Seorang ayah membawa anaknya ke sebuah pantai di Bali Selatan. Keduanya menghadap ke Timur, melihat matahari terbit. Tampak dari pesisir, samudera luas dan juga gunung Agung di Timur Laut, gunung tertinggi di Bali. Dua generasi bertemu di sana. Sayangnya satu generasi tak sepenuhnya dibentuk oleh generasi di atasnya. Keduanya terpisah oleh budaya jaman.
Sang Ayah berkata pada anaknya,
“Matahari sudah terbit seperti ini semenjak jaman dahulu. Cahayanya sudah menerangi keluarga kita sejak leluhur pertama kita hidup di bumi ini. Terangnya sudah memperlihatkan segala hal bagi mereka. ”
“Inilah tanah air kita, anakku... tanah para leluhur kita yang agung. Diperlindungkan di bawah pandangan kasih penjaga kita yang paling mulia. Yang terbesar dari semua orang bijak, Bhatara Dapunta Hyang Kalashaja, Guru kita yang terluhur Agastya... dan juga para Vipra...”
“Inilah Nusantara, anakku... Bunda kita yang pengasih dan penyayang, tiada berbeda dengan Ibunda yang dimuliakan di negeri para Arya. Engkau dilahirkan dalam keluargaku, dalam darahku sendiri, darah yang sama, yang mengalir dalam nadi para leluhurmu yang mulia ribuan tahun lalu. Inilah hati kita, batin yang terikat erat dengan kaki padma para Rishi Veda yang purba...”
“Di negeri ini kita memandang semua sungai sesuci Ganga, setiap gunung seagung Himalaya, semua danau semurni Pushkara, dan hutan-hutannya semulia Naimisharanya. Inilah Dvipantara, dengan beribu pulau-pulaunya, negeri para Raja agung dan Brahmana mulia, diterangi oleh cahaya Veda-dharma, disuburkan oleh hujan belas kasih Tuhan Sri Vishnu Sendiri. Setiap anak yang lahir dibesarkan oleh kisah Sri Rama yang selalu jaya... dan hamba-Nya yang terkasih, Sri Hanuman. Dilindungi oleh pujaan kita Sri Krishna dan para Pandava dari Mahabharata. Dihidupi oleh rasa dan sari susu Purana yang paling manis...”
“Bagaimana engkau bisa berpikir untuk merendahkannya? Bisakah engkau berniat untuk meninggalkan warisan Dharma kita? Pernahkah engkau dapat berpikir untuk menundukkan dirimu pada pujaan yang asing atau melaksanakan adat-istiadat orang luar? Kapanpun niat seperti itu terlintas di benakmu, maka ingatlah keagungan para Rishi dan raja-raja kita di masa lampau. Ingatlah bagaimana mereka telah berjasa membuatmu menjadi Arya, manusia yang mulia. Haruskah engkau mengabaikan mereka yang telah memeliharamu dengan tangannya? Haruskah engkau menyangkal sumber dari darah yang mengalir di tubuhmu? Haruskah engkau mematahkan hati mereka?...”
“Tanah ini sudah dipelihara dan disuburkan oleh belas kasih mereka. Setiap tetes air, setiap bulir padi, mengandung pengharapan mereka. Leluhurmu sudah tak terlihat. Tetapi doa mereka kepada Vishnu dan Dharma yang mereka wariskan kepadamu selalu hadir di negeri ini. Mereka selalu menyayangi kita... Tetapi hari ini memang menjadi urusanmu. Mereka adalah masa lalu. Itu adalah hakmu sepenuhnya untuk tetap melanjutkan karya mereka di tanah ini, atau justru menyangkal hubunganmu dengan mereka. Itu urusanmu... urusanmu semata...”
Si Anak tidak dapat berkata apa-apa. Walau ayahnya mungkin tak mengerti soal kehidupan anak jaman sekarang. Walau generasi mereka berbeda. Tetapi dia setuju dengan ayahnya. Dia tidak perlu mengutarakan kesetujuannya dengan kata-kata. Dia sudah menunjukkannya dengan tetes-tetes airmata yang membasahi pipinya. (“... Ya...Saya paham...”)
Karena itu, anak ini tetap setia kepada Veda-dharma. Walaupun dia telah mengenal dengan baik berbagai jalan baru yang telah bertumbuh di negeri ini, walau dia telah bergaul dengan banyak pemuja junjungan bangsa-bangsa asing, walau dia sudah mempelajari begitu banyak ajaran yang tersebar di mana-mana, bahkan dia sudah mendapat sebagian hidupnya dari orang yang berada di luar masyarakat berperadaban Arya (mleccha-yavana). Dia tetap tak meninggalkan jalan lama, tetap melaksanakan adat-istiadat Arya, tetap tidak melayani junjungan bangsa asing, tetap setia pada warisan leluhurnya.
“... Saya adalah anak negeri ini. Saya adalah orang Indonesia, lahir di Dvipantara. Saya lahir oleh leluhur yang mulia, bagian dari para Arya. Saya akan terus hidup dalam Veda-dharma sampai keturunanku yang terakhir. Mleccha-dharma ini, apapun bentuknya, sama sekali bukan untuk saya...”
Kini dia memperlindungkan diri di bawah kaki padma Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, yang tiada lain adalah Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa Sendiri, dan garis perguruan-Nya yang termulia, pelindung Veda-dharma yang tiada bandingannya. Kini dia akan berusaha menyelami samudera Veda-dharma, semua sastra para Arya, untuk mencari mutiara-mutiara yang terkandung di dalamnya. Dia akan melayani para leluhurnya, para rishi, dan para devata dengan membagikan apapun yang telah ia ketahui kepada bangsa ini...
Sabtu, 02 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar