Sabtu, 25 Juli 2009

Berdoalah Demi Perdamaian dan Bangunlah Persahabatan

Sembari mengenang duka akibat ledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton, Kuningan. Gemakanlah pesan ini ke seluruh dunia! Ubahlah hati manusia!

MAITRIM BHAJATA

Karya: Sankaracharya Kanchi Kamakoti Pitham Sri Sri Candrasekharendra Sarasvati Paramacharyagalu (Sri Mahaperiyava)
raagam: yamunaa kalyaani dan kaapi
taalam: aadi





maitrim bhajata, akhila hrit jaitrim |

atmavad eva parann api pashyata |
yudham tyajata, smardham tyajata |
tyajata pareshv-akrama-akramanam ||

janani prithivi kama-dukharte |
janako devah sakala dayaluh |
'damyata, datta, dayadhvam' janata |
shreyo bhuyat sakala janananam ||

maitrim: Persahabatan; bhajata: Berdoalah; akhila: Seluruh dunia; hrit: Hati; jaitrim: Menaklukkan, menang atas, berjaya; atmavat: Diri kita sendiri; eva: Adalah; parat: Orang lain; api: Juga; pashyata: Lihatlah; yudham: Peperangan; smardham: Persaingan; tyajata: Tinggalkan, berhenti; pareshu: kepada orang lain; akrama: Penjajahan, penindasan, kekejaman; janani: Ibunda; prithivi: Bumi; kama-dukharte: Memenuhi semua keinginan; janako: Ayah; deva: Tuhan, junjungan, raja; sakala: pada semuanya; dayalu: Berbelas kasih; damyata: pengendalian diri; datta: kedermawanan; dayadhvam: berbelas kasih; jana: makhluk hidup, orang-orang; shreyah: bersukacita; bhuyah: semoga; sakala: semuanya

"Berdoalah dan bangunlah persahabatan yang dapat menaklukkan hati seluruh dunia. Pandanglah orang lain sebagaimana engkau memandang dirimu sendiri. Berhentilah berperang. Berhentilah saling bersaing. Hentikanlah penjajahan dan penindasan kepada orang lain yang adalah kekejaman".

"Tidakkah kita memiliki Bumi yang begitu luas, sebagai Ibunda yang mampu memenuhi keinginan semua orang? Bukankah kita memiliki Tuhan, Sang Ayah yang sangat menyayangi semua makhluk? Wahai kalian semua, kendalikan dirimu, bermurah hatilah, dan berbelas kasihlah satu sama lain!
Semoga semua makhluk hidup dengan penuh sukacita!"

Dinyanyikan oleh:
Bharat-ratna MS Subbulaksmi download lagu ini di sini!








DA, DA, DA… TIGA PESAN DALAM SATU AKSARA


Mahaperiyava menampilkan pesan kebijaksanaan yang menarik ini dalam sloka terakhir puisi gubahan beliau yang berjudul Maitrim-bhajata. Rujukannya kita bisa lihat dalam Brihad-aranyakopanishad 5.2.2. Kita mengenalnya sebagai sloka tiga Da - (“da-da-da”) dari Prajapati. Ini memperlihatkan bagaimana suatu kebenaran, suatu ajaran, bisa terkandung bahkan dalam satu aksara Sruti. Prajapati mengajarkan tiga ajaran, tiga pesan, kepada tiga “anak” yang berbeda, yang bisa memberikan manfaat bagi mereka bertiga sesuai dengan kebutuhan mereka dan kapasitas mereka masing-masing. Uniknya, beliau memenuhi semua ini hanya dengan satu aksara saja, “Da”.

Prajapati juga memiliki banyak arti. Secara harfiah Praja artinya “mereka yang dimunculkan”. Bisa berarti insan hidup individual (jivatma). Bisa juga bermakna makhluk hidup yang dilahirkan dalam semesta duniawi sebagai jiva yang terperangkap dalam badan jasmani. Bisa pula merujuk kepada anak-anak yang dilahirkan. Anak pun juga bisa berarti keturunan biologis dan juga bisa berarti murid. Pati artinya Penguasa, Tuan, atau Pemilik.

Berkaitan dengan makna Praja pertama, maka Prajapati merujuk pada Tuhan Sendiri, sebagai sumber semua jivatma. Bila berkaitan dengan arti kedua maka merujuk pada Brahma Sang Pencipta, yang “melahirkan” para jiva dalam berbagai bentuk badan jasmani, berbagai bentuk kehidupan di seluruh alam semesta ini. Lalu Prajapati dalam artian berikutnya juga merujuk kepada para Bapa Leluhur Surgawi, yang dikatakan melahirkan berbagai bentuk kehidupan. Sebagai contoh adalah Prajapati Kashyapa, yang melalui istri-istri yang diberikan oleh Brahma lalu menurunkan berbagai jenis makhluk hidup. Misalnya melalui Diti, Kashyapa menurunkan bangsa Daitya (Asura), melalui Aditi menurunkan para Deva atau Aditya, melalui Kadru menurunkan bangsa Naga, melalui Vinata menurunkan Garuda, dst. Prajapati juga bisa merujuk pada ayah kita sendiri, ayah biologis. Lalu bisa juga sebagai guru, yang “melahirkan” kita melalui pengetahuannya. Brihad-aranyakopanishad menceritakan bagaimana Prajapati mendidik tiga anaknya yaitu Deva, Manushya, dan Asura.

Biasanya pada jaman dahulu ilmu pengetahuan diturunkan oleh ayah kepada anaknya. Ayah adalah sekaligus Guru pembimbing bagi anak-anaknya. Jadi saat itu kita tidak memerlukan sekolah di luar rumah seperti sekarang ini. Anak memperoleh segala ilmu pengetahuan dari ayahnya sendiri. Beberapa keluarga Brahmin tradisional masih melestarikan sistem ini. Satu garis keturunan Brahmin terutama mempelajari satu saakha dari satu Veda tertentu. Jadi kita bisa menemukan hingga saat ini ada keluarga Brahmin Yajurveda, Rigveda, dsb. Gotra atau klan, biasanya berpangkal pada satu Rishi tertentu misalnya dari Gautama-rishi. Mereka mewarisi, mempelajari, dan melestarikan ajaran yang diterima oleh Gautama-rishi. Seperti Srimad Madhvacharya, yang ketika kecil bernama Vaasudeva, juga menerima Upanayana dan pelajaran Veda pertamanya (Vidyarambha) langsung dari ayahnya sendiri, Sri Madhyageha Bhatta. Jadi sebelumnya institusi Sampradaya dan garis silsilah pewarisan ajaran atau Parampara, juga terkadang menyatu dengan garis silsilah keturunan secara biologis.

upanayanam

Ketika seorang anak telah dirasakan cukup menerima pengetahuan, maka setelah menamatkan pelajaran, ayah atau guru akan mengadakan semacam perpisahan. Sekarang mereka akan siap menjalani hidupnya secara mandiri dan menerapkan pelajaran yang diterimanya supaya bisa membawa manfaat terbaik bagi dirinya dan orang lain. Tujuan kita bersekolah biasanya seperti itu. Bagaimana membuat apa yang kita pelajari selama ini supaya bisa memberi manfaat bagi diri kita sendiri dan juga orang lain.

Jadi ketika ketiga “anak” ini selesai belajar, mereka lalu satu-persatu menghadap Prajapati, dimulai oleh para Deva. deva uchuh "bravitu no bhavan" – iti (Para Deva berkata kepada Prajapati, “Paduka berilah nasihat pada kami”), tebhyo ha etad aksharam uvacha 'da' iti (Prajapati lalu mengucapkan satu aksara “Da”), vyajnasishta – iti (“Kalian paham?” demikian tanya Prajapati), 'vyajnasishma' iti ha uchuh (Para Deva berkata, “Ya, kami paham”) damyata iti na attha- iti (“Yang Paduka maksud adalah damyata, pengendalian diri”), "om" - iti ha uvacha, vyajnasishta iti (“Bagus”, kata Prajapati. “Kalian sudah paham”). Berikutnya datanglah manusia kepada Prajapati. Beliau juga memberikan nasihat yang sama, “Da!” Lalu manusia berkata, dattam iti, “Yang Paduka maksud adalah kedermawanan”. Prajapati juga berkata sama, “Bagus, kalian sudah paham” Terakhir datanglah para Asura. Mereka berkata, dayadhvam iti, “Yang Paduka maksud adalah berbelas kasih”. Prajapati juga berkata sama, “Bagus, kalian sudah paham” Bagaimana bisa satu suku kata yang sama memiliki tiga makna dan semuanya benar? Inilah Veda.

Ketiga anak ini, Deva, Manushya, dan Asura, telah menyelesaikan pendidikannya. Lalu mereka memohon petunjuk sebelum meninggalkan gurunya. Bagaimana agar pelajaran yang telah mereka terima selama ini bisa bermanfaat. Demikianlah, maka bagi para Deva, pengetahuan itu akan bermanfaat bila mereka memiliki pengendalian diri, Damyata. Bagi Manushya akan berguna bila memiliki kedermawanan, Datta. Bagi Asura akan berguna bila memiliki belas kasih, Dayadhvam.

Deva, Manushya, dan Asura juga merujuk pada mentalitas dan karakteristik kita semua. Deva-ganam adalah orang-orang yang pada dasarnya baik, cerdas, memiliki kemampuan menyerap pengetahuan yang tinggi. Bisa juga berarti mereka yang tergolong memiliki kedudukan terhormat di masyarakat. Mereka akan bisa bermanfaat bila mampu mengendalikan diri. Manushya-ganam adalah orang-orang yang biasa-biasa saja, kemampuan ilmunya juga menengah, tergolong masyarakat kebanyakan. Inilah yang menyusun sebagian besar masyarakat kita. Maka mereka akan berguna bila memiliki kedermawanan, kerelaan untuk memberi dan berbagi. Asura-ganam adalah mereka yang sifatnya kasar, keras dan cenderung bisa menjadi jahat atau tega berbuat jahat. Tetapi mereka adalah golongan yang memiliki kekuatan fisik besar, sangat perkasa dan tangguh. Maka mereka akan berguna bila bisa berbelas kasih.

Pada akhir percakapan dalam Upanishad ini dikatakan bahwa bergemalah suara gemuruh dari angkasa, berseru, “damyata, data, dayadhvam, Jadilah dirimu terkendali, jadilah dermawan, jadilah welas asih!”. Jadi kita semua diharapkan dapat mempelajari ketiga “Da” ini. Setiap orang punya sifat kedewaan, punya sifat kemanusiaan, dan juga punya sifat keraksasaan. Memiliki ketiga “Da” akan membuat masing-masing dari kita mampu menjadi lebih baik dan memperbaiki kekurangan yang juga ada dalam diri kita masing-masing.

Selain itu dari pernyataan Upanishad ini, secara intrinsik disampaikan bahwa setiap orang akan menerima ajaran sesuai dengan kualitasnya masing-masing. Satu cara tidak dapat bermanfaat bagi semua orang. Satu ajaran, sekalipun benar dan sempurna, hanya akan bermanfaat apabila seseorang bisa memahami dan menerapkannya sesuai keadaan dirinya. “Da” adalah satu kebenaran yang tunggal. Namun penerapannya bisa berbeda sesuai yang menerimanya. Orang yang memahami kebenaran sejati, hendaknya mampu memilih atau menentukan cara yang paling tepat bagi dirinya agar bisa menjadi semakin baik. Pada saat yang sama, dia juga tidak memaksakan sesuatu yang berguna bagi dirinya kepada orang lain, apabila itu tidak berguna bagi mereka, tidak cocok, dan tidak memberikan manfaat perbaikan apapun.

“Da” juga menunjukkan bahwa Sruti mengandung segala kebenaran dan pengetahuan. Namun kita tidak dapat menerjemahkannya begitu saja tanpa keinsafan rohani mendalam. Satu pernyataan dalam Sruti, bisa memiliki berbagai arti dan makna. Masing-masing arti yang bentuknya berbeda, akan bermakna dan berguna secara ajaib bagi mereka yang membutuhkannya. Mengatakan bahwa hanya ada Satu Kebenaran memang benar, tetapi mengatakan hanya ada Satu Yang Benar akan menjadi tidak tepat. Mengatakan bahwa Yang Benar Ada Banyak, juga tidak benar. Satu Kebenaran hadir dalam Banyak Bentuk adalah benar, tetapi mengatakan Semua Bentuk adalah Kebenaran untuk semua orang adalah tidak benar. Pun tidak benar mengatakan Semua Bentuk Kebenaran adalah Sama, tidak benar pula Semua Bentuk adalah Kebenaran Yang Sama. Sesungguhnya Kebenaran Mutlak itu Tunggal adanya, namun dapat hadir dalam bentuk yang berbeda bagi orang yang berbeda. Inilah yang benar. Inilah kebijaksanaan Veda.

Jumat, 24 Juli 2009

Darshan, Misteri dalam Sebuah Pura

Sebagai bagian dari Kebenaran Mutlak Tertinggi, makhluk hidup, jivatma, memiliki pula kebebasan berkehendak yang benar-benar dapat kita rasakan sendiri. Ketika kita mengetahui sambandha-jnana, hubungan kekal kita dengan Sang Sumber Segala, maka pada saat itulah kehendak bebas ini memiliki arti. Ketika pengetahuan ini terwujud bagi sang jiva, inilah saatnya dia menggunakan kebebasannya untuk menjadi terikat.

Menjadi terikat dengan Bhagavan, Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, adalah satu-satunya jalan untuk menghindari terjebak dari ikatan-ikatan lain yang merupakan akar kesengsaraan. Awal dari segalanya adalah ketika ikatan ini, ikatan cintakasih, antara jiva dan Sri Bhagavan ditegakkan. Saranagati, jalan penyerahan diri atau prapatthi, pengikatan tanpa syarat, adalah yang paling esensial dari sambandha-jnana. Gita memberi tahu kita bahwa penyerahan diri kepada Penguasa Tertinggi, Sri Krishna, adalah satu-satunya yang diinginkan, dan hanya dengan penyerahan diri yang demikian itu segala keinginan akan sepenuhnya dikabulkan dengan sebaik-baiknya.

Setelah sambandha ada abhideya. Bagaimana kita mencapai kedudukan kita yang benar. Kegiatan apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kita yaitu mencintai Tuhan Sri Krishna. Inilah Abhideya. Ada lima hal yang terpenting dirumuskan oleh sastra dan para Acharya berkenaan dengan ini, yaitu (1) bhagavat-sravana, bhagavat-kirtana, dan bhagavat-smaranam, (2) anghri-sevanam, (3) mathura vasa, (4) sadhu-sanga, dan (5) sri harinam sankirtana. Anghri-sevanam juga dikenal dengan Archanam. Untuk melaksanakan Archana ini kita diberikan beberapa bentuk vigraha seperti lukisan, arca/citra, dsb. yang harus dipuja dengan mantra dan upacara.

Segala hal duniawi akan disucikan dan dirohanikan oleh pengaruh persembahan. Ketika kita mempersembahkan benda-benda duniawi kepada pujaan kita, kita tidak boleh berpikir bahwa benda-benda ini memiliki nilai jasmaniah yang dapat kita nikmati. Ini disebut bhuta-suddhi. Karena tujuan pemujaan adalah rohani, maka benda-benda rohaniah dipersembahkan oleh seorang pelaku rohani melalui kegiatan-kegiatan rohani pula. Inilah Archana. Rupa Tuhan yang dipuja bukanlah berasal dari benda-benda/bahan-bahan duniawi. Rupa itu adalah rohani dan tiada berbeda dari Sri Bhagavan Sendiri.

Netra-unmillanam, atau ritus "membuka mata", merupakan bagian terpenting dalam pentahbisan Archa. Hanya setelah itulah, Tuhan dinyatakan hadir secara rohani di dalam Rupa Archa-Nya

Ketika kita memohon Sri Bhagavan Krishna hadir dalam rupa Archa-Nya, ini disebut prana-pratistha. Bagian terpenting prana-pratistha adalah ‘membuka mata’. Ketika Archa-Nya disthanakan oleh para penyembah, maka sthapati (pengukir) memasuki Ruang Mahasuci dan memahat mata Arca atau bila mata Arca telah terukir, maka saat itu kain penutup mata dibuka. Hanya setelah proses ini dilalui, Bhagavan dikatakan telah bersthana sepenuhnya dalam Rupa Archa-Nya. Sejak saat itu melihat Rupa Bhagavan itu disebut DARSHAN. Sejak saat itu pula melihat, mempersembahkan sesuatu, atau apapun yang berhubungan dengan Murti-Nya merupakan kegiatan rohani.

Beribu-ribu peziarah mengunjungi kuil-kuil dan tempat-tempat suci untuk memperoleh darshan dari Sri Bhagavan. Walaupun sebagian besar dari mereka berpikir telah memperoleh darshan-Nya, namun sesungguhnya mereka bermil-mil jauhnya dari darshan yang sejati. Ketika seseorang benar-benar memperoleh darshan Bhagavan, maka dia tidak akan bisa berkata seperti, “Archa itu terbuat dari kayu”, “Archa itu terbuat dari batu atau tanah liat” dan “Jagannath tidak mempunyai kaki atau tangan”. (Jagannath atau Jagadisha-Jagadishwara, berarti Tuhan Penguasa Seluruh Alam Semesta)

Berdoa di depan Ruang Mahasuci. Darshan, meperlihatkan dan mempersembahkan diri kita kepada Tuhan

Kegiatan ‘melihat’ orang-orang ini dipenuhi semangat memuaskan diri, yang bukan semangat seorang hamba Tuhan. Mereka tidak mampu melihat Bhagavan karena ‘keinginan untuk melihat Tuhan’ telah menghalangi, menutupi penglihatannya. Srila Prabhupada Bhaktisiddhanta Sarasvati memperingatkan “Jangan pergi untuk melihat Jagannath dengan semangat memuaskan diri, yang lahir dari sikap menentang-Nya dan yang kini biasa ada di dunia. Masukilah Kuil Sri Jagadisha dengan hanya membawa bahan-bahan yang diperlukan, yaitu sikap pengabdian cintamu yang dapat menyenangkan Jagannath.”

“Camkanlah bahwa ‘melihat’ Jagannath dengan mata duniawi adalah bukan cara seharusnya seorang abdi melihat. Watak seorang hamba adalah memperlihatkan kepada-Nya sifat sejati (svarupa) dari setiap pelayanannya, dengan kata lain kita menjadi objek untuk dilihat. Artinya kita bertindak sedemikian rupa dalam pandangan-Nya agar kita dapat membahagiakan junjungan kita Sri Bhagavan. Sikap seorang penyembah bukanlah untuk mendapatkan kenikmatan dengan melihat Bhagavan. Namun hendaknya sikap “Bhagavan akan senang bila melihat saya”, bersinar cemerlang dalam hati si pelayan. Inilah Darshan yang sejati”.

Dalam menghadap Tuhan kita harus membuang jauh-jauh vanik-vrutti, kecenderungan seorang pedagang. Kita tidak boleh menganggap Tuhan sebagai bagian produk alam yang dapat kita nikmati. Beliau bukanlah objek untuk memuaskan kita. Beliau adalah tujuan pelayanan, pemujaan, dan segala persembahan diperuntukkan bagi-Nya. Kita hendaknya tidak menuntut sesuatupun dari Dia seperti kita berdagang, saya bayar-engkau beri, saya berdoa-engkau kabulkan. Tuhan bukanlah alat pemuas keinginan dan pemenuh kebutuhan. Dia bukan pelayan kita. Kitalah pelayan kekal-Nya, dan kita harus mempersembahkan pelayanan kita kepada-Nya tanpa mengharapkan imbalan sebagai balasan. Inilah darshan. Datang ke kuil bukan untuk “melihat” Krishna tetapi untuk “dilihat” oleh Krishna. Kita hendaknya menjadikan diri kita pantas dilihat oleh-Nya dan membahagiakan-Nya. Kita bukan menikmati Rupa-Nya, namun berusaha memberi kenikmatan bagi-Nya. Inilah misteri darshan. Pertemuan mistis yang terjadi bukan saja melalui mata namun juga melalui hati.

Keterangan
Bhagavat-sravana, bhagavat-kirtana, dan bhagavat-smaranam: Mendengar tentang kemuliaan Tuhan, memuji atau membicarakan-Nya, dan mengingat-Nya (meditasi dan kontemplasi).
Anghri-sevanam: Melakukan pelayanan kepada kaki padma Tuhan dengan cintakasih.
Mathura vasa: Tinggal di Mathura (Mathura, adalah tempat perziarahan suci yang merupakan “tempat kelahiran” atau Janmasthana dari Sri Krishna di bumi ini. Mathura di sini memiliki berbagai dimensi makna, bukan saja berarti nama sebuah kota di daerah Agra, Uttar Pradesh, India itu. Namun ini membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut)
Sadhu-sanga: Pergaulan rohani dengan para sadhu, pribadi-pribadi suci yang juga tekun dalam pengabdian cintakasihnya kepada Tuhan.
Sri harinam sankirtana: Mengumandangkan pemujian Nama-nama Suci Tuhan secara beramai-ramai.

“Godhead is not an object to serve us
He is the only object of all service
He is not our servitor. We are His eternal servitors
We are to offer our service to Him
Without expectation of getting anything in return
If we demand anything in lieu of our service,
That would be a bartering system, VANIK-VRUTTI
Complete surrender, submitting for serving,
This is SARANAGATI or PRAPATTHI
And PRAPATTHI is the real DHARMA”
(Thakur Srila Prabhupada Bhaktisiddhanta Sarasvati Goswami Maharaja)

Senin, 20 Juli 2009

Kekuatan Ritual di Pura

Besakih, Pura terbesar di Bali

Pura di Bali biasanya tidak memiliki pemujaan Archa yang intens sebagaimana Archanam yang dilaksanakan dalam Pura Hindu di India atau yang didirikan oleh keturunan India, atau yang didirikan berdasarkan Agama-sastra, baik Vaishnava-agama, Saiva-agama, maupun Sakta-agama. Hindu di Bali memiliki sistem Agamika-nya tersendiri yang unik, tanpa pemujaan Citra Suci yang sangat menonjol seperti di Pura Hindu pada umumnya. Tempat sembahyang keluarga yang menerima sistem Pancharatra Vaishnava dibentuk seperti replika yang lebih sederhana dari Pura umum yang besar. Konsep Archana yang sama juga dilaksanakan, namun lebih sederhana. Begitu pula tempat sembahyang keluarga di Bali atau Pemerajan juga merupakan replika sederhana dari Pura yang besar.

Persembahan... bagi tamu yang terhormat

Saya mengingat bagaimana dahulu almarhumah nenek saya dari Bali dengan tekun melaksanakan Archana setiap hari di Pemerajan kami. Beliau mempersiapkan kendi air dan bokor-bokor dari perak, lipatan-lipatan kain yang keemasan, talam perak persegi empat dengan wadah-wadah kecil berisi air, pasir halus (untuk sikat gigi katanya), bedak cendana, irisan daun pandan yang diberi parfum, sisir, cermin kecil, dan bunga-bungaan. Lalu makanan yang baru dimasak, dengan sedikit kue dari pasar, dan buah. Sungguh sangat menyenangkan melihatnya.
Pertama-tama beliau mengundang Devata keluarga kami dengan wangi asap dupa. Lalu beliau menuangkan air dalam wadah-wadah perak itu satu persatu. Katanya Devata kami baru datang, dicuci kaki dan tangannya. Lalu dari kendi air beliau menuangkan isinya ke wadah lain lagi. Katanya Devata kami yang baru datang, akan berkumur, dan minum air sedikit supaya tidak “kering”. Lalu nenek mulai memercikkan air dari talam perak yang bisa kita anggap seperangkat alat kosmetik itu. Katanya Devata mencuci muka, bersihkan gigi, dan berhias. Setelah itu barulah beliau mempersembahkan lipatan-lipatan kain itu, katanya Devata sekarang berganti pakaian, lalu akan memakan persembahan kami. Setelah itu proses minum, cuci mulut, cuci tangan diulang lagi. Menyenangkan melihatnya saat anak-anak, dan kita merasakan bagaimana Devata keluarga kami sungguh-sungguh hadir di sana melakukan semua itu. Seorang tamu agung yang istimewa. Persis seperti bagaimana nenek saya juga menyambut seorang pendeta, almarhum Pedanda keluarga kami dahulu. Saya membayangkan bagaimana tamu ini, seorang Brahmana yang statusnya lebih tinggi dari kami, namun disambut begitu baik oleh nenek. Nenek memperlakukannya dengan sangat hormat, tetapi Pedanda ini juga sangat menghormati nenek saya. Beliau memperlakukan nenek seperti ibunya. Mungkinkah Devata kami juga merasakan hal yang sama ketika nenek mempersembahkan semua upacara itu?

Banten Bali, berbagai jenis makanan dan buah-buahan disajikan bagi Devata

Apa yang kita lakukan saat Archanam mungkin tampak lucu dan kekanak-kanakan. Tetapi melalui pengetahuan Veda dan Agama-sastra kita memahami bahwa perilaku yang tampak kekanak-kanakan ini bila ditujukan kepada Archa-avatara memiliki kekuatan rohani yang luar biasa pentingnya. Sri Kapali Shastriar berkata, ”Upacara-upacara keabadian ini memiliki peran yang sangat penting dalam membangkitkan kesadaran manusia yang senantiasa diarahkan ke dunia luar untuk dapat memasuki kenyataan sejati dari kehadiran batiniah; mereka menanamkan kesan mendalam bagi indera jasmani kasar seorang manusia dengan kekuatan yang layak diperhitungkan, sebagai puncak dari hasil semuanya adalah terbukanya hubungan dirinya dengan keagungan sejati.” Paushkara Samhita juga menyatakan, “Bahkan bila orang dengan pikiran kalut oleh khayalan berkesempatan melihat ritual-ritual ini dipersembahkan, maka kebiasaan mereka berpikir jelek, keinginan-keinginan buruk mereka, kesimpulan-kesimpulan yang tak benar, ide-ide dan pertimbangan jahat, termasuk ketidakpercayaan mereka kepada Tuhan akan mulai musnah.”

Engkau begitu dekat, Tuhan...

Atheisme tidak begitu menjadi isu penting dalam Hindu, karena kita memiliki semua ini. Ritual-ritual ini adalah sarana yang memiliki kekuatan dahsyat, dirumuskan oleh Veda dan Agama-sastra untuk membuat kita, para pemuja, dapat menginsafi dalam setiap kegiatan, setiap aspek kehidupan, hubungan kita yang begitu erat dan akrab antara kita dengan Tuhan. Kita tidak lagi HARUS percaya kepada Tuhan, tetapi kita MEMANG meyakini-Nya, karena kita sungguh telah merasakan kehadiran-Nya dalam hidup kita. Inilah fasilitas utama yang sebenarnya terdapat di Pura Hindu.

Sabtu, 18 Juli 2009

Tempat Sumber Air Yang Mudah Dicapai

Teologi Pancharatrika-agama yang menjadi dasar Vaishnava-tantra mengungkapkan Tuhan Yang Maha Esa dalam Lima Aspek Utama-Nya yaitu Para, Vyuha, Vaibhava, Antaryami, dan Archa. Para adalah aspek yang tiada terkatakan, tiada bandingannya, prinsip tertinggi yang tak terungkapkan. Vyuha merupakan aspek emenasi dari Para, yang termanifestasi sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu dalam ketidakterbatasan Para. Vaibhava merupakan Inkarnasi, yang menampilkan berbagai karakteristik tertentu dari Tuhan dalam wujud tertentu pula. Suatu ketika, atas kehendak-Nya Sendiri, wujud atau bentuk itu dapat memanifestasikan Diri di alam fisik yang dapat dipersepsi oleh makhluk-makhluk terikat. Inilah yang secara umum disebut sebagai Avatara Tuhan. Antaryami adalah aspek yang meresapi segala-galanya dan berada di mana-mana. Manifestasi ini bersemayam sebagai Parama-atma yang senantiasa mendampingi jiva-atma dalam badan apapun mereka terlahirkan di dunia ini. Parama-atma dan jiva-atma inilah yang disebut “dua ekor burung hinggap di satu pohon (samane vriksha…)” dalam sloka Mandukya dan Svetashwatara-upanisad yang terkenal itu. Sedangkan Archa merupakan Inkarnasi dalam bentuk Ikon atau Citra Suci, yaitu ketika yang tak terbatas mewujudkan Diri-Nya dalam fenomena alam yang terbatas atas permohonan hamba yang memuja-Nya dalam kerinduan cinta mereka.

Tuhan yang bersemayam di "teratai hati". Dikenal pula sebagai Antaryami, Yang Bertahta di Lubuk Hati Terdalam semua makhluk.

Salah satu literatur Sri-vaishnava yang terkenal yaitu Sri Vachana-bhusanam (Perhiasan Indah Ajaran Suci), ditulis oleh Sri Pillai-Lokacharyar menyebutkan, “bhu-gata-jalam pole antaryamitvam; avarana-jalam pole paratvam; parkadal pole vyuham; perukkaru pole vibhavangal; atile tenkinamatukkal pole arcchaavataram. Tuhan yang bersemayam di hati (Antaryami) bagaikan air yang terkandung jauh di dalam tanah; Empat Emenasi (Vyuha) bagaikan air di samudera susu (yang sulit ditemukan); Para Inkarnasi yang turun ke dunia (Vaibhava-avatara), bagaikan air sungai, yang terkadang banjir, namun lebih sering mengering; namun Inkarnasi Citra ini (Archa-avatara) adalah telaga-telaga penampung air, yang setiap saat mudah kita temukan dan ambil airnya” (SVB: 39)

Citra Suci Sang Guru Agung, Sri Pillai Lokacharya

Inilah yang kita dapatkan dalam sebuah Pura Hindu. Tuhan Sendiri dalam Inkarnasi Citra-Nya! Kemudian di sana juga diadakan berbagai upacara yang termasuk dalam rangkaian Archanam sebagaimana disebutkan dalam posting terdahulu. Tuhan yang dipuja di Pura adalah “Sesosok Pribadi” yang khusus dan Beliau juga dipuja dengan cara-cara yang istimewa. Vyaktaih vyaktistham archayet, demikian sabda Agama. Namun pada saat yang sama si pemuja melihat dirinya tidaklah berbeda dengan Pujaannya. Tuhan adalah salah satu dari kita. Dia bagian dari kita. Maka si pemuja mempersembahkan segala hal yang dilakukannya sehari-hari bagi dirinya kepada Tuhan Pujaannya, tetapi dalam skala yang lebih istimewa. Istilah Tamil untuk Pura adalah Kovil (yang dalam bahasa Indonesia lalu berubah menjadi Kuil). Kovil artinya adalah tempat bersemayamnya seorang Raja, Ko. Tuhan yang distanakan di Pura tidaklah dianggap sebagai suatu Pribadi Tertinggi yang sulit didekati, dijauhkan dan tidak terjangkau. Namun beliau adalah pimpinan bagi umat manusia, yang terbaik di antara kita semua. Sebagai Raja, Beliau lebih mulia, lebih luhur, lebih segala-galanya dari kita. Namun beliau tetaplah salah satu dari kita, yang selalu memperhatikan kesejahteraan kita, sama-sama menanggung derita bersama kita, sekaligus juga menguasai dan mengatur setiap kegiatan kita. Jadi Tuhan di Pura ini diperlakukan sebagai seorang Raja.

Iring-iringan Archa Sri Ranganatha (Nammperumal) pada saat Vaikuntha Ekadasi di Srirangam, mengenakan Vajra-kavacha, busana permata dan intan-berlian. Beliau dibawa ke Aarayirakaal atau Aula Seribu Pilar, seperti sebuah ruang balairung kerajaan. Di atas tahta-Nya Dia disebut Rangaraja, Raja segala raja.

Kamis, 16 Juli 2009

Pura adalah Tempat Tuhan Menjadi Bagian dari Masyarakat Manusia

Orang-orang pergi ke Pura bukanlah untuk melakukan perenungan, kontemplasi, atau untuk meditasi. Ini dapat dilakukan dengan lebih nyaman di rumah masing-masing. Kita juga pergi ke Pura bukan untuk sekedar bersenang-senang, kumpul-kumpul dengan sesama umat, melakukan berbagai hal dalam kebersamaan. Bukan! Memang ini juga salah satu fungsi atau fasilitas yang diberikan Pura bagi kita. Tapi bukan untuk itu tujuan utama kita.

Umat Hindu di Bali meniti anak tangga masuk Pura Besakih

Di dalam Pura ini kita datang dan menemui Tuhan Sendiri dalam “keserupaan-Nya” dengan kita. Di sini kita akan menemukan kedamaian dan kenyamanan, penghiburan dan pelipur lara. Di sini duka derita kita diringankan dan disembuhkan. Namun yang terpenting di sinilah kerinduan hati kita pada Tuhan memperoleh pemenuhannya. Semuanya dipenuhi oleh Kekuatan dan Kehadiran Illahi yang begitu luhur, jauh lebih mulia dari kita, tiada taranya, namun dalam saat yang sama juga begitu dekat dan mudah ditemui. Dia ada di sini dalam suatu Rupa yang “seperti” kita, seperti salah satu dari kita, menjadi bagian dari kehidupan kita. Sebagaimana kita menjawab bila dipanggil, maka di sini Tuhan datang secara Pribadi ketika kita menyerukan Nama-Nya.

Umat Hindu di Bengaluru berdesak-desakan masuk ke dalam Pura

Ritual yang sangat efektif untuk menciptakan ikatan antara penyembah dengan Yang Disembah dan selalu ada bagi mereka yang mengunjungi Pura adalah Archana. Walaupun kini kata Archana ini sudah menjadi istilah umum dalam agama Hindu untuk menyebut persembahyangan, namun secara khusus Archana berarti melaksanakan segala hal yang berkaitan dengan Archa, Citra Suci Tuhan. Dalam Archa ini Tuhan menghadirkan Diri-Nya yang begitu mulia sebagai salah satu dari kita, yang mengijinkan kita berhubungan sepenuhnya dengan Beliau, baik melalui keheningan tumpahan perasaan - isi hati kita, kata-kata, dan karya fisik.

Yang Mahasuci Srimad Allakhiya Singhar, pemegang tahta suci Sri Ahobhila Matham memimpin pelaksanaan Puja-Archana bagi Tuhan Sri Sri Laksmi Narasimhadeva atau Sri Maalolan

Kita melakukan Archana di Pura sebagaimana kita memenuhi berbagai kebutuhan kita sendiri atau merawat anak kita sendiri. Archana ini memperlakukan Tuhan sebagaimana kita memperlakukan salah seorang dari diri kita. Kita membangunkan-Nya dari tidur lelap-Nya di pagi hari, memandikan-Nya, menghiasi-Nya dengan berbagai busana, menyambut-Nya setelah berhias seperti seorang istri yang mempersiapkan suaminya pergi bekerja, menghaturkan makanan, kemudian mempersilakan-Nya beristirahat, menikmati sedikit kudapan dan bersantai, sampai mengantar-Nya tidur pada malam hari. Ini dilakukan baik oleh mereka yang menjadi pendeta di Pura itu maupun dengan partisipasi umat yang mengunjungi Pura dan terlibat dalam berbagai tahapan Archana ini. Melalui Archana atau pemujaan inilah, suatu hubungan yang begitu karib terjalin antara kita dengan Tuhan. Sebuah ikatan yang semakin lama-semakin kuat, semakin hidup, dan semakin berhasil. Apabila kita sungguh ingin membangun relasi yang manis ini, maka pemujaan harus dilakukan terus-menerus, tiada putus-putusnya Tuhan dimohon kehadiran rohani-Nya dalam Archa. Archa ini atau Citra Suci Tuhan bahkan dalam tradisi dan teologi Vaishnava, yang juga didukung oleh pernyataan-pernyataan Veda dan tuntunan kitab-kitab Agamika, adalah bukan sekedar sarana konsentrasi atau objek untuk memusatkan pikiran belaka. Archa adalah sungguh-sungguh Tuhan Sendiri, Inkarnasi-Nya – Archa-avatara. Beliau sungguh-sungguh hadir dalam Rupa ini oleh belas kasih-Nya yang tiada bertepi, demi menerima pemujaan dan juga secara langsung memberikan Karunia-Nya kepada umat. Dia bukanlah patung simbol keagamaan belaka, yang mungkin penting secara relijius, tetapi tetap buta, bisu, dan tuli. Tidak! Bagi Vaishnava ini adalah Tuhan Sendiri dalam kehadiran rohani-Nya yang nyata dan manifestasi-Nya yang paling murah hati.

Para pendeta mengolesi Tubuh Rohani (Thirumeni/Divyamurti) Archa Tuhan Srinivasa Govinda (Narayana) dengan lulur rempah-rempah sebelum memandikan-Nya

Kehadiran-Nya di sini senantiasa dijaga oleh Archana, yang sekali lagi bukanlah sekedar doa, kontemplasi, dan meditasi saja, tetapi terdiri dari serangkaian ritual yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi umat manusia untuk terlibat di dalamnya secara fisik. Inilah mengapa Pura juga disebut Sannidhi. Itu berarti bahwa sannidhya, kehadiran Tuhan, dapat dialami, dirasakan, dan bahkan “dinikmati” sebesar-besarnya oleh semua kalangan masyarakat.

Selasa, 14 Juli 2009

Pura Berdiri Bukan Untuk Percaya pada Tuhan

Pura Hindu bukanlah dibangun untuk membuktikan atau mendemostrasikan eksistensi Tuhan. Pura bukanlah suatu bentuk pengakuan sejumlah orang terhadap “keyakinannya” dan juga pembuktian akan kebenaran keyakinannya itu. Eksistensi dan keyakinan adalah dua hal yang terpisah. Cabang filsafat Hindu yang disebut Nyaya (Logika-dialektik) dan Mimamsa (Hermenetik) selama ribuan tahun digunakan untuk menelaah berbagai hipotesis mengenai eksistensi Tuhan. Lalu ini ditegaskan lebih lanjut dalam Vedanta (veda-anta, secara harfiah berarti akhir dari Veda, atau puncak akhir dari pengetahuan yang tertinggi). Jadi seorang Hindu sebenarnya bukanlah seseorang yang menempatkan dirinya sebagai orang yang “percaya” kepada Tuhan. Tetapi adalah seseorang yang “mengalami” Tuhan. Para Maharishi bukanlah orang-orang yang mengajarkan agar kita percaya kepada Tuhan, tetapi bagaimana mengalami dan menginsafi Tuhan (experience and realize). Sraddha, atau keyakinan pada Hindu berbeda dengan konsep keimanan dalam tradisi-tradisi Abrahamistik yang menuntut keyakinan konseptual dan dogmatis. Sraddha Hindu merupakan keyakinan yang bersifat eksperiental dan realisasional (dialami dan diinsafi). Keyakinan memang menjadi dasar segalanya, tetapi keyakinan Hindu lebih bertitik berat pada “proses” bukan pada “hasil”.

Dibalik benteng ini, melalui gapura yang megah. Kita memasuki tempat yang bukan bagian dari dunia ini. Inilah tempat yang bukan menyatakan keyakinan kita pada Tuhan, tetapi tempat untuk mengalami Tuhan dalam kehadiran-Nya yang paling nyata (Pura ISKCON Thirupati)

Sebagai contoh perumpamaan sederhana, melalui serangkaian metode dan usaha tertentu seseorang bisa memperoleh 1 milyar dalam 3 bulan melalui investasi dengan modal awal 1 juta. Jadi orang yang menemukan cara ini memberitahukannya kepada umum. Dia tidak sekedar mengatakan beri saya 1 juta, dalam 3 bulan akan jadi 1 milyar. Tetapi dia mengatakan saya dahulu memiliki uang 1 juta, kemudian melalui teknik investasi ini saya akhirnya berhasil mendapat 1 milyar dalam 3 bulan, apakah kalian ingin mencoba? Orang yang berminat lalu datang kepada dia. Tentu juga setelah mempertimbangkan berbagai hal, misalnya mencoba melihat beberapa literatur ekonomi untuk mencoba mencari tahu apa benar cara investasi ini berhasil, lalu bisa juga dengan melihat orang yang lebih dahulu mengikuti cara itu dan ternyata berhasil. Lalu dengan keyakinan yang terbentuk ini dia mulai mempelajari metode itu dari seseorang yang sudah menguasainya, kalau tidak langsung dari orang yang “menemukannya”. Jadi beda kan, dengan orang yang mengatakan, "Beri saya 1 jutamu, dalam 3 bulan akan jadi 1 milyar? Kalau kamu tidak menyerahkannya pada saya, uang 1 jutamu akan habis tidak karuan dan kamu jadi pengemis di jalanan." Orang yang meyakini dan ikut dengan cara seperti ini adalah orang-orang yang ketakutan menjadi pengemis sekaligus ingin dapat untung besar dengan mudah tanpa berpikir apakah orang ini akan menipu dia atau tidak. Tetapi Sraddha dalam Hindu seperti orang yang berpikir alam contoh terdahulu itu. "Marilah kita gunakan modal 1 juta ini dengan baik lewat proses ini. Saya juga tidak mau sekedar berpangku tangan untuk dapat untung besar dan saya juga tidak takut menjadi rugi, toh banyak orang sebelum saya sudah berhasil, kalau saya tidak berhasil seperti mereka pasti ada sesuatu yang salah dengan saya." Introspeksi juga tumbuh di sini! Jadi inilah Sraddha, suatu keyakinan yang muncul dan bertumbuh secara dinamis. Bukan iman buta.

Melalui ritual-ritual berusia ribuan tahun inilah kehadiran nyata Tuhan dimohonkan dalam Pura-Nya (Gb. Chakra)

Sehingga demikian pula dalam Hindu, Tuhan bukanlah sesuatu yang harus dipercayai. Kepercayaan sekali lagi tidak berhubungan dengan eksistensi. Anda boleh percaya Si X ada atau tidak. Tapi bila Si X memang ada maka dia akan selalu ada, tak masalah anda percaya atau tidak. Demikian pula, Sri Bhagavan, Tuhan Yang Maha Esa. Suatu eksistensi itu dikenali, dialami, ditemui, bukan sekedar dipercayai. Dengan demikian seperti dikatakan tadi, umat Hindu tidak membangun Pura-nya untuk membuktikan imannya. Tuhan adalah Realitas Absolut itu, sumber utama dari segala kekuatan, kuasa, dan realitas-realitas yang lainnya. Itulah yang dinyatakan dalam Vedanta-sutra 1.1.2, janmadhyasya yatah.

Dan kekuatan Tuhan pun menyatakan Diri-Nya di antara kita...

Pura ini kemudian dibangun sesuai petunjuk Agamika-sastra sebagai sarana menyalurkan energi Divinitas, menghadirkan Sang Realitas Absolut itu ke tengah-tengah dunia realitas relatif ini. Karena itu Pura adalah pitham, tahta tempat bersemayamnya kekuatan rohani Tuhan sehingga dapat “bekerja”, dalam artian dapat diakses oleh masyarakat secara umum.

Minggu, 12 Juli 2009

Peran Pura Dalam Hindu

Pura bagi umat Hindu lebih dari sekedar tempat berkumpul dan bersembahyang

Dalam Hindu, agama dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan seseorang, maka dari itu maka konsep inipun harus diterjemahkan atau diterapkan dalam kehidupan keseharian seorang manusia Hindu. Salah satu ekspresi paling umum dari sebuah perasaan keagamaan atau suatu ide-ide relijius adalah usaha untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Ini sering diterjemahkan sebagai doa, sembahyang, pemujaan, dsb. Pura atau Kuil kemudian juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keagamaan dalam Hindu, karena di sinilah tempat segala ide-ide relijius itu mendapatkan tempat untuk diungkapkan. Sekilas ini tidak berbeda dengan agama-agama lain yang juga memiliki berbagai tempat sembahyangnya masing-masing seperti Masjid atau Gereja.

Akan tetapi karena dalam Hindu, agama ini bukan lagi dipandang sebagai sekedar identitas diri atau sekedar pengakuan, tetapi menjadi satu dengan inti terdalam kehidupan itu sendiri, maka Pura, sebagai tempat suci Hindu juga dibentuk sebagai bagian dari kehidupan alamiah manusia. Sebenarnya dalam sudut pandang Hindu-Vedic, tidak terdapat garis embarkasi antara kehidupan sekular dan relijius, karena keseluruhan aspek kehidupan itu sendiri telah menjadi satu dengan perjuangan rohani seseorang dalam mencapai tujuan tertingginya atau parama-artham.

Dalam Veda dikenal adanya empat kemajuan yang menjadi keberhasilan atau kesuksesan dalam hidup manusia, diistilahkan dengan purusha-artham. Keempatnya adalah dharma, kemajuan nilai-nilai kebajikan dan kewajiban alamiah kita, artham, kemajuan di bidang finansial dan ekonomi, kaamam, kenikmatan atau kenyamanan sensual, dan moksham, keberhasilan akhir, berakhirnya keterpisahan kita dan dipersatukannya kita kembali dengan Tuhan. Moksham merupakan kondisi spiritual tertinggi yang ditandai dengan terbuka sempurnanya seluruh potensi rohani yang terkandung dalam diri sejati setiap unit kehidupan atau jiva, yaitu kekekalan, kesadaran murni atau pengetahuan sempurna, dan kebahagiaan tertinggi (sat, chit, anandam). Maka dari itu moksha ini juga disebut parama-artham, tujuan tertinggi yang paling akhir.

Bagian dalam sebuah Pura Hindu yang dibuat menurut Agama-sastra. Merupakan tempat ditahtakannya Tuhan Sendiri sebagai Archa-avatara (Gb. Pura ISKCON di Bengaluru)

Demikianlah dalam Hindu, maka seluruh kehidupan manusia dengan berbagai kemajuan dan keberhasilannya merupakan serangkaian dengan perjuangan rohaninya. Pura, yang dipandang sebagai pusat rohani, juga berperan sedemikian rupa atau tepatnya dibentuk untuk memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan seorang insan. Pura menjadi sarana untuk meningkatkan, membawa usaha-usaha mencapai berbagai purusha-artha yang telah disebutkan sebelumnya ke tingkat divinitas atau kerohanian yang paling tinggi. Dia membuat usaha membangun kemajuan nilai-nilai kebajikan, kemajuan ekonomi, kenyamanan sensual, dan konsep akan cita-cita keberhasilan tertinggi terarah sepenuhnya kepada Sang Sumber Segalanya, Tuhan Yang Maha Esa, Sri Bhagavan. Ketika suatu tempat seperti ini, yang kita sebut Pura, bertemu dengan konsep Archa-avatara dalam teologi Agamika yang kita bahas sebelumnya, maka terbentuklah suatu perpaduan rohani unik yang membedakan Pura Hindu dengan tempat-tempat sembahyang biasa pada agama lain. Di sinilah Pura memainkan perannya yang sangat khusus untuk meningkatkan kualitas rohani seseorang sekaligus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam segala aspek kehidupan yang tengah dijalaninya.
Ketika memandang secara superfisial, banyak yang mengeluh bahwa Hindu sepertinya hanyalah suatu agama yang hanya menekankan pada dunia lain, kurang aplikatif dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam kesehariannya. Selain itu juga dirasakan sebagai pengajar konsep kehidupan yang pesimistis, dengan ketergantungannya pada hukum sebab-akibat (karma). Di manakah Tuhan ketika kita membutuhkannya dalam menjalani hidup ini? Perlukah Tuhan ketika segala sesuatunya diterima berdasarkan prinsip “apa yang kau tabur itulah yang kau tuai”? Apakah gunanya menerima Tuhan dari sebuah agama yang penuh dengan ketidakpastian saat kita mengakhiri hidup ini?

Tetapi itu hanyalah satu sisi kecil dari keseluruhan kisah besar Hinduisme, keseluruhan Veda-dharma yang mahaluas ini. Di sana memang ada Tuhan yang mahamutlak, berada di luar sentuhan segala keduniawian, melampaui segala-galanya, tiada terjelaskan, tiada tergambarkan, kevala-nirakara-nirgunam. Tetapi dalam Veda Tuhan juga dijelaskan sebagai Pribadi Tertinggi Yang Mahasempurna. Divinitas yang immanens, yang berada di mana-mana, meresapi segalanya, bersemayam dalam jantung-hati segala sesuatunya dalam ciptaan ini. Tuhan yang penuh dengan sifat-sifat rohani dan kemuliaan. Yang Tertinggi Tiada Taranya, namun juga yang bersedia turun dan hadir di tengah-tengah makhluk fana untuk menjadi pujaan mereka. Mendengar dan menjawab doa-doa mereka. Mendampingi, memberikan penghiburan, turut menanggung penderitaan mereka, dan menghapus airmata kesedihan mereka. Menjadi tujuan penyembahan mereka, sekaligus juga menjadi kekasih pujaan hatinya. Inilah Archa-avatara dalam teologi Agama, yang juga menjadi dasar dari pembuatan sebuah Pura Hindu.

Di dalam Pura ini, Tuhan menjadi serupa dengan kita, begitu dekat dan disayangi bagi kita, walau dalam segala hal jauh melampaui diri kita. Dia bukan sesuatu yang begitu jauh dalam keluhuran-Nya dan tak dapat didekati, sama sekali berada di luar jangkauan umat manusia. Di sini Dia dapat ditemui, dipuja, dan disembah dengan cara yang sedemikian alamiah dan akrab bagi kita. Dalam bentuk yang begitu konkrit, nyata, dan hubungan batiniah antara umat dengan Tuhan Pujaannya begitu erat. Jadi pemujaan di Pura berdasarkan atas sisi praktikal Veda-dharma atau agama Hindu ini. Bila kita mengartikannya dengan tidak sepantasnya atau tidak sejalan dengan konsep ini, maka kita akan kehilangan keseluruhan maknanya yang sedemikian penting.

Catatan:
agama : bahasa Indonesia, pengertian umum diketahui
Agama (huruf besar) atau -agama (dalam rangkaian dengan kata tertentu) : bahasa Sanskrita, pengertiannya seperti pada post Kehadiran Nyata Tuhan di Antara Kita

Jumat, 10 Juli 2009

Ilmu Ini Masih Berlanjut

NAMASKARAGALU

Juni-Juli adalah bulan yang sangat sibuk dan penuh kegiatan rohani. Jadi benar-benar saya harus no writing activities and neglecting this blog for a while. Mulai rangkaian prosesi Perayaan Sri Jagannath Rathayatra yang berawal dari Snana-yatra, sampai banyak future project yang harus saya planning sebulan penuh. Ada beberapa berita menarik yang bisa saya bagi, tapi baru bisa pelan-pelan. Selain tentang rangkaian Rathayatra, salah satunya adalah kehadiran seorang tamu istimewa di Bali bersama kami. Tapi sambil menyusun informasi ini pelan-pelan, saya juga bermaksud melanjutkan bahasan mengenai konsep Pemujaan Archa dalam Hindu dengan mulai membahas Keistimewaan Pura Hindu. Kedua topik ini memang tak terpisahkan. Secara bertahap saya menjelaskan aspek-aspek Hinduisme tentang Siapa Yang Disembah (Konsep Ketuhanan), Bagaimana Menyembah-Nya (Konsep Ikon), dan sekarang Tempat Pemujaan-Nya (Konsep Pura), tentu utamanya dengan pandangan khas latar belakang Vaishnavisme yang paling saya akrabi. Selamat menikmati dan mengikuti lagi saudara-saudara!

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking