Sekarang Tattvavada mengemukakan keinsafan terhadap moksa, mukti naija-sukha anubhutih, yang disebut mukti/moksa itu adalah mengalami kebahagiaan tertinggi secara sempurna dalam kedudukan sejati masing-masing jiva. Bila kebahagiaan itu tiada berkesudahan, maka kita harus memahami dari mana datangnya kebahagiaan itu. Bila dia datang dari sesuatu yang ada di alam duniawi, maka tentu saja kebahagiaan itu tidak kekal adanya. Apabila dia merupakan anugerah Tuhan, lalu akan timbul pertanyaan mengapa Tuhan tidak memberikan kebahagiaan yang sama pada setiap jiva, di mana keadilan-Nya? Satu-satunya yang menjadi sumber kebahagiaan adalah diri jiva individual itu sendiri. Hubungannya dengan Tuhan yang merupakan sumber kebahagiaan tertinggi ditentukan oleh sifat inti dari jiva. Tuhan hanya mewujudkan kebahagiaan penuh yang sudah terkandung dalam jiva. Inilah yang disebut moksa.
Akan tetapi karena harih-sarvottama, maka hanya Sri Hari yang dapat memberikan kondisi moksa, muktih pradatam sarvesam visnuh eva na samsayah, hanya Tuhan Yang Maha Esa Vishnu, yang dapat memberikan moksa seperti ini. Amala bhaktih cha tat sadhanam, hanyalah dengan bhakti yang tak ternoda, suci murni, dan pengertian yang benar maka moksa itu dapat dicapai. Bhakti merupakan inti dari kondisi moksa yang dialami jiva tanpa pengabaian akan individualitas dan perbedaannya yang kekal dengan Brahman. Sri Caitanya Mahaprabhu pendiri Goudiya Sampradaya yang dikatakan juga merupakan cabang dari perguruan Madhva, mengembangkan pemahaman bahwa jiva memang memiliki persama-an dengan Brahman (abheda), tetapi pada saat yang sama juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar (bheda). Kedua kondisi ini bersifat tidak dapat dijangkau pikiran (acintya). Tetapi dalam Tattvavada Selatan ditekankan bahwa hanya perbedaan ini yang bersifat fundamental, mengatasi persamaannya, sehingga kesempurnaan moksa sekalipun tetap tidak membuat jiva dengan Brahman menjadi satu entitas yang sama. Para Dvaitavadi tidak menginginkan pencapaian moksa yang meniadakan individualitas sang jiva, seperti yang dituju oleh para Advaitavadi. Menurut Tattvavada justru dalam keadaan inilah jiva mengekspresikan kesempurnaan kebahagiaannya yang tertinggi, yang berasal dari dirinya sendiri.
Konsekuensi dari Tuhan sebagai Yang Tertinggi di atas semuanya ini (hari-sarvottama), maka Beliau adalah paramasvatantrya, yang paling tidak tergantung pada apapun (supremely independent). Tetapi jiva berbeda dengan Tuhan, dia adalah asvatantrya, bersifat dependen pada Tuhan. Karena itu dalam mewujudkan kondisi kebahagiaan sempurnanya, sekalipun itu bersumber dari dirinya sendiri, dia membutuhkan Tuhan. Maka jalan menuju kebahagiaan sempurna adalah Bhakti, pengabdian suci dan pelayanan cintakasih kepada Vishnu, Sang Sarvottama.
Bhakti ini tidak tergoyahkan, bersifat sangat murni. Cinta itu semata karena cinta.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bhakti ini dapat menjadi goyah? Apabila seseorang menganggap dirinya juga adalah Tuhan, atau sama dengan Tuhan, atau bahkan lebih dari Tuhan. Apabila dia juga menganggap ada yang lebih tinggi daripada Sang Sarvottama, maka bhakti pasti akan goyah dan tidak akan berhasil membuahkan moksa yang diidamkan. Jadi bisa dipahami bahwa setitik saja pemikiran Advaita dapat menutup seluruh kemungkinan mereka yang mengikuti jalan Dvaita untuk mencapai kesempurnaan. Dasar utama jalan amala-bhakti yang membawa kepada moksa ini adalah penerimaan adanya prabhu-dasa-bheda, beda antara Tuhan dengan hamba. Begitu bheda ini disangkal, maka tidak ada bhakti, bhakti musnah maka moksa tidak dicapai. Lihatlah bagaimana sesungguhnya Dvaitavada dan Advaitavada meru-pakan dua jalan berbeda yang dimaksudkan untuk mencapai dua bentuk kesempurnaan yang berbeda. Mengatakan bahwa Dvaita (Bheda) merupakan anak tangga menuju Advaita (Abheda) adalah sesuatu kekonyolan dan kesalahpahaman yang harus diperbaiki. Justru apabila dicampuradukkan begitu saja, kedua pemahaman ini akan merusak satu sama lain, ini akan menghancurkan sadhana (disiplin rohani) dari mereka yang berusaha mencapai paratpara-sadhya, tujuan tertinggi.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bhakti ini dapat menjadi goyah? Apabila seseorang menganggap dirinya juga adalah Tuhan, atau sama dengan Tuhan, atau bahkan lebih dari Tuhan. Apabila dia juga menganggap ada yang lebih tinggi daripada Sang Sarvottama, maka bhakti pasti akan goyah dan tidak akan berhasil membuahkan moksa yang diidamkan. Jadi bisa dipahami bahwa setitik saja pemikiran Advaita dapat menutup seluruh kemungkinan mereka yang mengikuti jalan Dvaita untuk mencapai kesempurnaan. Dasar utama jalan amala-bhakti yang membawa kepada moksa ini adalah penerimaan adanya prabhu-dasa-bheda, beda antara Tuhan dengan hamba. Begitu bheda ini disangkal, maka tidak ada bhakti, bhakti musnah maka moksa tidak dicapai. Lihatlah bagaimana sesungguhnya Dvaitavada dan Advaitavada meru-pakan dua jalan berbeda yang dimaksudkan untuk mencapai dua bentuk kesempurnaan yang berbeda. Mengatakan bahwa Dvaita (Bheda) merupakan anak tangga menuju Advaita (Abheda) adalah sesuatu kekonyolan dan kesalahpahaman yang harus diperbaiki. Justru apabila dicampuradukkan begitu saja, kedua pemahaman ini akan merusak satu sama lain, ini akan menghancurkan sadhana (disiplin rohani) dari mereka yang berusaha mencapai paratpara-sadhya, tujuan tertinggi.
Hyaksaditritayam pramanam-akhila-amnayaikavedyo harih, ini merupakan pernyataan penutup dari sloka mengenai sembilan pokok pemahaman Tattvavada. Dikatakan bahwa kebenaran-kebenaran ini ditegakkan berdasarkan tiga pramana utama yaitu pratyaksa (pengalaman langsung), anumana (kesimpulan logis), dan sabda (pengetahuan yang diwahyukan, yaitu Veda-Vedanta dan Agamasastra). Semua Veda dan pramana ini hanyalah membicarakan tentang Sri Hari semata. Inilah yang diterima oleh para Tattvavadi dan Dvaitavadi, bukan kesimpulan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar