Ketidaksetujuan filosofis tentu saja ada. Tetapi keempat denominasi utama ini (Vaishnava, Saiva, Sakta, Smarta) telah mencapai kedudukannya yang mapan dalam dunia Hindu. Perlu diperhatikan pula bahwa Sanatana Dharma meyakini bahwa setiap jivatma memilih jalan rohani yang akan ditempuhnya berdasarkan atas guna (sifat bawaan) dan karmanya (perbuatan dan pahala perbuatannya) masing-masing. Tak seorangpun dapat memaksakan mengubah keyakinan seseorang atau ketertarikan internalnya terhadap suatu konsep ketuhanan. Segala sesuatunya berjalan secara alamiah. Masing-masing mazhab utama dalam Hindu ini diyakini juga mewakili bakat, minat, dan ketertarikan manusia yang paling mendasar terhadap kerohanian. Dengan masing-masing caranya yang unik, keempatnya memenuhi kebutuhan rohani para pengikutnya sesuai dengan keadaan alamiah mereka. Bagi para bijak Veda, dorongan rohani alamiah yang bersumber dari sang roh secara pribadi, dengan alasan apapun tidak berhak dicampuri secara eksternal oleh siapapun. Para penganjur, penyebar, dan guru-guru dari masing-masing denominasi mengutarakan kebenaran yang sesuai dengan keinsafan rohani yang diterima dalam garis perguruan dan ordonya. Mereka berbicara dengan kejujuran, bahkan sering berkata-kata keras mengenai ajaran garis perguruan lain, namun ini hanya berada pada tataran filosofis dan intelektualitas saja. Mereka tidak memaksakan ajarannya agar diterima oleh masyarakat. Bahkan adalah hal yang biasa seorang Vaishnava menerima guru Saiva dengan hormat di rumahnya, sekalipun dia tidak sependapat dengan pemaha-man filosofisnya. Begitu pula dengan masyarakat Sakta dan Smarta.
Sebagai contoh, perguruan Sankara dan Vaishnava boleh dikatakan musuh bebuyutan yang selalu saling serang dan bahkan saling hujat dengan berbagai karya filosofisnya. Tetapi ketika kedua Acharyanya bertemu di luar perdebatan filsafat, mereka duduk berdampingan dan saling menghormati. Begitu pula para pengikutnya. Para Vaishnava selalu menyebut ajaran Sankara sebagai mayavada (paham khayalan) dan pasanda (atheis dungu) serta selalu bersikap menentang paham mereka. Walau demikian ketika Acharya mereka atau bahkan seorang sannyasi biasa dari ordo Sankara datang, seorang perumahtangga Vaishnava bersujud kepadanya dengan hormat. Begitu pula sebaliknya. Inilah etika dalam masyarakat Veda. Tidak ada perselisihan pendapat yang berakhir dengan upaya saling memusnahkan.
Dalam sejarah kita mengenal Krishnadevaraya, Maharaja Vijayanagar, penguasa kerajaan terbesar di India Selatan yang melindungi agama Hindu selama beberapa abad. Dia adalah seorang Vaishnava yang menerima inisiasi dari Sri Vyasa Tirtha atau Vyasaraja, salah satu Acharya terbesar dalam garis perguruan Madhva. Pengaruh Vyasaraja bagi Vaishnava Madhva adalah ketiga setelah Jayatirtha dan Madhvacharya sendiri. Vyasaraja juga bertindak sebagai pendeta utama, guru kerohanian, dan penasehat tertinggi kerajaan Vijayanagar. Maharaja Krishnadevaraya bahkan mendudukkan guru Vaishnava ini di atas singgasananya sendiri dan memuja kakinya, menyebutnya sebagai Kuladevata, junjungan seluruh dinastinya. Anda bisa bayangkan bagaimana posisi politis yang bisa didapatkan oleh mazhab Vaishnava di masa itu. Krishnadevaraya membangun, memperindah, dan memberikan banyak sumbangan harta kepada tempat-tempat suci Vaishnava seperti Thirupathi, Kanchi Varadaraja, Srirangam, dan sebagainya. Tetapi Krishnadevaraya juga membangun tempat-tempat suci Saiva seperti Chidambaram, Thiruvana-malai, Sri Kalahasti, dan lain-lain. Sekalipun dia seorang Maharaja berkuasa yang menganut Vaishnava tetapi tak pernah sekalipun dia menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan paham-paham lain. Begitu pula Sri Vyasaraja tentu bisa saja memerintahkan seorang maharaja, yang baginya adalah seorang murid yang tunduk di bawahnya, melakukan pemusnahan semua paham non-Vaishnava. Tetapi hal ini tidak pernah terjadi. Itulah keunikan Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar