Kamis, 07 Mei 2009
Na Tasya Pratima Asti
Zakir Naik dalam dialog atau debatnya bersama Sri Sri Ravi Shankar, yang diadakan 21 Januari 2006 silam, berkata, “Nama lain yang diberikan kepada Tuhan Yang Mahakuasa dalam Rigveda, Mandala 2, bagian 1, mantra 3 adalah Vishnu. Vishnu disebut sebagai Tuhan yang memelihara. Bila anda menerjemahkan Pemelihara ke dalam bahasa Arab, maka akan mirip dengan nama Rabb. Kami kaum Muslim tidak berkeberatan bila seseorang menyebut Tuhan Yang Mahakuasa sebagai Rabb atau Sang Pemelihara. Tetapi apabila ada orang mengatakan bahwa dia adalah Tuhan Yang Mahakuasa dengan empat tangan dan memberikan suatu citra pada Tuhan Yang Mahakuasa, pada satu tangan memegang teratai, tangan satunya memegang kulit lokan, dan bepergian di laut dengan pembaringan ular, maka kami umat Islam dengan keras menolaknya.” Untuk mendukung pernyataannya ini Tuan Naik bahkan mengutip Yajurveda 32 mantra 3 NA TASYA PRATIMA ASTI, yang diterjemahkannya sbb. “Bagi Tuhan itu tidak ada pratima, tidak ada keserupaan, tidak ada citra, tidak ada foto, tidak ada patung, tidak ada ukiran.” Dengan demikian Tuan Naik, seperti tipikal pengikut agama-agama misi Abrahamik yang kaku lainnya, menyerang praktik dan keyakinan terhadap Srimurti dalam Hindu.
Sesungguhnya Hindu sama sekali tidak punya urusan dengan orang yang berkeyakinan lain. Adalah hak mereka untuk percaya maupun tidak percaya pada Srimurti. Tetapi Veda menyatakan bahwa Parabrahman adalah Purna. Sebagai Pribadi Tertinggi, Beliau tentu memiliki Rupa (wujud), Nama (nama suci), Guna (sifat-sifat), dan Lila (aktivitas). Di sisi lain Beliau juga memiliki aspek yang tidak berpribadi (imperso-nal). Tuan Naik yang tidak terdidik dalam institusi rohani Veda manapun dengan arogan mengartikan pernyataan Sri Yajurveda menurut pengertian sempit dalam keyakinannya yang tidak memiliki pengetahuan sempurna dan lengkap.
Para Maharishi dan Acharya kita yang menginsafi Tuhan sebagai Pribadi Tertinggi, juga menginsafi Rupa, Nama, Guna, dan Lila-Nya. Mereka “mengalami” Tuhan. Dalam kesempurnaannya mereka ini sungguh-sungguh dapat melihat Rupa-Nya, mengenal Nama-Nya, merasakan Guna-Nya, dan turut serta dalam Lila-Nya. Jadi ketika mereka bermurah hati kepada insan-insan yang belum sempurna, maka sewajarnya mereka juga berusaha membagikan pengalaman pencerahan dan kesempurnaan yang mereka alami. Karena Parabrahman Sri Bhagavan memiliki semua atribut-atribut ini secara tak terbatas, maka mereka yang mengalami keadaan tanpa keterbatasan ini tentu juga menjadi tak terbatas. Tetapi keadaan yang dapat dipersepsi oleh orang-orang biasa adalah keadaan yang serba terbatas dan tidak sempurna. Lalu bagaimana kita bisa mengkomunikasikan ketidakterbatasan dalam alam yang serba terbatas?
Kita harus ingat bahwa apabila kita mengatakan bahwa Tuhan adalah yang tidak terbatas, maka Beliau juga memiliki kuasa untuk menjadikan apapun mungkin. Segala energi duniawi yang tidak sempurna ini adalah juga bagian dari energi Tuhan yang tak terbatas. Jadi apa anehnya bila Tuhan mewujudkan Diri-Nya dalam gambaran atau cerminan yang dipantulkan dalam energi duniawi.
Siapakah yang mampu memahami secara sempurna sifat-sifat Tuhan? Para Rishi dan Acharya kita mengalaminya dalam kesempurnaan mereka. Tetapi insan-insan yang belum sempurna tidak mampu seperti itu. Maka para Rishi dan Acharya, dengan belas kasihnya mencoba menguraikannya dengan kata-kata, walaupun tidak dapat secara sempurna, karena kata-kata duniawi juga terbatas.
Begitu juga Rupa dari Sri Bhagavan. Para Rishi dan Acharya tidaklah mengkhayalkan wujud-wujud itu secara membuat-buat. Mereka sungguh-sungguh melihat-Nya. Lalu untuk membantu kita yang belum sempurna ini menjadi lebih terstimulasi, dideskripsikanlah Rupa Tuhan yang sesungguhnya tidak dapat digambarkan itu. Setetes madu dari samudera madu tetap terasa manis. Begitu pula gambaran atau citra lahiriah dari Tuhan yang sepenuhnya rohani juga memiliki keserupaan dengan Beliau. Para Rishi dan Acharya dapat menggambarkan Tuhan, karena mereka sungguh-sungguh dapat melihat Tuhan. Mereka bagaikan seorang seniman yang memperkenalkan objek lukisan melalui lukisan karyanya.
Kita tidak bisa menyalahkan kalau orang lain keberatan dengan penggambaran Tuhan dalam Srimurti, karena para Acharya mereka mungkin memang tidak dapat melihat Tuhan seperti para Acharya kita. Sehingga mereka mencegah pengikutnya membuat perwujudan yang tentu saja sepenuhnya akan bersifat imajinatif. Bentuk-bentuk imajiner seperti ini pun juga merupakan hal yang harus dihindari oleh umat Hindu. Kita tidak pernah memuja objek khayal yang tak pernah ada, atau yang hanya ada dalam pikiran kita saja. Tetapi orang lain pun tidak berhak mengatakan umat Hindu atau para Rishi dan Acharyanya salah. Kalau kita mengakui bahwa Tuhan adalah yang maha tak terbatas, lalu siapa yang dapat menjamin bahwa dalam segala keterbatasannya, manusia dan agamanya bisa mengetahui seluruh kebenaran tentang Tuhan?
Kemudian perhatikanlah secara logika betapa anehnya pendapat Tuan Naik di bagian awal ini. Dia mengakui bahwa Tuhan Yang Mahakuasa bisa bernama Vishnu. Dia bahkan mengakui bahwa Tuhan juga memiliki aktivitas (Lila), yaitu dalam hal ini memelihara ciptaan-Nya. Bahkan sifat atau Guna dari Tuhan juga bisa diekspresikan dengan nama ini, misalnya kasih sayang dan belas kasih-Nya pada semua ciptaan, karena Beliau adalah Sang Pemelihara. Lalu apa sulitnya memahami bahwa Tuhan Yang Maha Esa Sri Vishnu juga memiliki Rupa. Hanya sayangnya Tuan Naik atau nabi yang ajarannya diyakini Tuan Naik tidak pernah atau tidak mampu melihat Rupa Sri Vishnu. Bukan salah para Rishi dan Acharya Hindu bila mereka mampu sepenuhnya menginsafi Nama, Guna, Lila, dan Rupa Tuhan. Bukan salah mereka juga bila mereka berusaha sedapatnya menggambarkannya kepada kita untuk mempermudah umat Hindu memusatkan pikiran, mengarahkan hati, dan mengembangkan cintanya lebih dalam kepada Tuhan Sri Vishnu. Para Rishi dan Acharya pun sadar bahwa sarana-sarana fisik seperti kata-kata dan ukiran tidak dapat secara sempurna menggambarkan Tuhan. Namun dalam Agamasastra dinyatakan bahwa Tuhan dengan kemurahan hati-Nya bersedia memanifestasikan Diri-Nya dalam keterbatasan itu, demi menerima persembahan cinta yang paling remeh sekalipun dari para hamba-Nya. Inilah Archa-avatara atau Srimurti dalam Hindu. Para Rishi dan Acharya tidak saja sekedar menggambarkan kembali Rupa menakjubkan dari Sri Bhagavan kepada umat awam, namun mereka dalam keadaan anubhava-nya, yaitu ketika kesadarannya sepenuhnya berada dalam tataran rohani yang sama dengan Tuhan Yang Maha Esa, ketika mereka berhadapan dan berinteraksi secara langsung dengan Sang Kebenaran Mutlak Tertinggi itu, dalam keadaan yang mahaluhur ini mereka lalu mengungkapkan bahwa Sri Bhagavan Yang Mahamurah hati dapat berkenan untuk hadir dalam Rupa-Nya yang dibentuk dari bahan-bahan duniawi demi menerima persembahan cintakasih yang tulus dari pemuja-Nya. Para Rishi lalu merumuskan pula metode-metode tertentu untuk mengundang belas kasih Tuhan dan perkenanan-Nya agar bermanifestasi dalam wujud-Nya yang terbatas itu. Inilah yang dijelaskan secara terperinci dalam Agamasastra seperti Pancaratra dan Vaikhanasa-grantha.
Lihatlah bagaimana lengkapnya para Rishi dan Acharya mengungkapkan jalan kesempurnaan tertinggi menuju Sri Bhagavan, yang sepenuhnya berdasarkan atas keinsafan dan pengalaman nyata. Mereka telah mengalami sendiri Sri Bhagavan itu, mereka telah mengenal-Nya, berhubungan dengan-Nya, dan sepenuhnya berada dalam kesadaran yang rohani dalam tataran yang sama dengan Beliau. Apapun yang mereka ketahui adalah merupakan keinsafan yang nyata. Bukanlah sekedar informasi yang disampaikan secara sepihak kepada orang-orang tertentu yang dikatakan dipilih oleh Tuhan. Lalu mereka juga tidak menempatkan diri sebagai orang-orang istimewa, sebagai satu-satunya makhluk yang pernah berinteraksi dengan Tuhan dan menuntut agar seluruh umat manusia percaya penuh pada apa yang mereka katakan. Para Rishi kita mengajarkan metode untuk mencapai kesempurnaan keinsafan rohani yang sama itu, membaginya bersama seluruh umat manusia, agar semua jiva yang terikat dapat melepaskan dirinya dari belenggu keduniawian dan mencapai kesempurnaan yang sama, pengalaman nyata yang sama dengan mereka. Inilah para Rishi kita.
Mereka tidak hanya berkata, “Saya mengenal Tuhan. Percayalah kepada saya, kalau tidak kalian akan disiksa di neraka!” Tidak. Mereka mengajak kita untuk turut mengalami sendiri Tuhan itu secara nyata dan sempurna. Bagi para Rishi yang mencapai keinsafan rohani terhadap Rupa Rohani Sri Bhagavan, mereka tidak hanya berkata, “Saya sudah melihat Tuhan dan wujud-Nya seperti ini...” Para Rishi dan Acharya tidak berhenti sampai di sana saja. Seperti dijelaskan sebelumnya mereka menyadari bahwa Rupa Rohani ini tidaklah mungkin dipersepsi oleh indera-indera insan yang terikat keduniawian. “Baiklah, menurut petunjuk saya kalian bentuklah sebongkah batu yang dapat kalian lihat dengan mata ini seperti Wujud Rohani yang telah saya lihat.” Lalu insan-insan yang sempurna ini mengingat bahwa dalam kesempurnaannya mereka telah dapat melakukan pelayanan secara langsung dan mengungkapkan cintanya kepada Sri Bhagavan secara langsung. Tapi bagaimana dengan orang-orang biasa? Tanpa melatih memusatkan aktivitas fisik dan mentalnya kepada Sri Bhagavan, maka cintakasih yang murni kepada Sri Bhagavan tidak mungkin dapat berkembang dalam hatinya. Mereka berpikir, “Bila tidak memiliki kesempurnaan cintakasih rohani seperti kita, bagaimana orang-orang biasa dapat melaksanakan pelayanan kepada Sri Bhagavan? Cinta ini adalah satu-satunya tujuan. Dan satu-satunya cara untuk mencapai cinta itu tiada lain adalah dengan jalan cinta pula. Dengan menyempurnakan perasaan cintanya kepada Sri Bhagavan, maka mereka akan mencapai kesempurnaan tertinggi sebagaimana yang telah kita capai. Tapi tanpa melatihnya bagaimana cinta seperti itu dapat tumbuh. Baiklah kita memberitahu mereka agar melakukan hal-hal ini terhadap Rupa Sri Bhagavan yang telah berusaha mereka wujudkan sebaik-baiknya dari sarana duniawi. Apabila dengan mereka memohon dengan tulus, maka Sri Bhagavan yang penuh belas kasih, melalui kekuatan-Nya yang tak terbatas dan tak dapat dipahami akan bersedia menghadirkan Diri-Nya dalam citra ini. Lalu mereka dapat melaksanakan pengabdian suci, mempersembahkan pelayanan cintakasihnya kepada Beliau secara langsung. Sri Bhagavan oleh karunia-Nya yang tiada bersebab akan menerimanya, karena kini citra ini tiada berbeda dengan Diri-Nya.” Inilah yang kita kenal sebagai Srimurti, Archa-avatara yang paling murah hati. Sesungguhnya Beliau hadir dalam rupa Archa-Nya bukan karena hasil imajinasi atau kreativitas, bukan sekedar sarana untuk memusatkan pikiran, melainkan karena kehendak-Nya yang istimewa, karena kemurahan hati-Nya. Para Rishi dan Acharya kita adalah saksinya, mereka adalah para pelihat Kebenaran, dan mereka mengungkapkannya kepada kita, pada umat Hindu yang beruntung.
Konsep pemujaan Srimurti dalam Hindu bukanlah praktik keagamaan yang remeh, untuk pemula, atau ciptaan orang-orang primitif yang bodoh. Ini adalah konsep spiritual yang paling mulia, paling efektif, dan paling logis. Logis karena kita sungguh-sungguh memuja Tuhan yang nyata, yang benar-benar dikenal, yang sejati, dan penuh belas kasih serta kemurahan hati.
Keinsafan yang mendalam terhadap hubungan yang begitu karib, begitu nyata, dan begitu dalam antara Tuhan dengan makhluk-Nya, antara Parabrahman Sri Bhagavan dengan Jivatman, dihadirkan sepenuhnya pada konsep pemujaan Srimurti dalam Hindu. Relasi rohani ini terbangun tidak saja pada kesempurnaan kita kelak, namun sedari keadaan kita yang terikat saat ini. Melalui konsep ini Veda dan Agamasastra menyatakan bahwa dalam keadaan apapun Tuhan tidak terpisahkan dari kita, Beliau selalu bersama kita. Tuan Naik dan rekan-rekannya yang keinsafannya tidak mampu melampaui dualitas alam fana ini, yang begitu terikat dengan konsep-konsep duniawi, tidak mampu memahami kedalaman ajaran Veda ini. Sehingga sungguh tidak masuk akal bila seseorang seperti itu berkomentar, menilai, menyatakan setuju atau tidak setuju, dan menyatakan benar atau salah pada sesuatu yang tidak dikenalnya dengan baik. Untuk orang-orang yang berpendapat negatif terhadap Srimurti, kita hanya menyarankan agar mereka menerima dan melaksanakan dahulu praktik spiritual Hindu ini dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya, barulah kemudian berkomentar. Bila mereka tidak mau, sebaiknya tidak usah berbicara.
Label:
hindu,
teologi,
zakir naik vs ravi shankar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pb ini berupa video, atau dimana? saya menunggu complete dialog itu... nanti saya akan mengundang beberapa temen mahasiswa untuk mendiskusikan ini. sebelumnya ada beberapa hal yang perlu kita ketahui:
BalasHapus1. siapa penyelenggaranya
2. tujuan dialog
3. Apa hasil dialog tersebut.. apakah something peace come from that dialog?
4. Materi ini perlu didiskusikan dengan baik, tapi sebelumnya... saya akan menelaah bagaimana maharaj Bhaktisvarup jika beliau yang diajak dialog... Beliau interfaith khan sering...
5. dari sana kita akan belajar: bagaimna jika itu terjadi pada kita? makanya kita perlu siapin diri.. tentunya dengan cara yang memang benar.. tanpa amarah sehingga dialog itu menjadi hal yang bertuah dan damai..
sandya
Saya akan coba attached trancribenya berupa file pdf. Silakan dicoba link ini http://www.scribd.com/doc/8690566/Sri-Sri-Ravi-Shankar-Zakir-Naik-Dialogue-2112006
BalasHapusIni awalnya memang suatu dialog yang tujuannya damai, yaitu membahas buku yang disusun oleh HH Sri Sri Ravi Shankarji yang menurut beliau tujuannya agar Hindu-Muslim bisa bersatu.
Tapi isi buku itu dikritisi oleh Dr. Naik, dia ingin meluruskan pandangan Sri Sriji yang dianggapnya salah mengenai Islam. Tapi saya juga melihat kesalahan pada pandangan Dr. Naik terhadap Hindu dan yang menjadi masalah pendapat Dr.Naik sudah tersebar di mana-mana lewat dunia IT ini dan dianggap sebagai suatu yang otoritatif oleh "pendukungnya".
Saya menyampaikan kesalahan-kesalahan itu (walau cuma beberapa poin saja dulu sebagai contoh) seperti dia menunjukkan kesalahan Sri Sriji di depan forum. That's it
menurut_q belum prnh ada seorangpun yang pernh melihat tuhan.
BalasHapusdalam al qur'an dan injil , manusia tidak patut mnymbh berhala (patung)...
karna berhala sndiri di buat oleh manusia,
apakah berhala tersebut bisa memberikan penymbhnya rizky....
tidak mungkin karna berhala itu hanya benda mati.
dan jelas di tulis dalam yajurveda bahwa tuhan tidak berupa pating atau foto...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushttp://zilzaal.blogspot.co.id/2012/04/muhammad-adalah-nabi-terakhir-yang.html
BalasHapussilahkan baca artikel ini
jelas jelas di sebutkan bahwa pembaharu dan pembawa pesan terakhir adalah orang yg menunggang unta dan berjanggut bukan oarang yg berkumur
itu ada di kitab anda pak penulis
silahkan kasi komentar
kita diskusi sehat
tidak ada niat menyudutkan atau melecehkan
agama manapun hanya bertujuan mencari kebenaran yang hakiki
berkuncir maksudnya yg di atas bukan berkumur
BalasHapusLalu... Na Tasya pratima asti... itu maksudnya apa..???
BalasHapusPenjelasannya ko' malah sama sekali tidak menyinggung kalimat itu.??
Baca penjelasan sy dibawah. Silahkan search kata Brahman di google.
HapusBuat admin. Seharusnya porsi Tuhan tanpa wujud nya (aspek yang tidak berpribadi (imperso-nal)) yg lebih banyak porsinya.
BalasHapusIstilah "Tuhan" inilah sebenarnya sumber masalahnya. Kenapa? karena di kitab semua agama tdk ada kata "Tuhan atau God". Kemudian pd saat sama sama menggunakan kata "Tuhan" masing2 orang punya penafsiran masing2. Pada umumnya agama lain beranggapan Tuhan itu ya suatu wujud tertentu yg blm diketahui rupanya.
Brahman yg merupakan aspek tanpa wujud apapun dan tanpa batas tanpa awal tanpa akhir, permanen, tdk berubah, kadang diterjemahkan kebenaran itu satu atau Tuhan itu satu. kata Tuhan dlm hal ini bukan suatu dewa (atau apapun istilahnya) yg berwujud.
Ayat / sloka tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa realitas atau eksistensi yg permanen itu adalah Roh / atma / Bramnan yg tentu saja tanpa wujud apapun ada dimana2.
Masalah wujud dewa itu tdk ada hubungannya dg ayat / sloka tersebut.
Wujud itu manifestasi. Wujud pada dasarnya bisa apa saja.
Sedangkan zakir naik tdk mengerti ada 2 aspek tanpa wujud dan aspek wujud. Zakir hanya tahu wujud dan wujud yg bm diketahui. Sehingga ayat / sloka tersebut diartikan berbeda.
Penjelasan anda terlalu berputar-putar dan tidak masuk akal dan logika.. saranku untuk penulis, belajar lagi filsafat.. penulis tidak bisa berdakwah kalau penulis sendiri tidak mengerti apa yang penulis katakan..
BalasHapus