Vaishnavisme dengan berbagai pandangan denominasi-denominasi Mahayana-Vajrayana. Penelitian beliau tentang ajaran Sukhavati (Pure Land Buddhism/Tanah Suci) memperoleh kesimpulan yang mirip dengan observasi saya pada Vajrayana Kalinga dan hasil diskusi saya bersama Prof. Fakir Mohan Das Sahityacharya dari Uttkal University, Orissa. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa Sakyamuni atau Gautama Buddha yang dikenal dalam komunitas Theravadin adalah 100% bukan Avatara Vishnu, sekalipun kesimpulan yang kurang tegas akan muncul bila kita membicarakan Buddha dalam pandangan Mahayana-Vajrayana (apakah Buddha mereka sama dengan Buddha yang dimaksud oleh pengikut Veda).

Kamis, 17 September 2009

kesalahpahaman tentang buddha-avatara (2)

Secara teologis dan ontologis, Buddha di kedua agama ini berbeda. Tetapi dari agama Buddha sendiri, kita mendapatkan sedikit informasi. Sumber-sumber dalam tradisi Vajrayana Tibet, salah satunya Taranatha, menyebutkan bahwa pada masa Buddha Sakyasingha terdapat seorang raja di daerah Oddiyana yang bernama Indrabhuti, yang kebetulan juga seusia dengan Buddha. Dalam kisah munculnya Vajrayana yang bersifat metafisik, dikatakan bahwa Indrabhuti berkeinginan mendapatkan ajaran dari Sakyasingha, yang memungkinkannya mencapai pencerahan tertinggi dalam satu tubuh, satu kehidupan, bebas dari segala kemelekatan tanpa harus meninggalkan fungsinya di kehidupan sekarang, dalam hal ini tentu adalah tugas dan kewajibannya sebagai raja. Sakyasingha lalu metransmisikan ajaran Vajrayana kepadanya, khususnya ajaran Guhyasamaja-mula-tantra. Selain itu Buddha juga mentransmisikan berbagai emenasi Anuttarayoga-tantra lainnya seperti Sri Kalachakra, Hevajra, dan Cakrasamvara. Jadilah Indrabhuti sebagai salah satu penerima awal ajaran Buddha Tantrayana atau Vajrayana. Dia mempraktikkan ajaran ini, mengembangkan, dan menyebarluaskannya di seluruh wilayah Oddiyana.

Taranatha
Tersebut dalam legenda-sejarah Blue Annals, bahwa Munindra sendiri (Buddha Sakyasingha) mengajarkan Guhyasamaja kepada Indrabhuti dari Oddiyana. Seorang yogini dari alam Naga menerimanya dari Indrabhuti, lalu mengajarkannya kepada raja Visukalpa dari India Selatan. Mahasiddha Saraha mempelajarinya dari raja ini untuk kemudian diturunkan kepada Acharya Nagarjuna, tokoh Buddhisme Mahayana terbesar setelah masa Sakyasingha. Jadi bisa disimpulkan bahwa Oddiyana, yang banyak disebut-sebut dalam berbagai literatur Tantra, terutama yang masih dilestarikan di Tibet, merupakan pusat Vajrayana, bahkan kemungkinan besar merupakan tempat awal munculnya Vajrayana. Kerajaan kuno Oddiyana diperkirakan oleh beberapa orang sebagai suatu daerah di India bagian barat, kemungkinan di lembah Swat.

Indrabhuti

Mahasiddha Saraha

Acharya Nagarjuna

Namun penelitian para ahli sejarah India mendapatkan bahwa Oddiyana lebih tepat berada di negara bagian Orissa modern, di pesisir Timur India. Bukti-bukti kuat menunjukkan bahwa Orissa merupakan pusat Tantrayana yang besar selama berabad-abad, tidak seperti daerah Swat. Magnum-opus dari almarhum Prof. N.K. Sahu, “Buddhism in Orissa”, membuktikan semua ini dengan sumber-sumber tekstual maupun penemuan-penemuan arkeologis. Satu lagi didapatkan catatan mengenai Indrabhuti sebagai raja Sambhala, yang diperkirakan pula oleh para sejarawan sebagai pengajar utama Vajrayana secara historis. Vajrayana dari Indrabhuti ini menyebar ke Pascima Lanka yang diperintah oleh Jalendra, yang putranya menikah dengan saudari Indrabhuti yang bernama Laksmikara.

Laksminkara

Para sejarawan berpendapat bahwa Indrabhuti merupakan penggagas Vajrayana dan Laksmikara merupakan pengagas Sahajayana atau Dakini-tantra. Sambhala dan Lankapuri, di luar kemungkinan bahwa keduanya merupakan tempat di dimensi spiritual, diperkirakan sebagai Sambalpur dan Sonepur di Orissa modern. Konsep Adi-Buddha sendiri, sebagai total potensi pencerahan semua Buddha, sumber semua manifestasi Buddha dan Bodhisattva, khususnya dikenal dalam Vajrayana. Pada masa ketika Orissa menjadi pusat perkembangan agama Buddha Mahayana-Vajrayana, maka keyakinan ini berakar kuat dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu agama negara. Vajrayana, Tantrayana, atau Mantrayana dari Indrabhuti, meyakini bahwa pencerahan tertinggi Kebuddhaan dapat dicapai melalui pelaksanaan pelafalan mantra (japa) dan puja, dalam hidup ini juga. Terlepas dari kenyataan apakah Sakyasingha memang mengajarkan metode ini atau tidak, maka apabila kita secara ketat berpegang pada ajaran Buddha historis, adalah mustahil dapat memperoleh pencerahan dengan menggantungkan diri pada sarana-sarana seperti puja, penyembahan, dan sebagainya. Buddha historis mengatakan bahwa sepeninggal dirinya, para pengikutnya haruslah menjadi perahu untuk menyeberangkan diri mereka sendiri. Dia tidak dapat membantu mereka lagi. Lalu Buddha yang bagaimana yang dipuja dan dilafalkan mantranya oleh Indrabhuti? Sesuatu yang sangat menarik ditemukan dalam Jnanasiddhi karya Indrabhuti, yang menunjukkan keterkaitan antara Mahayana-Vajrayana dengan Vaishnavisme. Dinyatakan, “pranipatya jagannatham sarvajina-vararcitam sarva-buddha-mayam siddhi vyapinam gaganopamam, Persembahkan diri kepada Jagannath, yang disembah oleh mereka yang terbaik di antara pribadi-pribadi yang telah mengalahkan (insan-insan yang telah tercerahkan), yang adalah hakikat kesempurnaan semua Buddha, meresapi segala-galanya bagaikan angkasa yang tak terbatas.” (Jnanasiddhi 1.1). Sloka ini menyatakan pujian kepada Adi-Buddha. Identifikasi Adi-Buddha dengan Jagannath menjadi semakin bermakna apabila kita memperhatikan kenyataan bahwa keyakinan Vajrayana ini berkembang di Orissa, yang memiliki Jagannath sebagai Pujaan Utama, jauh sebelum agama Buddha mulai tersebar luas. Sri Jagannath yang dipuja oleh seluruh rakyat Orissa sampai saat ini di Pura Agung-Nya di Puri adalah personifikasi Adi-Buddha dalam Vajrayana. Sedangkan para Vaishnava memuja Jagannath ini sebagai Vishnu, Kebenaran Mutlak Tertinggi yang meresapi segalanya. Vishnu juga diuraikan dengan perumpamaan gaganam (angkasa/langit) seperti Jagannath-Buddha dalam Jnanasiddhi Indrabhuti. Vishnu dinyatakan sebagai gaganasaddrusham, hakikat ketidakterbatasan yang diumpamakan angkasa. Indrabhuti tidak mengidentikkan Buddhanya dengan Sakyasingha, Buddha historis, melainkan dengan suatu Buddha yang bersifat adi duniawi, yaitu Jagannath Buddha. Jagannath yang sampai sekarang dipuja di Orissa adalah Buddhadeva dalam Vaishnavisme yang tidak berbeda dari Vishnu! Kami tidak mengatakan bahwa umat Hindu, khususnya Vaishnava, mengubah Adi-Buddha menjadi Vishnu atau sebaliknya. Tetapi kita bisa melihat bahwa keyakinan dan cara pandang Buddhisme Vajrayana terhadap Adi-Buddha dan Vaishnava terhadap Vishnu memiliki keparalelan. Kesejajaran ini terutama mencapai keharmonisannya dalam pemujaan Jagannath di Orissa. Sri Jagannath kemudian hadir sebagai Adi-Buddha bagi umat Buddha dan sebagai Mahavishnu atau Krishna bagi Vaishnava.

Jagannath-Buddha. Perhatikan gambar sepuluh Avatar dalam lingkaran. Bawah, no. 2 dari kiri adalah Buddhadeva (sebelum Kalkideva). Rupa Buddhadeva identik dengan Jagannath berwarna hitam atau biru gelap. Bandingkan dengan gambar Adi-Buddha Samantabhadra di bawah ini.


Informasi lain juga bisa kita temukan dari Amarakosha. Amarasingha yang menyusun kamus Amarakosha membedakan antara Vishnu-avatara Buddha yang dinamainya Sugata Buddha dengan Buddha historis yang disebut sebagai Sakyamuni atau Sakyasingha. Lankavatara-sutra juga menyatakan seorang Buddha yang berbeda dan mendahului Sakyamuni. Lebih tegasnya kitab-kitab suci Hindu-Vaishnava yang menyebutkan tentang Buddha seperti Nrisingha-purana, Vishnu-purana, Agni Purana, Vayu-purana, Skanda-purana dan sebuah naskah yang bernama Nirnaya-sindhu memuat catatan astronomis yang menyatakan saat kemunculan Buddha-avatara dari Vishnu di dunia. Berdasarkan perhitungan astronomis tersebut dapat disimpulkan bahwa Buddha yang dipuja oleh Vaishnava hidup pada 4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyasingha hidup 2500 tahun yang lalu.


Bandingkan juga penggambaran Adi-Buddha di stupa Bouddhanath (gambaran mata yang menonjol) dan Jagannath di Puri-Orissa ini

Dengan adanya catatan ini, sebagian sarjana Vaishnava berpendapat bahwa Buddha-avatara juga mewujud secara fisik di dunia pada masa yang mendahului Sakyasingha. Dia mengajarkan Dharma yang kemudian kembali diajarkan oleh Sakyasingha, setelah dia menemukannya dalam pengalaman pencerahan di Vajrasana, Gaya. Ada pula yang berpendapat bahwa potensi Buddhadeva mewujudkan diri dalam Sakyasingha. Jadi Sakyasingha hanyalah manusia biasa yang mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga dia dapat menjadi wadah yang tepat bagi potensi itu. Ini tentu merupakan sudut pandang Vaishnava yang tidak berhubungan dengan doktrin Buddhis manapun. Hanya saja menegaskan sekali lagi bahwa Buddhanya Vaishnava dengan Guru Agung Sakyasingha adalah berbeda. Hal ini juga bukan sesuatu yang istimewa dalam sejarah Veda. Keadaan serupa juga terdapat pada kasus Kapila-avatara. Memang ada dua Kapila. Satu Kapila merupakan Kapila-avatara, inkarnasi Vishnu, yang mengajarkan ajaran Sankhya theistik dalam Kapila-gita. Sedangkan satu Kapila lain adalah seorang filsuf yang mengajarkan Sankhya atheistik. Kapila-avatara hidup pada masa yang mendahului Kapila sang filsuf. Kita juga mengenal dua Risabhadeva. Satu adalah Vishnu-avatara, sedangkan yang satunya lagi adalah seorang Arhat dalam agama Jain.


Sarva-avatari Svayam Bhagavan
SRI JAGANNATHDEVA

Selasa, 15 September 2009

kesalahpahaman tentang buddha-avatara (1)


Buddha (bukan Budha) sangat dihormati dalam masyarakat Hindu. Ini merupakan nama dari salah satu Avatara dari Bhagavan Sri Vishnu, sehingga Buddha dikatakan dipuja oleh umat Hindu, terutama dari golongan Vaishnava, sebagai Vishnu-avatara atau Inkarnasi Vishnu. Pendapat atau keyakinan ini memang ditentang oleh umat Buddha, terutama dari kalangan Theravada. Dalam agama Buddha, Sakyamuni atau Gautama, yang kita kenal sebagai Buddha historis adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha seperti Buddha-Buddha lain yang telah mendahuluinya pada jaman yang telah lampau. Buddha bukanlah penjelmaan siapa-siapa. Tetapi pertanyaannya adalah apakah Buddha Sakyamuni (atau Sakyasingha) adalah Buddha yang sama, yang dibicarakan oleh kedua kelompok, umat Buddha dan Hindu Vaishnava?

Sepengetahuan kita, Vaishnavisme banyak tidak sependapat dengan ajaran Buddhisme sebagaimana dibawakan oleh Sakyasingha, lalu apa logikanya mereka bisa memuja pendiri agama lain sebagai penjelmaan dari Pujaan Tertinggi dalam keyakinan mereka? Belum lagi tidak ada satu Vaishnava pun secara tradisi yang bersedia melakukan pemujaan di tempat-tempat suci Buddhis. Perkecualian hanya di Vajrasana atau Maha-bodhi Vihara di Gaya (Bihar)! Sekalipun sering dikatakan bahwa golongan Hindu Vaishnavalah yang mengangkat Buddha masuk ke dalam pantheon para deva Hindu demi membangkitkan kembali pengaruh agama Veda yang mengalami kemunduran selama berabad-abad oleh perkembangan pesat agama Buddha, tetapi sesungguhnya ini tidak benar. Pada praktiknya, tidak ada Vaishnava yang bersembahyang di Vihara Buddha, kecuali pada tempat yang kita sebut sebelumnya. Kita harus memperhatikan benar kenyataan ini.

Sebelumnya kita harus benar-benar paham apa yang dimaksud sebagai Buddha dan Vishnu dalam Vaishnavisme atau Hindu secara umum. Konsep Vishnu dalam agama Hindu, khususnya Vaishnavisme, tampaknya tidak dikenal dengan baik oleh umat Buddha. Mereka menyangka Vishnu adalah semata nama dari seorang deva, makhluk surgawi yang bercahaya, suatu sesembahan yang bersifat pribadi fana. Sehingga tidak mungkin bagi umat Buddha untuk menerima bahwa Sakyasingha Buddha merupakan penjelmaan atau titisan deva ini. Tetapi Vishnu dalam Vaishnavisme bukanlah seperti itu. Vishnu bukanlah nama seorang deva, tetapi menunjukkan Kebenaran Mutlak Tertinggi yang dalam Vedanta disebut sebagai Param-brahman. Param-brahman ini merupakan Prinsip Utama yang diinsafi oleh para pengikut Vedanta dalam tiga aspek yaitu transendental personal, transendental imanens, dan transen-dental impersonal. Kemudian dalam Pancaratra-agama yang menjadi dasar dari Vaishnava-tantra dijelaskan bahwa Vishnu ini hadir dalam lima ekspresi yaitu Para, Vyuha, Vaibhava, Antaryami, dan Archa.

Para
adalah aspek yang tiada terkatakan, tiada bandingannya, prinsip tertinggi yang tak terungkapkan. Vyuha merupakan aspek emenasi dari Para, yang termanifestasi sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu dalam ketidakterbatasan Para. Vaibhava merupakan Inkarnasi, yang menampilkan berbagai karakteristik tertentu dari Tuhan dalam wujud tertentu. Suatu ketika, atas kehendak-Nya Sendiri, wujud atau bentuk itu dapat memanifestasikan Diri di alam fisik yang dapat dipersepsi oleh makhluk-makhluk terikat. Antaryami adalah aspek yang meresapi segala-galanya dan berada di mana-mana. Archa merupakan Inkarnasi dalam bentuk Ikon Suci. Archa merupakan khas dari ajaran Pancaratra-agama atau Vaishnava-tantra, yaitu ketika yang tak terbatas mewujudkan Diri-Nya dalam fenomena alam yang terbatas atas permohonan praktisi spiritual yang memuja-Nya. Konsep seperti ini asing dalam pemahaman Buddhisme, terutama Theravada yang dikatakan berdasarkan ajaran-ajaran asli Buddha historis, Sakyasingha, sebagaimana adanya. Sedangkan dalam Vaishnavisme, Buddhadeva adalah salah satu perwujudan Vaibhava dari Param-brahman.

Sabtu, 12 September 2009

Pemujaan Leluhur (3)

Bentuk ritual paling umum dan sederhana dalam Veda berkaitan dengan leluhur adalah Tarpana. Tarpana berarti memuaskan, memberikan kelegaan, atau memberikan kesenangan. Seseorang hendaknya menyadari bahwa dirinya memiliki utang pada para deva, rishi, dan juga pitri (leluhur). Melalui ritual Tarpanam ini seorang manusia mengingatkan dirinya akan keadaan bahwa tanpa menerima bantuan dari semua ini, maka dia tak akan dapat hidup. Kita bisa hidup seperti ini adalah atas karunia Tuhan melalui para deva, rishi, dan pitri. Melalui Tarpanam seorang manusia berusaha membalas kebaikan semuanya, terutama para leluhur.

Sebagaimana para devata dimohonkan kehadirannya dalam api Homam, maka para pitri khususnya dimohon kehadirannya di dalam air. Mereka diwujudkan dalam air, lalu ditempatkan di atas telapak tangan untuk kemudian dicurahkan dengan cara-cara tertentu. Secara mental kita mengingat kebajikan dan kasih sayang yang telah mereka berikan kepada kita. Kita mempersembahkan air yang merupakan perlambang kesejukan dengan biji-biji wijen hitam yang melambangkan pengharapan dan doa. Tilodaka (air bercampur wijen) ini juga adalah bermakna kita melimpahkan sebagian buah dari karma baik dan pencapaian spiritual kita untuk membantu semua orang yang telah berhubungan karma dengan diri kita selama berbagai kehidupan. Lalu dengan pemahaman bahwa para pitri juga hadir dalam tilodaka itu sendiri, kita mencurahkannya, dan dengan demikian mendoakan agar semua pitri memperoleh pembebasannya.

Kita berutang budi sangat besar pada orangtua dan leluhur kita. Secara genetik, kita mewarisi semua karakteristik leluhur dalam kehidupan kita sekarang. Sedangkan secara spiritual, kita menerima keterlibatan karma yang berasal dari begitu banyak kehidupan. Bayangkan sudah berapa kali kita mengalami siklus kelahiran dan kematian. Dalam setiap kehidupan ada orangtua dan leluhur, juga banyak pihak yang memberikan kebaikan pada diri kita. Semua ini menimbulkan utang yang disebut Rna (dibaca runa atau rina). Melalui pelaksanaan Tarpanam ini kita berterimakasih dan berusaha membalas semua budi baik mereka. Kita memiliki sedemikian banyak utang, apabila itu kita lupakan begitu saja, maka efek negatif dari keterikatan karma ini akan datang kepada kita secara individu, mempengaruhi kehidupan keluarga, dan akhirnya masyarakat secara keseluruhan. Halangan keterkaitan karma inilah yang menghambat kesuksesan duniawi dan juga kemajuan rohani kita.

Persembahan Tarpanam secara spiritual diperuntukkan bukan saja kepada leluhur kita pada kehidupan ini seperti anggapan sebagian orang, tetapi kepada semua jiva yang telah berperan sebagai orangtua dan leluhur kita dalam berbagai kehidupan. Apabila diperluas, maknanya adalah memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk di alam semesta ini tanpa terkecuali. Sehingga melalui upacara ini kita tidak saja mendoakan agar para leluhur mendapatkan kebahagiaan, tetapi juga semua makhluk. Dalam segala hal, sikap mental yang positif seperti ini pada akhirnya akan menyebar ke seluruh dunia. Oleh karena itu sungguh tidak bijak bila kita meninggalkan begitu saja ajaran Veda yang sedemikian luhur ini.

Semua orang seharusnya memahami bahwa aturan dan ritual Veda, Vaidika-vidhi, tidaklah boleh diabaikan mengingat manfaatnya yang begitu besar. Apalagi persembahan Tarpanam yang bersifat rutin tidaklah sulit dilakukan dan tidak membutuhkan banyak biaya. Sekarang yang perlu adalah membangun kembali semangat untuk melaksanakannya dengan pemahaman dan sikap mental yang benar. Vaidika-vidhi sebenarnya harus dilaksanakan oleh semua orang, tentu saja terutama oleh umat Hindu, apabila mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia. Seringkali orang berpikir bahwa Tarpanam adalah semata salah satu bentuk pemujaan leluhur purba yang dapat ditinggalkan saat seseorang bersembahyang langsung kepada Tuhan. Ini biasa terjadi pada mereka yang meninggalkan kepercayaan asli suku atau daerahnya, untuk kemudian menganut agama-agama monotheistik Abrahamik. Tetapi dari makna sebenarnya yang diuraikan dalam sastra-sastra suci Veda hal ini tidaklah benar.

Pada mantra yang diucapkan pada akhir upacara Tarpanam disebutkan anena yathasaktikritena devarsipitri tarpanakhyena karmana bhagavan pitrisvarupi janardana vasudevah priyatam na mama, “Kami telah melaksanakan persembahan Tarpanam semampu kami kepada para deva, rishi, dan pitri, bukanlah demi diri kami sendiri, namun diperuntukkan semata bagi kepuasan Tuhan Yang Maha Esa, Leluhur yang sesungguhnya, Janardana Vasudeva.” Sebagai contoh dalam denominasi Hindu sendiri, pada umumnya mereka yang telah menerima penahbisan panca-samskara dalam tradisi Vaishnava untuk memuja Sri Salagrama-sila (Citra Suci Vishnu) menurut aturan Agamika-sastra tidak berkewajiban lagi melaksanakan Vaidika-vidhi yang biasa. Namun bagi mereka pun persembahan Tarpanam tetap dilaksanakan dengan menggunakan air vishnu-padodaka serta daun-daun tulasi di dalamnya, yang diperoleh dari memandikan Sri Salagrama. Para pengikut Veda yang melaksanakan sadhana dalam jalan Bhagavata yang bersifat Ekanta (monotheistik eksklusif) meyakini bahwa jalan menuju kesempurnaan tertinggi dicapai dengan memasuki Prapatthi-marga atau Saranagati (penyerahan diri hanya kepada Tuhan). Namun mereka tetap melaksanakan persembahan Tarpanam dan juga Pinda kepada para deva, rishi, dan khususnya leluhur. Ini karena mereka tidak mengabaikan peran para jiva yang berkaitan karma dengan mereka, dalam berbagai kehidupan sampai pada akhirnya mereka dapat memasuki jalan Prapatthi. Setidaknya secara mental mereka mengingat jasa-jasa para deva, rishi, dan pitri sambil melaksanakan pemujaan secara eksklusif pada Tuhan Pujaannya. Intinya, apabila leluhur dari seorang biasa saja adalah layak dimuliakan, maka terlebih lagi mereka yang telah menerima panca-samskara. Bagi seorang Vaishnava, memasuki Prapatthi-marga dengan menerima panca-samskara adalah anugerah yang terbaik dalam kehidupan. Justru dengan demikian mereka lebih diingatkan lagi betapa besar jasa orangtua, leluhur, dan lingkungan kepada dirinya, sehingga mereka bisa hidup dengan baik dan mendapat kesempatan yang istimewa ini. Inilah perbedaan antara Hindu dengan agama-agama monotheistik lainnya.

Kita sangatlah bersyukur bahwa dalam Hindu ditemukan upacara ritual dengan konsep yang sedemikian istimewa. Menjadi seorang Hindu diharapkan tidak saja mengejar kebahagiaan pribadinya saja, tetapi juga tidak melupakan sekecil apapun jasa makhluk lain terhadap dirinya. Seorang Hindu juga dengan perasaan berterimakasih yang besar juga harus mengusahakan kebahagiaan semua makhluk. Sembari maju dalam kerohanian, membangun relasi kita yang paling pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, kita juga tidak menutup mata terhadap lingkungan di sekitar kita. Seorang Hindu diajarkan untuk tidak membawa kerusakan atau memberi penderitaan apapun kepada yang lain, sekalipun itu untuk alasan yang bersifat relijius. Kita tidak ingin berbahagia sendirian, apalagi dengan membuat orang lain berduka. Sikap untuk selalu berterimakasih, selalu memberi dan berbagi, adalah sikap mental yang dikembangkan melalui pelaksanaan persembahan Tarpanam. Secara spiritual, upacara ini juga membantu kita memurnikan karma, menyingkirkan segala halangan duniawi maupun rohani, membuka jalan menuju kesempurnaan tertinggi.

Pemujaan Leluhur (2)


Kitab Satapatha-brahmana membicarakan mengenai lima utang yang ditanggung oleh manusia yang hidup di bumi ini. Seseorang berutang kepada Tuhan dan deva, kepada para rishi, leluhur, sesama manusia yang hidup, dan makhluk-makhluk yang lebih rendah dari manusia. Manusia menjadi berutang karena untuk hidup dia membutuhkan bantuan dari semua ini. Menurut Veda utang-utang tersebut dapat dibayar melalui yajna (korban suci). Yajna dan puja menyeimbangkan kondisi manusia, sehingga manusia tidak semata-mata bisa menikmati saja tanpa memberikan tanda terimakasih apapun sebagai balasan kepada semuanya. Penghormatan dan persembahan kepada para pitri dan pelayanan kepada orang-tua serta leluhur adalah salah satu usaha untuk membalas jasa ini. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi dalam Hindu dan juga dalam kepercayaan tradisional banyak bangsa. Bukan tidak mungkin ajaran Satapatha-brahmana, lebih dari 5000 tahun yang lalu telah diajarkan di dunia dan menyatu dengan jiwa bangsa-bangsa sampai hari ini. Perhatikanlah bagaimana banyak keyakinan suku tradisional yang berpusat pada leluhur.

Efek psikologis puja dan persembahan adalah berkembangnya eksistensi seorang individu. Dia menyelaraskan eksistensinya sendiri dengan keberadaan alam semesta beserta segala isinya. Dengan puja kepada para pitri, dimulai dengan leluhurnya sendiri, seseorang membangun relasinya dengan para leluhur seluruh makhluk hidup. Seorang anak manusia tidak lagi hidup sendirian di dunia ini. Arti dari mantra persembahan tarpana kepada pitri dalam Satapatha-brahmana memberikan gambaran tersebut. “a-brahma stamba-paryantam devarsi pitr-manavah trpayantu pitarah sarve matr-mata-mahadayah atita-kula-kotinam sapta-dvipa-nivasinam a-brahma bhuvanal loka-adidam astu tilodakam, Dari titik yang tertinggi sampai yang terendah, sejauh batas alam semesta, semoga para rishi yang suci dan para bapa leluhur, semua leluhur yang telah meninggal, baik dari pihak ibu maupun ayah, menerima persembahan ini. Semoga persembahan yang sederhana ini, berupa air yang menyejukkan dan biji-biji wijen memberikan manfaat bagi seluruh dunia, dari surga tertinggi sampai ke bumi, menyejahterakan para penduduk ketujuh benua yang tergabung dalam keluarga-keluarga yang banyaknya tak terbatas, dari masa lalu.” Ritual pitri-yajna atau pitri-puja dengan demikian merupakan suatu usaha untuk secara psikologis mengharmoniskan seorang manusia dengan dunia yang lebih luas di luar dirinya.

Pada pelaksanaan upacara persembahan pinda dalam Veda digunakan sejenis kue dari tepung beras atau makanan lainnya. Pinda merupakan persembahan yang biasanya menjadi bagian dari upacara kematian. Menurut Veda kue ini bukanlah sekedar makanan saja. Kue-kue ini merepresentasikan para pitri itu sendiri dan pada akhirnya seluruh eksistensi alam semesta. Kue pertama dipersembahkan kepada ayah, karena ayah dipandang sebagai citra dari bumi (bhur), seperti api yang menikmati bumi, roh ayah menerima persembahan kue pertama. Kue kedua adalah untuk kakek yang dipandang sebagai representasi langit (bhuvah). Sebagaimana angin menikmati langit maka roh kakek menikmati kue kedua. Kue ketiga dipersembahkan untuk kakek buyut yang merepresentasikan surga (svah). Sebagaimana matahari menikmati surga, maka roh kakek buyut menerima kue ketiga. Bumi dan langit menyatakan eksistensi seluruh alam semesta dan surga menyatakan keberadaan Tuhan. Lampu (dipa) yang dinyalakan mewakili api, asap dupa mewakili angin, dan matahari atau vedi (altar) menjadi representasi Tuhan. Ketiganya, bumi, langit, dan surga menyatakan kelengkapan seluruh alam semesta. Sehingga dengan demikian sekali lagi dijelaskan dalam kitab-kitab Brahmana bahwa pitri-puja hendaknya dimaknai sebagai pengembangan secara psikologis individualitas manusia ke dalam eksistensi semesta untuk membangun hubungan yang selaras dengan alam semesta. Mempersembahkan pinda kepada para pitri bagaikan memberi “makanan” kepada seluruh ciptaan kosmis.

Puja kepada para leluhur merupakan salah satu jalan yang diberikan dalam Veda untuk dapat meraih kebahagiaan hidup di dunia. Pada awalnya para pitri diberi persembahan hanyalah sebagai wujud penghormatan oleh keturunannya. Tetapi dalam kehidupan duniawi, manusia juga mengalami banyak masalah yang perlu diatasi secara cepat. Masalah-masalah ini terkadang sulit diatasi seorang diri. Di sinilah, dalam batas-batas tertentu, para pitri dapat diharapkan bantuannya. Kedekatan mereka dengan keturunannya dan kecenderungan mereka untuk menjaga kesejahteraannya membuat para pitri lebih mudah dihubungi oleh manusia. Purana menyatakan bahwa di alam Pitriloka, para pitri dipimpin oleh Aryama, senantiasa melaksanakan puja kepada Tuhan demi kesejahteraan garis keturunannya. Ketika keturunannya mengingat para pitri yang berhubungan dengan mereka ini, maka kekuatan puja mereka juga akan membantu doa yang dipanjatkan oleh keturunannya di bumi. Dengan cara seperti inilah para leluhur tetap melindungi kita. Lebih jauh lagi, Veda bukan saja memberikan jalan untuk berhubungan dengan para pitri ini. Veda juga mengajarkan caranya agar kita membantu anggota keluarga yang telah meninggal untuk dapat memperoleh kedudukan yang layak di Pitriloka. Sekalipun tujuan semua jivatma adalah untuk kembali kepada Paramatma, namun tidak semuanya dapat melakukannya dalam satu kehidupan. Bagaimana nasib atma-atma anggota keluarga yang meninggal tanpa mencapai kesempurnaan tertinggi? Inilah yang menjadi inti dari Pitra-yajna, dimana keturunan atau keluarga yang masih hidup berusaha membantunya mendapatkan tubuh pitri. Sehingga dia dapat memperoleh kedudukannya yang layak setelah meninggal.

Keyakinan pada leluhur bagi para penganut Veda bukanlah sesuatu yang bersifat primitif atau menduakan Tuhan. Cinta dan keterikatan pada leluhur khususnya orangtua adalah kenyataan yang tak dapat dibantah dalam masyarakat manusia. Dapatkah anda menyangkal bahwa (sewajarnya) sosok yang pertama kali anda cintai dan sayangi adalah ibu dan ayah? Veda mengembangkan cinta ini, memperluas jangkauannya ke seluruh alam semesta, dan pada akhirnya kepada Tuhan. Siapakah leluhur tertinggi di alam semesta ini, bukankah itu Tuhan? Cinta kepada orangtua, kepada keluarga, kepada leluhur tidak harus dibuang kemudian dipaksa untuk mencintai Tuhan yang tak dikenal. Cinta ini harus disalurkan dan ditingkatkan sampai mencapai tujuannya yang tertinggi dan kekal. Inilah cara Veda membangun peradaban rohani. Veda membangun dengan menyempurnakan bangunan yang telah ada, bukan dengan merobohkannya secara membabi buta.

Jumat, 11 September 2009

Pemujaan Leluhur (1)


Tahun ini Mahalaya Pithru-paksha jatuh pada tanggal 5-9-2009 pukul 00.04 WITA sampai tanggal 19-9-2009 pukul 02.44 WITA. Waktu ini adalah yang sangat bertuah untuk melaksanakan Pithru-puja atau pemujaan kepada leluhur dengan melaksanakan Sharddha maupun persembahan Tarpanam. Pemujaan leluhur ini topik yang juga menarik dan penting diketahui. Agama Hindu dan kepercayaan tradisional banyak bangsa seperti dalam Taoisme yang berkembang di Tiongkok, sama-sama meyakini adanya alam-alam kehidupan dan berbagai kelompok makhluk-makhluk hidup yang tersebar di seluruh alam semesta ini. Beberapa tinggal di alam yang secara spiritual berada di atas bumi ini dan beberapa tinggal di bawah bumi. Makhluk-makhluk ini ada yang tergolong mampu memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi manusia, ada pula yang dapat mengganggu kehidupan manusia. Beberapa ritual dan ajaran dalam Veda yang diterapkan oleh masyarakat Hindu dan juga oleh mereka yang dikatakan mengikuti kepercayaan nenek moyang atau keyakinan suku, memungkinkan manusia berhubungan dengan makhluk-makhluk dari alam kehidupan yang berbeda. Semuanya adalah untuk mengusahakan keselarasan semesta yang pada akhirnya juga dapat memberikan kesejahteraan bagi manusia.

Salah satu golongan makhluk hidup yang dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia adalah para pitri, yaitu termasuk di dalamnya adalah para leluhur kuno umat manusia sampai anggota keluarga kita yang telah meninggal. Di antara para pitri ini juga tidaklah sama. Ada berbagai tingkatan dengan kemampuan spiritual yang berbeda, asal yang berbeda, dan masing-masing juga memiliki kedekatan yang berbeda dengan manusia yang hidup di bumi. Para pitri paling tidak adalah mereka yang memiliki hubungan karma dengan kita selama berbagai kehidupan.

Dalam tradisi Hindu dikenal beberapa kelompok pitri seperti Agnisvatta (pitri dari para deva), Barhisad (pitri dari para asura), Vairaja (pitri dari para pertapa), Somapa (pitri dari para brahmana), Havismat (pitri dari ksatriya), Ajyapa (pitri dari vaisya), Sukalin (pitri dari sudra), Vyama (pitri dari luar empat varna), dan sebagainya. Para pitri ini mencapai kedudukannya bukan saja berdasarkan garis keluarga saat dia masih hidup sebagai manusia, tetapi juga disiplin rohani dan dharma yang dilaksanakannya. Mereka yang hidup di alam para leluhur atau Pitriloka, dan alam cahaya atau Devaloka, dapat dihubungi oleh manusia di bumi dengan metode tertentu. Leluhur yang didewakan ini tentu lebih mudah dihubungi karena ikatannya dengan yang hidup lebih dekat. Inilah yang membentuk adanya pemujaan pitri dalam tradisi-tradisi banyak bangsa.

Sebagai contoh kami pernah membaca bahwa para dewa Tionghoa banyak merupakan para leluhur yang semasa hidupnya melakukan disiplin spiritual tertentu, melaksanakan perbuatan bajik dan kepahlawanan dalam masyarakat dan berhasil mencapai tingkatan spiritual yang spesial, sehingga sekalipun tidak hidup di bumi lagi tetapi masih terus dapat membantu manusia dalam menjalani kehidupannya. Kita bisa sisihkan keyakinan akan kemampuan mereka membantu kita, tetapi kita tidak boleh menyangkal perbuatan-perbuatan bajik mereka dan teladan yang mereka berikan dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk ini kita wajib menghormati dan memuliakan para leluhur kita. Kepercayaan tradisional yang berkembang di India, Asia Tenggara, dan Cina (juga di berbagai bagian dunia lainnya) mengusahakan agar hubungan baik dengan para pitri ini masih tetap terjaga.

Pemujaan, atau sebenarnya lebih tepat disebut penghormatan kepada para pitri juga merupakan bagian dari ajaran Hindu. Di Jawa ada dikenal prinsip “mikul dhuwur mendem jero”, memuliakan jasa-jasa para pendahulu kita dan menutup kenangan akan kesalahannya, dalam artian dijadikan sarana introspeksi diri, bukan semata menyalahkan mereka atas kelalaian yang telah dibuat atau mengumbarnya kemana-mana, namun jauh lebih penting adalah sebagai cerminan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Baik-buruk, sempurna-tidak sempurna, para pendahulu kita layak dihormati atas jasa sekecil apapun yang telah mereka berikan bagi kita. Bila mereka berada dalam tingkat rohani yang lebih mulia, maka mereka adalah teladan, pembimbing, dan pelindung yang layak kita muliakan. Apabila mereka berada di tingkat rohani dan alam kehidupan yang lebih rendah, maka sudah selayaknya kita membina rohani lebih baik lagi sembari mengingat mereka agar juga dapat memperoleh peningkatan spiritual.

Memang ikatan terhadap keluarga adalah hubungan jasmani yang sementara. Entah berapa banyak kita berganti orangtua dan lahir di berbagai garis keluarga yang berbeda. Betapa banyaknya leluhur kita, dalam artian betapa banyaknya jiva-jiva yang telah memiliki ikatan karma bersama kita selama jutaan kehidupan. Ikatan ayah-ibu-anak, hubungan keluarga tidaklah kekal, dan berakhir bersama kematian tubuh kita ini. Namun jivatma hidup selamanya dan dalam keadaan terkondisi (baddha) maka hubungan antar jiva ini akan terus berlanjut sebagai ikatan karma. Maka dari itu para jiva yang memiliki ikatan karma dengan kita ini akan memberikan pengaruhnya pada diri kita dalam kehidupan manapun.

Adi Sankaracharya

Hubungan kita dengan orangtua saat ini sekalipun bersifat fana, namun berperan besar dalam perkembangan rohani kita pula. Ketika Sripada Adi Sankaracharya menempuh sannyasa memasuki kehidupan kerahibannya dalam usia muda, ibunya yang janda merasa sangat sedih. Demi ibunya Sripada Adi Sankaracharya berjanji untuk hadir kapanpun ibunya akan meninggal dan mengurus jenazahnya sekalipun itu tak lazim bagi seorang pertapa sannyasi. Acharya Sankara kemudian mengungkapkan Sri Vishnu Bhujanga-prayata-stotra demi menyelamatkan ibunya dan membawanya ke tempat kediaman rohani Tuhan yang kekal. Sripada Madhvacharya menempuh sannyasa setelah memberkati ayah dan ibunya dengan kelahiran seorang putra lagi yang akan menggantikan dirinya mengurus mereka sampai akhir hayatnya (yang setelah itu juga menempuh hidup kerahiban menjadi Sri Vishnu Tirtha). Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva setelah menempuh sannyasa bersujud kepada Ibunda Sacidevi dengan berkata, “Ibunda, tubuh ini adalah milikmu, berilah perintah dan berkatmu kepada-Ku”. Sriman Mahaprabhu memenuhi permohonan sang ibunda untuk tinggal di Jagannath Puri, agar paling tidak dia selalu bisa mendapat kabar tentang Putranya. Bagi seorang istri, Tuhan yang pertama adalah suaminya dan bagi seorang anak, Tuhan yang pertama baginya adalah orangtua. Inilah peradaban Veda, dimana peran leluhur begitu dihargai dan dihormati. Keberadaan dan kemuliaan mereka tidak layak ditolak dengan alasan apapun juga.

Kamis, 10 September 2009

APA YANG HARUS SAYA BACA?

Kita tahu bahwa membaca adalah kegiatan yang banyak digemari oleh orang-orang di dunia ini. Hindu, saya yakin merupakan agama yang paling banyak menghasilkan bahan bacaan. Pada usia 15 tahun saya mulai terpikat untuk mempelajari karya-karya keagamaan Hindu secara lebih mendalam, disamping tulisan-tulisan relijius agama lainnya. Tulisan-tulisan yang bersifat sakral maupun profan, relijius dan sekuler, terus bertumbuh dan bermunculan dengan sangat dinamis dalam masyarakat Hindu sejak ribuan tahun yang lalu. Veda yang merupakan pustaka suci Hindu, terus-menerus dikaji, didiskusikan, dan dipelajari dengan aktif, sehingga dari jaman ke jaman dunia sastra Hindu dihiasi oleh karya-karya dan pemahaman-pemahaman rohani yang selalu segar. Hindu memang benar-benar bisa memenuhi hobi ini dengan sangat memuaskan.


[Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati]

Tahun 1930-an di Kolkata pernah ada penerbitan sebuah harian rohani bernama Nadiya-prakasa yang diprakarsai oleh Sri Bhaktisiddhanta Sarasvati. Seorang tokoh politik di masa itu meragukan kemampuan beliau menerbitkannya. Masalahnya apakah tidak bakal kekurangan bahan? Tetapi Srila Siddhanta Sarasvati berkata bahwa Kolkata hanya satu kota di bumi yang begitu luas, toh tetap saja ada surat kabar yang bisa terbit setiap hari. Sedangkan Veda, adalah pengetahuan dari dunia rohani yang tak terbatas. Bila saja ada cukup sumber daya, maka jangankan hanya harian, masing-masing kota di bumi bisa menerbitkan surat kabar dari dunia rohani, pembahasan Veda-dharma ini, setiap detik. Jadi bisa kita bayangkan betapa banyak, luas, dan dalamnya pengetahuan yang ada dalam Veda.

Sekarang ada begitu banyak buku dan juga tulisan yang dibuat oleh begitu banyak orang tentang berbagai aspek kehidupan rohani. Salah satu pertanyaan bagi mereka yang punya hobi membaca, apalagi membaca tentang topik-topik spiritual, adalah “Apa yang harus saya baca?” Atau paling tidak bila kita ingin mengetahui sesuatu tentang Sanatana-dharma, tentang Hinduisme, tentu kita perlu tahu buku apa yang seharusnya kita baca. Kita tentu tidak dalam posisi untuk menilai apakah suatu karya itu baik atau buruk secara objektif. Sungguh..., secara logis ini sulit dan nyaris tidak mungkin. Apalagi dalam Hindu kita memahami bahwa setiap orang, setiap individu memiliki relasi pribadinya yang unik dengan Tuhan. Konsekuensinya setiap orang juga memiliki pemahamannya sendiri dalam hidup rohani. Apapun yang mereka katakan atau mereka tulis merupakan ekspresi dari realisasi mereka. Untuk itu kita harus memberikan penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya kepada apapun karya mereka. Ketika kita menentukan apa yang harus kita baca atau pelajari, bukanlah berdasarkan penilaian relatif mengenai baik-buruknya suatu karya. Tetapi dengan memperhatikan interaksi intensi kita, yaitu apa maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan apa tujuan kita yang membacanya. Bila kita merasakan bahwa karya itu dapat mendukung tujuan utama pembelajaran kita, maka baiklah kita terima. Tetapi bila tidak, kita berhak meninggalkannya tanpa perlu berkomentar buruk apapun. Selama kita tidak memiliki keinsafan menyeluruh terhadap hidup rohani, maka kita tentu juga tidak memiliki pengalaman apapun mengenai keinsafan orang lain. Jadi wajar kita tidak punya kompetensi untuk melakukan penilaian, apalagi sampai menjelek-jelekkan. Ini prinsip belajar yang sangat baik, terutama dalam usaha memahami ajaran Veda yang begitu luas dan dalam.



Tetapi masyarakat pengikut Veda ortodoks bukanlah sama sekali tidak memiliki standar penilaian, atau lebih tepatnya penggolongan, untuk karya-karya rohani yang bersifat otoritatif. Otoritatif di sini bermakna bahwa pemikiran itu dapat diterima oleh para praktisi ajaran rohani Veda, yang dapat berguna mendukung praktik rohani (sadhana) mereka menjadi lebih baik dan lebih maju lagi. Sebagai contoh kita ambil karya rohani yang menjelaskan Bhaktiyoga. Salah satu filsuf India terbesar yang pernah ada, Sri Jiva Goswamipada mengatakan pada bagian awal salah satu kitab Sandarbha karyanya, “sri-bhagavato nirdharanaya sandarbho 'yam arabhyate, sekarang secara lebih khusus lagi saya akan menjelaskan tentang Tuhan, Pribadi Tertinggi yang dipenuhi segala kemuliaan, dalam Sandarbha ini. Saya akan mendasarkan semua argumen saya pada apa yang telah diungkapkan dalam sastra Veda, bukan dengan logika pikiran duniawi semata. Karena Veda adalah yang terbaik dari semua pramana (bahan pembuktian). Dalam Brahmasutra (1.1.3), yang terluhur dari semua Rishi (Sri Vedavyasa) berkata sastra-yonitvat, Yang Mahatinggi hanyalah dapat dipahami melalui Veda. Juga dikatakan tarka-apratisthanat (2.1.11), logika tidak dapat menyimpulkan pemahaman mengenai Yang Mahamutlak. Dengan kata ini beliau mengritik keterbatasan logika manusia. Karena itu saya juga bersikap sama seperti beliau.”



Disamping itu Sri Jiva juga mengatakan bahwa dirinya menyusun kitab Sandarbha berdasarkan dakshinatyena bhattena adyam granthana-lekham, catatan-catatan tertulis yang asli dari Sri Gopala Bhatta, filsuf mulia dan sarjana ahli Veda yang berasal dari India Selatan. Beliau menerima catatan-catatan dari Bhatta Goswami karena dua alasan. Pertama adalah karena tau santosayata santau srila-rupa-sanatanau, memuaskan para santa, hamba-hamba Tuhan yang tersuci, seperti Sri Rupa Goswamipada dan Sri Sanatana Goswamipada. Dua tokoh ini adalah orang suci yang paling dimuliakan di India Utara pada jamannya sampai sekarang, karena kemurnian dan kesempurnaan rohaninya. Bahkan dikatakan bahwa Akbar, raja paling cemerlang dalam dinasti Mughal yang beragama Islam, bersujud menghormati Sri Rupa. Jadi apa yang dikatakan oleh Bhatta Goswami disetujui oleh orang suci sempurna seperti itu, bahkan sangat menyenangkan hati mereka. Lalu alasan kedua adalah kranta-vyutkranta-khanditam, apa yang ditulis oleh Bhatta Goswami telah dapat membantah semua kesalahpahaman filsafat sebelumnya atau pendapat-pendapat lain yang terbukti salah. Jadi berdasarkan dua alasan ini, Sri Jiva menggunakan catatan-catatan dari Bhatta Goswami dalam menyusun Sandarbha-nya, selain tentu saja menggunakan kutipan-kutipan berbagai sastra Veda.

Dalam Mahabharata Tatparya Nirnaya, Sri Madhvacharya juga berkata, “Saya dapat menyampaikan kesimpulan segala pengetahuan (siddhanta) – dalam tulisan saya – karena sastrantarani sanjanan vedantasya prasadatah dese dese tatha granthan drishtva caiva prithag vidhan yatha sa bhagavan vyasah saksan narayanah prabhuh jagada bharatadyeshu tatha vakshye tadikshaya iti, saya memahami semua intisari pustaka suci berkat karunia dari Upanisad-Vedanta. Saya juga telah berkeliling seluruh penjuru negeri dan sudah mengetahui semua kitab suci yang tersebar di mana-mana. Namun yang paling penting adalah saya sepenuhnya memuliakan kata-kata Bhagavan Vedavyasa, yang tiada lain adalah Tuhan Sriman Narayana Sendiri, sebagaimana tertulis dalam Mahabharata dan kitab-kitab lainnya.”


[Srila Saccidananda Bhaktivinoda Thakura]

Pada awal abad ke-20 tokoh rohaniwan besar sekaligus penulis produktif dari Bengala, Sri Thakura Bhaktivinoda, juga menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam perkembangan kekayaan pustaka Hindu. Beliau hidup sejaman dengan para pendiri Brahmo-samaj dan teman baik keluarga Tagore. Berbeda dengan sastrawan seperti Rabindranath Tagore yang lebih memilih penampilan populer, Thakura Bhaktivinoda memilih memasuki inti masyarakat Veda yang lebih ortodoks dan menjadi pewaris dari garis perguruan tradisional Goudiya. Thakura Bhaktivinoda, sekalipun memelihara penyampaian ajaran Veda dalam kalangan konservatif, namun beliau berhasil merintis dibagikannya ajaran-ajaran esoterik Veda bagi dunia internasional, yang sebelumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat tertentu. Beliau adalah Acharya Goudiya pertama yang menyampaikan ajaran Veda dalam tulisan-tulisan berbahasa Inggris. Srila Thakura Bhaktivinoda juga menulis dalam karyanya yang berjudul Amnaya-sutra, “Seorang yang bernama Bhaktivinoda, dengan bersujud pada guru semesta Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, atas pemberkatan para hamba Tuhan dan perintah roh-roh yang agung, menyusun 130 sutra ini yang menguraikan kesimpulan akhir semua Veda-veda. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengkaji delapan pramana, enam lingam, dan makna langsung serta tidak langsung semua kata-kata sabda. Semoga semua hamba-hamba Tuhan, yang berlindung pada kaki padma Bhagavan Sri Caitanya mempelajari sutra-sutra ini.”

Semua orang yang serius dalam menempuh hidup rohani dalam jalan Veda mengetahui bahwa Sri Caitanya adalah teladan sempurna bagi mereka yang mendalami Bhaktiyoga. Seorang Acharya dan penulis seperti Srila Bhaktivinoda menginginkan agar semua orang yang mendalami Bhaktiyoga di bawah bimbingan ajaran Sri Caitanya dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sutra karya beliau itu. Ini adalah intensi dari sang penulis. Lalu Sang Thakura juga mempermudah kita dengan terlebih dahulu mempelajari begitu banyak aspek Veda kemudian menyimpulkannya untuk mendukung pelaksanaan bhakti kita. Selain itu beliau menulis buku bukan atas dasar keinginan sendiri saja atau untuk mendapat jasa dari usahanya itu, melainkan atas perintah begitu banyak orang suci yang hidup pada masanya. Penulisan buku itu sendiri juga memperoleh pemberkatan dari masyarakat para santa atau sadhu, yang tentu juga selalu mengharapkan kesejahteraan rohani semua orang. Jadi bagi mereka yang juga ingin benar-benar membina diri dalam Bhaktiyoga, kitab-kitab yang disusun oleh para penulis seperti Sri Jiva Goswamipada, Sri Madhvacharya, dan Srila Thakura Bhaktivinoda, adalah merupakan bacaan wajib.

Dalam Hindu setiap orang maju dengan pemacunya sendiri, mencapai keinsafannya sendiri, dan membangun relasinya yang paling pribadi bersama Tuhan. Setiap orang harus dapat menghormati dan menghargai semua ini. Tetapi sekalipun agama adalah hal yang sangat pribadi, Hindu mendukung setiap orang untuk selalu membagi kemajuan rohaninya pada tingkat apapun juga. Ini bisa dicapai dengan menuliskannya. Siapa saja bisa menuliskan dan membagi keinsafannya itu kepada semua orang. Sebanyak pencapaian tingkat-tingkat kesempurnaan spiritual setiap orang, sebanyak itu pula karya-karya relijius yang bisa kita temukan dalam masyarakat Hindu. Setiap orang juga berhak memilih bacaan apapun dari sekian banyak yang tersedia baginya. Tetapi bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin mencapai keberhasilan dalam hidup rohaninya, maka buku-buku seperti diuraikan sebelumnya itu harus dibaca. Harus bukan berarti kita salah jika membaca yang lainnya, tapi sayang bila kita melewatkan tulisan-tulisan ini begitu saja.

Senin, 07 September 2009

PUSTAKA SUCI VAIDIKA DALAM HINDU


Hindu memiliki kekayaan pustaka suci yang luar biasa besar dan luasnya. Selama ini kebanyakan dari kita hanya sekedar mengetahui bahwa pustaka suci Hindu adalah Veda. Dalam pengertian luas, Veda ini mencakup seluruh literatur yang disebut Sruti-sastram, Smriti-sastram (atau Dharma-sastram), Sad-angam, dan Upa-angam. Secara keseluruhan semua ini disebut sebagai Vaidika-sastram atau Pustaka Suci Vaidika. Vaidika berarti tergolong Veda atau bisa juga diterjemahkan “bersifat” Veda (Vedic in nature).

Sruti-sastram merujuk kepada Empat Veda Utama yaitu Rik, Yajus, Sama, dan Atharva yang masing-masing dibagi menjadi Saakha. Masing-masing Saakha memiliki bagian Samhita (kumpulan mantra), Brahmana (aplikasi mantra-mantra dalam yajna/ritual-persembahan), Aranyaka (penjelasan esoteris di balik mantra dan yajna), dan Upanishad (bahasan atas paratattva atau kebenaran tertinggi). Sruti selama ini biasanya dijelaskan sebagai revelasi “yang langsung didengar”. Definisi ini seakan membuatnya terbatas seperti wahyu-wahyu yang didengar oleh para nabi agama non-Vedik. Padahal para Rishi Veda disebut sebagai drishta, “yang melihat”, mengandung makna bahwa mereka menginsafi pengetahuan itu melalui pengalaman langsung (brahma-sakshatkaram). “Bertatap muka” dengan Sang Kebenaran yang kemudian terungkapkan atau tersingkapkan oleh para Rishi sebagai mantra yang mengandung Kebenaran itu dalam wujud Suara (Shabdam). Suara Rohani ini tidak dapat diinsafi tanpa mendengarnya secara langsung. Sekalipun Bhagavan Vedavyasa kemudian menghadirkannya dalam bentuk tertulis, namun ini adalah demi alasan pelestarian. Sruti tidak dapat dipelajari dengan cara membaca seperti buku biasa, tetapi harus melalui mendengar. Itulah sebabnya dalam Veda-pathasala atau sekolah Veda tradisional yang asli, para sishyam mempelajarinya dengan cara mendengar dengan aturan-aturan pengucapan yang sangat ketat. Sistem ini dilaksanakan tanpa terputus melalui sistem garis perguruan yang dilindungi bahkan hingga sekarang, sekalipun sebagian besar dari keseluruhan Veda Saakha sudah punah. Penerjemahan Sruti sebenarnya adalah sesuatu yang tak masuk akal dan mustahil. Ini hanya terjadi karena pengaruh budaya akademis bergaya Barat. Makna mantra-mantra dalam Sruti-sastram hanya bisa diketahui melalui mendengar dan menginsafinya saja. Sri Madhva mengatakan bahwa dalam satu mantra Veda paling tidak terkandung tiga makna, dalam satu sloka Mahabharata terkandung sepuluh makna, dan satu Nama dalam Vishnu-sahasranama-stotra mengandung seratus makna. Penerjemahan Sruti melalui studi bahasa hanya mengungkapkan sebagian kecil saja dari kebenaran itu, bahkan sering menimbulkan kontradiksi antar beberapa pernyataan Sruti. Jadi tiada cara lain untuk mempelajarinya kecuali dengan mendengar dari Sad-acharya, guru kerohanian sejati yang telah tercerahkan. Dalam Sad-sampradaya yang adalah garis para Sad-acharya, segala ajaran haruslah bebas dari kontradiksi antar pernyataan Veda sebagaimana dinyatakan oleh Sri Vedanta Desika dalam kitab Sampradaya-parisuddhi. Sesungguhnya karena alasan inilah dia disebut Sruti.

Smriti-sastram juga sering disalahpahami sebagai pengetahuan yang berasal dari ingatan para Rishi. Jadi terbentuk pemikiran non-konservatif dan spekulatif yang menganggap karena ini berdasarkan “ingatan”, jangan-jangan ada yang “terlupakan” oleh para Rishi dari keseluruhan “yang telah didengarnya”. Sekali lagi ini bukan definisi tradisional sebagaimana kasus definisi Sruti di atas. Bahkan beberapa orang mengatakan selain Sruti semua adalah tergolong Smriti-sastram. Smriti sesungguhnya hanyalah merujuk kepada Dharma-sastram yang sering dikatakan sebagai “Kitab Hukum, Moral, dan Etika”. Bahkan dalam naskah Sarasamuscaya yang diwarisi di Indonesia pun dengan tegas dinyatakan, “sruti ngaranya sang hyang catur veda, sang hyang dharma-sastra smriti ngaranira, Catur Veda adalah yang disebut Sruti dan Dharma-sastra disebut Smriti” (sloka 44). Dalam pengertian tradisional, Dharma-sastra merupakan ajaran-ajaran yang harus senantiasa diingat oleh para sishya yang mempelajari Veda atau oleh masyarakat yang menerima Veda sebagai penuntun hidupnya. Dharma-sastra ini disusun oleh para Rishi seperti Manu, Yajnavalkya, Parasara, Gautama, dsb. sebagai tuntunan untuk menciptakan kondisi masyarakat secara umum dan mengembangkan mentalitas yang mendukung sishya untuk dapat mempelajari Veda dengan baik dan benar. Tentu saja Smriti-sastra ini dengan sendirinya akan diaplikasikan menurut situasi dan kondisi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat saat itu. Seperti program diet yang disusun dokter untuk penderita penyakit tertentu. Tanpa mengingat (kata smrita tidak menyatakan sebatas ingatan saja) dan membentuk mentalitas yang sesuai (mental-conditioning), maka tidak mungkin dapat memahami Veda. Karena itu ajaran-ajaran ini disebut Smriti-sastram. Smarta-sampradayam yang mengikuti ajaran Sankaracharya bahkan menggolongkan Smriti-sastram sebagai Upa-angam dari Veda (Sruti) karena pentingnya, oleh sebab itulah mereka disebut golongan Smartam, salah satu dari denominasi utama dalam Hindu.

Sad-angam merupakan enam (sad) jenis pengetahuan yang sangat vital dalam proses mempelajari Veda. Karena itu mereka adalah bagian yang tak boleh terpisahkan dari Veda sebagaimana organ-organ atau bagian tubuh yang penting (angam). Pertama ada Siksha, yang merupakan pengetahuan vital untuk melantunkan mantra-mantra Veda tanpa kesalahan. Karena kesalahan sekecil apapun dalam pengucapan mantra Veda akan menimbulkan arti dan efek yang berbeda. Ke dua adalah Vyakarana yang merupakan pengetahuan mengenai tata bahasa. Tanpa memahami tata bahasa maka sangat besar kemungkinan berbuat kesalahan dalam mengucapkan mantra. Paling tidak sishya akan bisa segera “mengoreksi” ingatannya terhadap kemungkinan kesalahan pengucapan dan susunan kata-kata yang bisa saja timbul karena lupa, sehingga kesalahan itu tidak sampai terucapkan. Sebagai contoh seseorang memuja Rudra dengan mengucapkan rudraaya namaha, tetapi bagi Vishnu yang benar adalah dengan menyebut vishnave namaha bukan vishnaaya namaha. Ke tiga adalah Chandam, yaitu pengetahuan mengenai bentuk perangkaian kata-kata dalam mantra yang disusun sebagai syair-syair dalam pola tertentu. Ke empat adalah Nirukta yang sering diartikan sebagai pengetahuan mengenai kosakata, semacam kamus. Ini merupakan pengetahuan untuk memahami kata-kata Veda yang mengandung berbagai dimensi makna. Seperti disebutkan sebelumnya, begitu banyak makna terkandung dalam satu kata dalam Veda. Di sinilah Nirukta berperan sangat vital untuk membantu sishya memahami maksud kata-kata itu. Ke lima adalah Jyotisha atau sering disebut sebagai astrologi Veda. Tetapi astrologi ini bukanlah ilmu untuk sekedar ramal-meramal nasib lewat bintang-bintang. Jyotisha adalah ilmu untuk “membaca bahasa alam”. Ini meliputi pengamatan dan perhitungan yang sangat teliti dan rumit untuk menciptakan situasi dan kondisi yang sesuai, serasi, dan selaras dengan alam. Contoh sederhana, adalah tidak mungkin orang menjemur pakaian kalau sedang mendung apalagi ada gerimis. Jadi Jyotisha membantu untuk menerapkan Veda pada waktu dan kondisi yang tepat sesuai situasi alam semesta, sehingga segala sesuatunya berjalan sempurna. Ke enam adalah Kalpa, yaitu pengetahuan ritualistik. Bagaimana melaksanakan upacara-upacara dalam Veda, yang tentu saja melibatkan mantra-mantra Veda, dengan proses dan metode yang benar. Ini merupakan pengetahuan agar apa yang terdapat dalam Veda dapat memberikan efeknya bagi masyarakat dan alam semesta. Para sishya di Veda-pathasala biasanya mempelajari salah satu Saakha dari Veda dan Keenam Angam ini sebagai kurikulum wajib yang dipelajari selama 12 tahun! Sripada Kanchi Paramacharyargal atau Mahaperiyava menjelaskan semua ini dengan baik sekali dalam buku The Vedas yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Media Hindu dengan judul Peta Jalan Veda.

Upa-angam terdiri dari berbagai Purana dan Itihasa. Upa-angam sering diartikan sebagai sesuatu yang sekedar tambahan atau pelengkap saja. Bermakna minor atau tidak penting. Namun kita harus memahami makna dua kata ini dengan sudut pandang Veda. Upa secara harfiah berarti dekat, yang memiliki nuansa makna karib atau akrab (intimate), seperti seorang istri dengan suami, begitu dekat, saling mendukung, dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti nuansa makna kata Upa dari Upa-nishad, “berada dekat” (Sad-acharya). Kata dekat di sini tidak menunjukkan posisi jasmani, namun keakraban. Upanishad adalah pengetahuan atau ajaran yang diungkapkan oleh Sad-acharya kepada Sat-sishyam yang telah sangat dekat bahkan “menyatu” dengan Acharyanya. Menyatu di sini berarti berada dalam keserasian dan keselarasan sempurna dengan “pasangannya” sepenuhnya tak terpisahkan. Salah satu gelar Brahmana-Pandita adalah Upadhyaya. Ini juga berarti seorang yang telah belajar (adhyaya) sangat dekat (upa) dengan Sad-acharya-nya, sehingga mengetahui segala ajaran yang paling rahasia dari beliau. Kata angam memperkuat lagi makna ini, seperti dinyatakan sebelumnya berarti bagian tubuh atau organ yang sangat vital. Upa-angam bukan berarti anggota badan minor yang bisa diabaikan atau dibuang. Justru sebaliknya, ini adalah organ yang memegang peranan sangat vital. “nama va rg-vedo yajur-vedah sama-veda atharvanas caturtha itihasa-puranah pancamo vedanam vedah, Sesungguhnya, Rik, Yajus, Sama, dan Atharva, inilah nama-nama Veda yang empat jumlahnya. Purana beserta Itihasa adalah Veda yang ke lima. Inilah yang harus diketahui.” (Kauthumiya Chandogya Upanisad 7.1.4). Kemudian lebih lanjut dijelaskan makna dari Purana tidaklah pernah berubah seperti Veda-veda (Sruti-sastram). Tanpa keraguan, makna semua Veda berlindung di dalam Purana. Veda-veda ketakutan, karena jangan-jangan orang-orang yang tidak memiliki kepantasan akan membacanya dan menodai, mengubah-ubah maknanya. Dengan demikian arti penting dari Veda ditegaskan sekali lagi, sekokoh-kokohnya dalam Purana dan Itihasa. Apa yang tidak didapatkan dalam Veda (Sruti), akan ditemukan dalam Smriti. Apa yang tidak ditemukan dalam Smriti akan diperoleh dalam Purana. Mereka yang mengetahui, bahkan yang ahli dalam Veda dan Upanishad sekalipun, bukanlah sarjana terpelajar apabila mereka tidak mengetahui Purana (Skandapurana. Prabhasa-kanda. 5.3.121-124). Dalam bahasa Sri Mahaperiyava, Purana-Itihasa adalah kaca pembesar Veda. Dengan demikian tanpa memahami Purana dan Itihasa seseorang tidak akan bisa mengetahui Veda.

Selain Purana-Itihasa, terkadang Nyaya-sastram yang merupakan pengetahuan logika dialektika dan Mimamsa yaitu ilmu analitik mendalam mengenai suatu subjek (dalam hal ini adalah Veda) juga digolongkan termasuk Upa-angam. Yang digolongkan Nyaya-sastram adalah berbagai Nyaya-sutra (risalah logika) dan Sankhya-sutra (risalah metafisik), sedangkan Mimamsa yang disebut juga pengetahuan hermeunetika dibagi menjadi dua yaitu Purva-mimamsa dan Uttara-mimamsa. Purva-mimamsa berkaitan dengan analisis purva-kanda (bagian awal) atau karma-kanda (bagian yang membahas aktivitas ritualistik) dari Veda. Jaimini-sutra adalah salah satu Purva-mimamsa-sastram. Uttara-mimamsa berkaitan dengan analisis uttara-kanda (bagian akhir) atau jnana-kanda (bagian yang membahas kebenaran filosofis seperti Upanishad). Kitab Brahma-sutra atau Vedanta-sutra dari Vedavyasa adalah Uttara-mimamsa-sastram. Selanjutnya Purva-mimamsa hanya disebut Mimamsa saja dan Uttara-mimamsa dikenal sebagai Vedanta. Di lain pihak beberapa sampradayam menganggap bahwa Nyaya-sastram dan Mimamsa-sastram tidak perlu dimasukkan dalam golongan Upa-anga. Sri Pillai Lokacharya dalam kitab Sri Vachana-bhusana menyatakan bahwa makna dari purva-kanda sudah dijelaskan oleh Dharma-sastram dan uttara-kanda termasuk Vedanta diperjelas oleh Purana dan Itihasa. Sehingga secara bulat, yang diterima sebagai bagian dari Upa-angam oleh semua pihak adalah Purana dan Itihasa. Akan tetapi secara umum diterima bahwa 14 pengetahuan ini mulai dari Empat Sruti-sastram, Smriti-sastram, Enam Angam, Purana-Itihasa, Nyaya-sastram, dan Mimamsa-sastram adalah Caturdasa Vidya-sthanam, empat belas tempat bersemayamnya segala pengetahuan.

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking