Jumat, 08 Mei 2009

Pelangi, pelangi, alangkah indahmu...

Tuan Zakir Naik berkata, “Sri Sri Ravi Shankar menulis dalam bagian pertama bukunya tentang percaya kepada satu Tuhan. Hinduisme telah dipahami sebagai satu agama yang memuja banyak tuhan tapi berlawanan dengan pengertian ini, Hindu percaya pada satu Tuhan. Saya 100% setuju dengan beliau sebagaimana telah saya sampaikan dalam wacana saya.”

“Lebih lanjut beliau berbicara bahwa Hindu percaya advaitha non-dual monotheism. Walaupun tujuh warna membentuk pelangi, namun sesungguhnya dia berasal dari cahaya putih, satu cahaya putih. Begitu pula 33 crores devi dan devata, para dewa dan dewi berasal dari cahaya paramathma yang tunggal. Membandingkan tujuh warna pelangi ini yang berasal dari satu sinar putih dengan 33 crore devi dan devatha yang berasal dari sinar satu paramathma, saya merasakan sulit diterima akal karena saya adalah seorang dokter dan murid sains juga. Kita tahu bahwa dalam sains dikatakan sinar tersusun atas tujuh warna MEJIKUHIBINIU, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, tetapi masing-masing warna sinar ini bukanlah sinar putih dengan sendirinya. Semua ketujuh warna dalam proporsi yang tepat akan membentuk satu sinar putih. Masing-masing warna individual ini bukanlah sinar putih; dan jikalau satu warna hilang maka sinar putih tak akan terbentuk. Dengan mengumpamakan 33 crores devi dan devatha sebagai sinar dari satu paramathma, adalah seperti mengatakan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa memiliki 33 crore anggota tubuh seperti sesosok tubuh manusia yang punya sekitar 11 bagian: 2 kaki, 2 tangan, 1 kepala, 1 leher, 1 dada, 1 perut, 1 panggul; tapi masing-masing bagian tidaklah membentuk tubuh manusia yang lengkap. Semua bagian ditempatkan dalam posisinya yang tepat barulah menjadi tubuh manusia sempurna. Bila salah satunya hilang, itu bukan tubuh manusia yang lengkap. Menggunakan contoh ini untuk mengatakan 33 crore sama dengan satu Tuhan, atau Tuhan memiliki 33 crore bagian, ini saya tidak setuju dan bila satu bagian hilang maka tidak akan jadi satu Tuhan yang lengkap.”

Argumen Tuan Zakir untuk memotong argumen Sri Sri Ravi Shankar mengenai para devi dan devatha Hindu sekilas tampak sangat meyakinkan. Tetapi kedua argumen ini, baik yang diajukan maupun yang ditentang sama sekali tidak dapat menjelaskan apapun mengenai para devi dan devatha. Dalam siddhanta-siddhanta Sampradaya terpercaya tidak ada pengetahuan berdasar lemah semacam ini. Srimadacharya Madhva sudah terlebih dahulu mengritik para sarjana mayavada yang menggunakan perbandingan-perbandingan duniawi untuk menjelaskan Parabrahman secara tidak tepat. Memang harus diakui bahwa dalam tataran duniawi sangat sulit menyampaikan karakteristik Parabrahman tanpa menggunakan perumpamaan yang sifatnya fana, seperti memperbandingkan Parabrahman dengan samudera, angkasa, dsb. Namun semua ini harus diterapkan dengan kesadaran penuh bahwa semua penjelasan duniawi atau perbandingan duniawi tidaklah mampu menggambarkan secara tepat dan sempurna Kebenaran Mutlak Tertinggi itu. Sehingga menjadi sia-sia bila kita memperdebatkan hal-hal duniawi semacam yang dilakukan oleh Tuan Naik.

Semua orang Hindu yang paling bodoh pun tahu bila Parabrahman, Sri Bhagavan, sekalipun diumpamakan sebagai pelangi untuk menjelaskan sebagian aspek kemahakuasaan-Nya, tetapi Beliau bukanlah pelangi. Tidak ada gunanya mengkaji lebih jauh tentang ilmu perpelangian atau ilmu sinar untuk menyatakan hubungan Sri Bhagavan dengan para devi dan devatha. Kita semua mengetahui bahwa Tuan Naik selain seorang ilmuwan (dokter) juga adalah sarjana perbandingan agama. Beliau tentu sudah mempelajari teks-teks Veda, dan memang sepanjang wacana dan perdebatannya bersama Sri Sri Ravi Shankar beliau selalu mengutip teks-teks Veda tertentu. Namun kita juga tahu bahwa Tuan Naik mempelajari Veda tanpa keinsafan rohani apapun. Beliau mempelajari Veda hanya sekedar untuk mencari pembenaran atas agamanya dan mengungkap kesalahan-kesalahan dalam Hindu. Tuan Naik mempelajari Veda tanpa sedikitpun memiliki kualifikasi terendah yang harus dimiliki oleh seorang anak yang baru memasuki Veda-pathasala atau Gurukulam, yaitu pranipatya, penyerahan diri. Sehingga dengan demikian beliau hanyalah memiliki pemahaman yang dangkal atas teks-teks suci Veda, yang tentu tidak sama dengan kitab sucinya yang hanya sebatas kumpulan sejumlah kecil ayat-ayat yang diperuntukkan bagi orang-orang tak berbudaya di padang pasir. Bagaimana kita mengharapkan seorang yang dibesarkan dalam budaya intelektual yang sama sekali tak dapat melampaui ketakterbatasan semesta dapat menggapai keinsafan mengenai Kebenaran Mutlak yang jauh lebih luhur dari alam semesta ini?

Paling tidak kita bisa menyuruhnya membaca Bhagavad-gita seperti seorang anak yang baru masuk Gurukulam, bukan sebagai sarjana atau Pandita Veda. Sejumlah besar deva yang disebutkan dalam tradisi Hindu dengan jelas sekali sudah diuraikan dalam Adhyaya Vibhuti Yoga (Bab 10) Bhagavad-gita. Saya tidaklah perlu menjelaskannya lagi karena Paramgurupadapadma kami, Srila Prabhupadaji Maharaja sudah menyusun Bhagavad-gita Menurut Aslinya dengan penjelasan yang sangat rinci. Jadi untuk menjawab masalah devi-devatha ini, anda cukup membaca dari satu Adhyaya Vibhuti Yoga ini. Mengenai perumpamaan bahwa para devi-devatha adalah bagian dari tubuh semesta Tuhan, juga bisa dipelajari dari Bhagavad-gita Adhyaya 11 mengenai Visvarupa-darsana. Saya yakin bahkan orang paling bodoh pun dapat memahami penjelasan Srila Prabhupadaji Maharaja bila dia sungguh-sungguh mempelajari Gita dengan semangat yang benar.

Sayangnya Tuan Naik saya yakin akan menolak membaca Gita dari Srila Prabhupadaji Maharaja karena beliau akan berkelit dengan mengatakan bahwa Bhagavad-gita adalah smrithi-sastra jadi tidak memegang otoritas tertinggi dalam Hindu (Veda). Ini tampak dari awal wacana beliau mengenai hirarki sastra-sastra Veda. Lalu lebih jauh lagi bahwa Srila Prabhupadaji Maharaja menerjemahkan dan mengulas Bhagavad-gita dengan semangat yang bersifat sektarian, toh Srila Prabhupada adalah hanya seorang tokoh dari satu sekte Hindu. Ini asumsi saya pribadi berdasarkan pengalaman saja, mungkin benar demikian mungkin juga tidak. Tetapi andaikan prediksi dan asumsi saya ini benar adanya, maka keberatan pertama adalah alasan kekanak-kanakan dari seorang yang belum pernah hidup dalam tradisi Veda yang sebenarnya. Siapa dirinya sehingga dia merasa mampu memahami sruti-sastra dengan sendirinya tanpa berpegang pada otoritas sastra Veda lainnya. Apakah beliau setara dengan para penyusun smriti-sastra sehingga merasa layak untuk mengabaikan pengetahuan mereka dan lebih memilih mempelajari dan menjelaskan sruti-sastra secara langsung dengan keinsafan dari padang pasirnya? Hanya dengan membaca argumennya mengenai perumpamaan sinar-warna pelangi dan tubuh manusia kita sudah bisa melihat bahwa kesadaran dan keinsafan rohani beliau tidak mampu melampaui konsep kebendaan yang fana. Bagaimana bisa memahami pengetahuan yang melampaui segala keduniawian? Keberatan kedua hanya dapat dipahami sebagai pendapat seorang yang juga tidak memahami Veda. Di luar apakah seseorang mengakui atau tidak Srila Prabhupadaji Maharaja adalah otoritas terpercaya dalam tradisi Veda, paling tidak beliau menyusun Bhaktivedanta-Gitabhasyanya segaris dengan Gitabhasya para Acharya seperti Sri Ramanuja, Sri Madhva, Sri Jiva, Sri Baladeva, dsb, dan dibentuk sebagai paduan komprehensif banyak pramana dari berbagai sastra Veda, sruti, smriti, purana, dan itihasa. Bayangkan berapa banyak Acharya terkemuka yang harus kita tentang dan berapa banyak sastra Veda yang harus kita sangkal untuk menyatakan bahwa Bhaktivedanta-bhasya dalam Bhagavad-gita Menurut Aslinya adalah palsu?

Apabila beliau juga tidak mampu juga menerima Gita, lalu mengapa beliau yang adalah seorang sarjana perbandingan agama melupakan pernyataan Isavasya-upanishad? Sudah jelas dikatakan bahwa Parabrahman adalah OM PURNAM. Semua siswa Veda mengetahui mantra ini dengan baik. Parabrahman adalah kesempurnaan, sempurna dan lengkap. Walaupun begitu banyak kesatuan yang lengkap dan sempurna memancar dari Beliau, namun Beliau tetap sempurna dan lengkap. Kalau Tuan Naik masih bersikukuh mendebat perumpamaan pelanginya Sri Sri Ravi Shankar, maka pertama dia harus ingat, tidak ada umat Hindu yang cukup bodoh untuk berpikir bahwa Tuhan adalah pelangi. Tuan Naik bisa saja juga mengatakan bahwa dirinya setuju dengan pendapat saya ini, tapi nyata dari argumennya bahwa dia tidak dapat melepaskan dirinya dari konsep pelangi duniawi. Andaikan Parabrahman diumpamakan pelangi, maka Beliau bukanlah seperti satu-satunya pelangi yang diketahui Tuan Naik, pelangi fana. Parabrahman adalah bagaikan pelangi rohani, yang sekalipun tujuh warna sinar berasal dari satu sinar putih, tetapi tujuh warna ini tidak memberikan efek pengurangan apapun pada sinar tunggal yang menjadi asalnya. Benda duniawi seperti samudera juga bisa dipakai sebagai perumpamaan. Bila Parabrahman adalah samudera, maka manifestasi kemewahan Beliau (yang disebut vibhuti dalam Gita) adalah tetes-tetes air dari samudera itu. Maka kita dapat mengatakan bahwa bila setetes air diambil dari samudera berarti itu bukan samudera yang lengkap. Itu adalah samudera minus satu tetes air. Inilah pemahaman duniawi yang persis sama dengan analisa Tuan Naik tentang pelangi dan tubuh manusia. Tetapi Parabrahman adalah samudera rohani. Sebagaimana dinyatakan oleh mantra om purnam..., maka jangankan setetes air, tapi segentong, sewaduk, atau bahkan air satu samudera lain bila memancar dari samudera Parabrahman, maka airnya tetap tidak berkurang, tetap sebagai satu samudera yang lengkap dan sempurna. Inilah yang dinyatakan oleh Veda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking