Kamis, 30 April 2009

Konsep Ketuhanan Hindu (2)

ADVAITA DAN DVAITA
Masyarakat dunia saat ini khususnya umat Hindu memiliki ketertarikan dan semangat yang semakin besar dalam mempelajari pemikiran-pemikiran rohani yang terkandung dalam Veda. Sekarang mungkin hampir semua umat Hindu sudah pernah mendengar istilah-istilah filsafat Veda-Vedanta seperti Advaita, Dvaita, Visista-advaita, dan sebagainya. Selama ini dalam banyak tulisan tokoh cendikiawan Hindu berbahasa Indonesia, baik berupa karya orisinal maupun terjemahan, terdapat pemahaman yang bias terhadap konsep Advaita dan Dvaita dalam Veda. Terutama tidak ada orang yang menjelaskan Dvaita-vedanta dari penganutnya sendiri.
Dvaita hampir selalu dijelaskan berdasarkan sudut pandang seorang penganut Advaita atau sudut pandang seorang peneliti agama Hindu yang bukan praktisi (sadhaka) seperti para indolog Barat. Kevala Advaitavada yang diajarkan Sankara sangat dipengaruhi oleh pemahaman mengenai Sunyavada-Nirviseshavada (filsafat yang menekankan kekosongan dan tanpa sifat dari Kebenaran Mutlak), mirip seperti konsep Tathata Buddhisme. Sesungguhnya Sankara mendasarkan pemikirannya pada jalan pemahaman gurunya, Sri Gaudapada. Karika-karika atas Agamasastra dari Gaudapada sangat dipengaruhi oleh pemikiran Madhyamika Nagarjuna dan Yogachara dari Asangha–Asvaghosa yang merupakan denominasi filsafat Buddhisme Mahayana. Gaudapada tidak melakukan rujukan apapun pada Badarayana Sutra dari Maharishi Vedavyasa. Tugas untuk menyesuaikan pandangan Gaudapada dengan Vedanta-Badarayana Sutra serta Upanishad dilaksanakan oleh Sankara. Inilah yang menghasilkan pemahaman Advaita sekarang, yang terutama dianut oleh banyak cendikiawan Hindu modern, termasuk Dr. Radhakrishnan. Terjemahan Upanishad-upanishad utama oleh Radhakrishnan bersifat Advaitik dan disusun berdasarkan pemahaman akan keunggulan Advaitavada atas semua sistem filsafat lainnya, ditambah sudut pandang kebarat-baratannya yang bias.
Sebenarnya turut hidup dalam keluarga besar Hindu ini adalah keinsafan akan Tuhan yang berpribadi dengan pemahaman Vedanta yang bersifat Dualistik (Dvaita). Vedanta yang bersifat dualistik menekankan pada perbedaan dan keunggulan Brahman di atas semua kenyataan (tattva) lainnya. Walau demikian, sedikit yang mengetahui bahwa Advaitavada dan Dvaitavada sesungguhnya adalah dua jalan keinsafan rohani yang berbeda, dengan awal dan tujuan yang berbeda pula.
Keduanya saat ini memang memperoleh tempat dan otoritasi di dalam dunia Hindu, yang sejajar dan saling menghormati. Tetapi tetap saja pengertian yang dipahami atas tiga topik Vedanta, yaitu Tuhan (isvara), roh (cit), dan alam (acit) berbeda, sehingga tujuan serta sarana yang digunakan untuk mencapainya juga berbeda. Tujuan tertinggi yang disebut moksa dipahami secara berbeda oleh Advaitavadi dengan Dvaitavadi. Keadaan moksa yang diinginkan oleh kedua pihak ini tidak sama.
Para penganut pemahaman Dvaitavedanta pada umumnya adalah perguruan-perguruan Vaishnava dan Bhagavata. Sayangnya kita tidak banyak mengetahui hal tersebut karena kurangnya pengetahuan mengenai Dvaita di Indonesia. Hal ini tentu saja diakibatkan cukup sulitnya mendapatkan sumber-sumber pustaka Dvaita dalam bahasa yang dapat diakses oleh kebanyakan orang Indonesia. Sampai paling tidak tahun 1960-an mungkin tidak ada sastra dan komentar dari perguruan Bhagavata atau Vaishnava yang tersedia secara luas dalam bahasa non Sanskrit dan Prakrit India.
Jadi selama ini Dvaita atau Bheda-vada selalu dijelaskan berdasarkan pemahaman Advaitavada, sehingga terkesan bahwa selalu dihadirkan pemikiran Dvaita merupakan tangga untuk memasuki pemahaman Advaita. Jadi pendakian kesempurnaan keinsafan diri dimulai dari Dvaita, yang diartikan sebagai dualitas atau pluralitas. Menurut mereka Dvaita merupakan keterpisahan antara jivatma dengan paramatma atau Brahman. Kemudian kesempurnaan tertinggi yang disebut moksa didefinisikan sebagai bersatunya atman dengan Brahman. Atman (roh individual) menunggal dengan Brahman. Atman tidak bisa lagi dibedakan dengan Brahman, kembali menyatu dengan sumbernya. Beberapa justru membuatnya lebih tegas lagi yaitu atman telah kembali lagi menjadi Brahman. Pemahaman Advaita adalah pemahaman akan kondisi ini, yaitu menyadari bahwa atman dengan Brahman adalah satu, sehingga Advaita menjadi identik dengan moksa. Advaita dimengertikan sebagai “memahami pengetahuan mengenai itulah yang sesungguhnya terjadi dalam keadaan moksa”. Dengan demikian akan tampak bahwa Advaita mengandung keinsafan rohani yang lebih tinggi daripada Dvaita. Pengertian seperti ini mungkin benar bagi penganut Advaitavada, tetapi tidak bagi Dvaitavada.
Sekali lagi, apabila sebagian besar cendikiawan Hindu berpikir seperti itu, maka hal ini bukanlah sesuatu yang tidak wajar, karena mereka hampir semua berlatar belakang Advaitavadi atau paling tidak menerima pendidikan sedari awal didasarkan pada keyakinan Advaita. Saat ini, apabila Anda secara acak saja mempelajari sebuah buku yang populer mengenai filsafat Hindu, maka kemungkinan besar Anda tengah mempelajari pemikiran Advaitavada. Penjelasan mengenai Advaita sangat mudah diperoleh dalam buku-buku Hindu yang kebanyakan beredar.

Rabu, 29 April 2009

Konsep Ketuhanan Hindu (1)

Sewajarnya apabila kita berbicara mengenai ketuhanan, maka kita haruslah mencari konsep yang tertinggi. Upanishad merupakan kesimpulan dari berbagai konsep ketuhanan Veda, dan Vedanta merupakan kesimpulan dari semua Upanishad. Suatu hal yang menarik dari konsep Ketuhanan dalam Vedanta adalah dikenalnya Personalisme dualistik (pluralistik) yang mengarah pada monotheisme-murni (berbeda dengan personal monotheisme Abrahamik) dan Impersonalisme non-dualistik yang mengarah pada pantheisme dan monisme.
Sripada Adi Sankaracharya terutama mengajarkan Advaita, Vedanta non-dual, suatu bentuk pemahaman dan ajaran yang menyatakan kemanunggalan segala-galanya, suatu pemikiran dan ulasan atas Veda-vedanta yang bersifat monistik dan impersonalistik. Hingga hari ini beliau tetap menjadi salah satu tokoh yang pengaruhnya paling besar dalam pemahaman filsafat Veda, dengan sejumlah besar perguruan atau sekolah-sekolah pemikiran di seluruh India dan juga dunia, yang masih mendasarkan ajarannya pada pemikiran Adi Sankara. Banyak ulasan-ulasan dan tafsir atas sastra Veda ditulis oleh mereka yang mengikuti prinsip-prinsip Advaita Sankara ini. Sehingga tulisan-tulisan tersebut menunjukkan adanya pengaruh paham impersonalisme, yang mengesampingkan atau tidak memberikan penekanan khusus pada Tuhan Personal atau Tuhan Berpribadi. Bahkan Hinduisme secara umum, yang merupakan turunan dari Veda-dharma, dianggap sebagai suatu agama yang monis dan impersonalis. Hal ini terjadi karena para cendikiawan Hinduisme modern banyak yang mengambil ide impersonalistik Sankara sebagai suatu alternatif atas personal-monotheisme agama-agama Abrahamik. Sisi impersonal ajaran Veda tentu sangat menarik bagi mereka yang sudah jenuh akan ketuhanan personal-monotheistik dari agama-agama Abrahamik, agama-agama Barat, yang dianggap terlalu kaku dan sudah usang. Menariknya lagi, impersonal-monisme Sankara boleh dikatakan memberikan identitas yang unik dari Hinduisme, sehingga tidak heran bila para pemikir dan penyebar Hinduisme masa kini sangat mementingkan pandangan ini. Belum lagi Svami Vivekananda, mungkin orang pertama yang memperkenalkan istilah Vedanta ke dunia modern, adalah seorang Advaiti. Sehingga wajar saja Vedanta yang diketahui kebanyakan orang adalah identik dengan Advaitavada.

Senin, 27 April 2009

Tuhan dalam Hindu (2)

Alam semesta di sekitar kita tampak sebagai fenomena kompleks yang selalu berubah dan tidak kekal. Di balik fenomena yang sementara ini, ada substratum eterna, Zat Kekal yang tidak pernah berubah. Ini disebut sebagai Kebenaran Mutlak Tertinggi. Mutlak diterjemahkan dari kata Absolut, suatu istilah Latin yang menyatakan substansi yang bebas dari segala hambatan dan ikatan keterbatasan. Dalam Vedanta, Kebenaran Absolut Tertinggi ini disebut sebagai Brahman. Melalui proses olah pikir yang logis, dapat dicapai kesadaran akan keberadaan suatu Realitas Tertinggi yang cerdas di balik alam semesta yang tidak dapat berpikir. Menurut Vaishnava-siddhanta, Brahman ini merupakan Suatu Pribadi Illahi Transendental atau Tuhan. Walau demikian keberadaan Tuhan Tertinggi tidak dapat dijangkau dengan proses investigasi dan pembuktian ilmiah. Pikiran manusia yang bekerja melalui perbandingan yang bersifat antitesis tidak dapat menjangkau Brahman. Keberadaan Brahman dapat ditelusuri, dengan menggunakan logika, melalui fenomena alam semesta yang bersifat sementara ini, namun persepsi langsung akan Brahman hanya berasal dari keinsafan rohaniah dan Revelasi, suatu keadaan dimana Kebenaran itu sendiri bersedia mengungkapkan diri kepada si pencari. Hanyalah melalui keinsafan dan pencerahan rohani akan Pengetahuan yang direvelasikan, yaitu Veda, Upanishad, Bhagavad-gita, dsb. kita dapat mengetahui Brahman, bukan dengan cara yang lainnya.

Menurut Vedanta, Realitas Absolut yang disebut Brahman merupakan asal-muasal tunggal dari segala manifestasi. Brahman adalah Insan Berpribadi dalam artian Beliau memiliki sifat dan ciri yang terdiri dari kesadaran absolut, keberadaan absolut, kekekalan absolut, kemurnian absolut, dan kebahagiaan absolut. Pribadi Tertinggi yang Esa ini atau Brahman, disebutkan dengan banyak nama di dalam Veda, namun yang paling utama di antaranya adalah Narayana atau Krishna. Nama ini menyatakan semua kualitas esensial yang ada dalam Brahman. Narayana dapat dimaknai sebagai Tempat Bersandar Semua Insan. Beberapa makna lain juga diberikan seperti Sang Diri Tertinggi, pendukung dan tempat bersandarnya semua keberadaan. Dalam Veda, para penerima wahyu sering disebut sebagai pengamat (seer). Aspek-aspek Pribadi Tertinggi diungkapkan kepada para Rishi, Alvar, dan Acharya, tidak saja dalam bentuk informasi belaka, namun juga dalam keinsafan akan Pribadi-Nya. Sehingga dengan demikian istilah yang digunakan bagi mereka ini adalah para tattva-darsi, pelihat Kebenaran, melihat dalam arti yang sangat harfiah sekali. Bertatap muka dengan Sang Kebenaran, Pribadi Tertinggi. 

Sri Ramanuja mengatakan, “Tuhan sungguh memiliki rupa/bentuk rohani, yang sangat menyenangkan hati dan tiada cacat cela-Nya. Rupa-Nya ini tidak dapat dijangkau pikiran, tidak tergambarkan, rohani, kekal, dan murni tak bernoda.” Rupa yang tak tergambarkan ini ditampakkan bagi para Rishi, Alvar, dan Acharya. Mereka melihat, namun sesempurna-sempurnanya mereka berusaha menjelaskan melalui bahasa kata-kata, tetap keseluruhan kesempurnaan yang berwujud pribadi itu tak terjelaskan. Ketika Tuhan memperlihatkan Wujud Semesta-Nya kepada Arjuna dalam Bhagavad-gita, kita diberi gambaran oleh Sanjaya, sang pengamat, “Andaikan saja berjuta-juta matahari terbit bersamaan di angkasa, cahayanya tak setara dengan Cahaya Rupa-Nya.”

Sri Jagannath, wujud abstrak dari Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa dipuja di kota suci Puri, Orissa, India Timur. Wujud Beliau ini menyatakan bahwa Tuhan berada di balik segala konsep pemikiran dan persepsi yang bersifat duniawi. Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva melihat Tuhan Yang Dicintai-Nya dalam Sri Jagannath.

Minggu, 26 April 2009

Tuhan dalam Hindu (1)

Tidak ada kata dalam bahasa Sanskrit yang bersinonim dengan ide-ide barat mengenai filsafat dan teologi. Istilah yang digunakan untuk sejenis spekulasi filosofis dalam tradisi Veda/Hindu mungkin adalah darshana, yang artinya adalah ‘pandangan’, suatu cara untuk memahami Kebenaran Tertinggi, atau suatu jalan yang mengungkapkan aspek tertentu dari Sifat Illahi. Istilah yang digunakan untuk teologi adalah Brahmavada, yang berarti ‘diskusi mengenai Kebenaran Tertinggi’. Siddhanta berarti kesimpulan filosofis yang ditegakkan melalui olah pikir yang rasional dan pewahyuan Kitab Suci.
Vedanta merupakan suatu darshana, suatu jalan atau metodologi untuk menembus Realitas Absolut menggunakan logika secara sistematis, observasi ilmiah dan dasar pembuktian dari pewahyuan Kitab Suci (Veda, Upanishad, Brahma Sutra). Ketika telaah filsafat dan usaha menginsafi kebenaran telah tegak menjadi suatu kesimpulan akhir, inilah yang disebut siddhanta. Siddhanta merupakan kesimpulan akhir setelah mengkaji semua Veda, yang didukung sepenuhnya oleh prasthana-traya (tiga bukti tak terbantahkan) yaitu sruti-prasthana (Kitab-kitab yang diwahyukan, utamanya adalah Upanishad-upanishad), smriti-prasthana (Kitab-kitab yang dikanonisasi, yang terutama adalah Bhagavad-gita), dan nyaya-prasthana (Kitab-kitab yang membutuhkan ketajaman analisa dalam memahami maknanya. Pada umumnya merujuk pada Brahma-sutra atau Vedanta-sutra, aforisma mengenai Kebenaran Mutlak Tertinggi tujuan akhir segala ilmu pengetahuan). Siddhanta inilah yang diyakini, dipelajari, dan diinsafi dalam berbagai garis perguruan Veda yang otentik.
Masing-masing perguruan dan mazhab dalam Hindu merumuskan Siddhantanya dengan berdasarkan berbagai aspek ilmu yang terkandung dalam Veda dan juga pengalaman spiritual dalam perjumpaan mistis pribadi para Acharyanya dengan Sang Kebenaran Tertinggi. Siddhanta inilah yang mendasari konsep ketuhanan, dasar keimanan, dan pengamalan ajaran Veda oleh umat Hindu. Dia merupakan kesimpulan dari keyakinan, pembelajaran, dan pengalaman.

Sabtu, 25 April 2009

Mengapa Kita Meyakini Kebenaran Veda?

Tiap penemuan atau riset mengenai suatu subjek yang tak dikenal pertama-tama dimulai dengan adanya beberapa hipotesis dan asumsi. Bila asumsi-asumsi itu benar, maka si peneliti akan mendapatkan hasil yang bagus dan dapat menemukan atau menyadari suatu pengetahuan yang baru. Bila asumsi itu salah, dia juga akan secepatnya dapat menyadarinya dan tidak melanjutkan risetnya ke arah itu lebih lanjut lagi. Begitu juga ketika mempelajari buku baru mengenai suatu subjek yang tak diketahui, apapun itu, pertama-tama kita harus memiliki rasa hormat terhadap sang penulis atas karyanya itu dan lebih jauh lagi kita menganggap bahwa penulis sedang memberitahukan suatu kebenaran dalam bukunya. Apabila pada akhirnya kita justru menemukan sebaliknya, maka kita perlu mempertanyakan hal itu atau menunjukkan kesalahannya dalam publikasi penelitian kita sendiri. Tanpa mempelajari subjek tersebut, kita hendaknya jangan meragukannya terlebih dahulu. Hanya setelah mengkajinya saja kita bisa tahu, apakah yang disampaikan itu benar atau salah.
Jadi seseorang harus mulai mempelajari Veda dengan keyakinan bahwa semua itu benar dan kemudian maju lebih jauh lagi. Begitu pembelajaran anda maju lebih dalam dan semakin dalam, maka anda akan menyadari bahwa keyakinan anda itu bukanlah keyakinan buta. Itu adalah keyakinan yang benar. Kita tidak dapat memahami subjek-subjek ilmu teknik atau ilmu kedokteran yang rumit pada saat kita masih pra sekolah. Kita harus percaya dulu bahwa semua ilmu itu adalah benar dan mulai belajar subjek-subjek yang paling mendasar terlebih dahulu. Setelahnya dapatlah kita memahami subjek yang lebih rumit. Begitu pula kita perlu percaya kepada Veda dan mempelajari semua sastra. Maka dengan demikian pada akhirnya anda akan mendapati dan menyadari bahwa keyakinan anda selama ini bukanlah kepercayaan buta dan Veda sungguh-sungguh kebenaran yang kekal abadi.
Ada tiga jenis bukti yaitu dokumenter, sirkumstansial, dan kesaksian langsung. Dalam istilah kitab suci (Veda) ketiganya disebut pramana, yaitu shabda (dokumenter), anumana (inferensial atau sirkumstansial) dan pratyaksha (kesaksian langsung). Kita memiliki semuanya ini untuk membuktikan Divinitas (keilahian) dari semua pustaka suci kita berikut semua penjelasannya.
Benar kita meyakini bahwa Veda bukanlah ciptaan atau karangan makhluk duniawi. Veda memang sungguh-sungguh berasal dari Tuhan Yang Maha Esa Sendiri. Veda merupakan sabda rohani Sang Mahapencipta. Mengapa kita bisa meyakini hal ini? Pertama, kita memiliki sebuah sistem pencatatan yang jelas. Pustaka-pustaka suci kita itu sendiri memberitahu kita mengenai sumber dari tulisan-tulisannya. Upanishad, yang merupakan revelasi utama, memberitahukan kepada kita bahwa Veda-veda, Upanishad-upanishad dan semua para Rishi diciptakan langsung oleh Tuhan Maha Vishnu Sendiri dan kemudian juga dilindungi oleh Beliau. Tidak hanya satu, namun di banyak tempat hal ini telah dicatat atau didokumentasikan dalam Upanishad. Brihadaranyakopanishad (2.4.10) menyatakan bahwa empat Veda, Purana-purana, Itihasa-itihasa dan semua turunan serta pelengkap Veda, berikut tatabahasanya diciptakan langsung oleh Tuhan Sendiri. Lagi dalam Chandogyopanishad (7.1.2) dikatakan bahwa kitab-kitab sejarah (yang disebut Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata) dan juga Purana merupakan Veda ke lima. Sebagai pembuktian secara dokumentasi ilmiah, Mahabharata memberikan data astronomik yang rinci mengenai kapan Bhagavan Vedavyasa membuat reproduksi pustaka-pustaka suci Veda ini dan juga kapan perang besar Bharatayudha terjadi. Sehingga kita bisa mengetahui bahwa peristiwa yang dikisahkan dalam kitab suci Veda maupun Itihasa sungguh benar terjadi.
Kedua,dengan memperhatikan kedalaman, luasnya pembahasan, ketepatan, dan kesempurnaan pengetahuan pustaka suci yang demikian itu, yang berada di luar jangkauan kecerdasan manusia, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa semua ini pastilah merupakan pengetahuan yang bersifat adi-duniawi, yang hanya mungkin berasal dari Tuhan. Kedalaman filsafat mengenai Tuhan dan pencerahan akan Tuhan dengan deskripsinya yang sangat rinci, panjang lebarnya deskripsi sejarah dalam Purana dan Itihasa, ketepatan perhitungan periode-periode dan siklus waktu (sebagai contoh dalam Veda dinyatakan awal mula keberadaan peradaban manusia adalah 120, 5331 juta tahun; usia bumi dan juga keberadaan bentuk matahari ini adalah 1971,9616 juta tahun pada tahun 1998; awal mula sistem tata surya ini adalah 155,521972 triliun tahun; hampir sama dengan penemuan ilmiah modern. Bahkan kitab suci Bhagavata (3.11.4) menyatakan bahwa waktu dihitung berdasarkan getaran atom seperti standar waktu yang kita gunakan sekarang dalam fisika modern), dan sempurnanya tata bahasa Sanskrit sejak dia diperkenalkan di bumi melalui para Rishi purba di India, adalah sebagian kecil dari contoh-contoh yang tidak dapat disamai oleh kitab-kitab (agama) lain. Contoh-contoh ini tentu saja secara alamiah merupakan bukti keagungan rohani pustaka suci Veda.
Ketiga, sehubungan dengan kesaksian langsung, kisah setiap orang suci sepanjang masa, yang telah merealisasikan Tuhan, telah menjadi saksi atas kemuliaan Tuhan tercintanya, dan juga berada dalam pergaulan langsung bersama Tuhan, membentuk tema utama dalam semua kitab suci kita. Demikian pula ketika mereka yang sempurna ini menuliskan atau menguraikan sesuatu berkenaan dengan keinsafannya, maka itu semua sempurna sejalan dengan ajaran pustaka suci. Ada begitu banyak contoh yang demikian itu. Pengetahuan mengenai keberadaan kediaman-kediaman surgawi dan para dewanya sejauh kita perhatikan tidak perlu seorang Maharishi Veda sejati untuk membuktikannya. Bahkan seorang yogi yang tengah mengembangkan diri dalam ajaran Veda, yang sudah mencapai kesempurnaan samadhi tertentu, dapat melihat surga dan para penguasanya dalam tahapan tertentu samadhinya. Dari jaman yang sangat lampau sampai masa sekarang ini kita memiliki berbagai kisah hidup para Rasika-bhakta yang pergaulan rohaninya dengan Tuhan Sri Krishna diuraikan secara panjang lebar. Ada sejumlah besar orang suci di Braja (tempat suci bagi para penyembah Sri Krishna di India) sepanjang limaratus tahun terakhir ini yang menulis visuali-sasi mereka mengenai permainan rohani Tuhan dalam bentuk lagu-lagu yang disebut pada (padavali). Ada ribuan jumlahnya dan semua dicetak dalam bentuk buku. Seorang suci Rasika-bhakta, Surdasji, dikatakan telah menyanyikan lebih dari seratus ribu lagu tentang Tuhan Tertinggi Krishna. Artinya beliau paling tidak menggubah 15 sampai 20 lagu setiap harinya. Sekarang inipun masih ada sekitar dua ribu lagu yang dapat ditemukan. Ini merupakan keindahan penggambarannya, yaitu beliau menyanyikan lagu sambil melihat visi rohani itu secara nyata. Para orang suci ini juga menuliskan aspek filosofis dari bentuk dan sifat Tuhan, serta jalan sejati menuju keinsafan akan Tuhan. Mistikus-mistikus yang diyakini tenggelam dalam realisasinya pada Tuhan merupakan sesuatu yang luar biasa dalam tradisi rohani lain. Namun kita memiliki ribuan orang suci seperti itu yang ada, telah ada, dan akan ada sepanjang masa. Mereka yang sungguh-sungguh telah mengalami Tuhan ini juga menjelaskan dasar filosofis dari pengalaman rohaninya, sehingga benar-benar bukan merupakan ungkapan emosional belaka. Dengan cara inilah mereka telah menyaksikan Tuhan secara langsung dan juga membuktikan kebenaran Tuhan dalam pustaka suci kita.

Jumat, 24 April 2009

Permulaan Hindu (2)

Nama atau kata modern Hinduisme atau agama Hindu, merupakan istilah yang baru saja dikembangkan pemakaiannya kira-kira 700 tahun yang lalu oleh penjajah Muslim di India. Ada sebuah sungai yang disebut Shindu, yang salah disebut oleh para penjajah ini sebagai Hindu. Semua orang yang tinggal di seberang sungai itu, tak peduli apapun keyakinannya, disebut oleh mereka orang-orang Hindu. Ajaran-ajaran suci dan nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang “Hindu” ini secara mudah juga mereka sebut “agama Hindu”, untuk membedakannya dari keyakinan yang mereka anut. Sehingga tentu saja salah apabila kita menyimpulkan bahwa ada kemungkinan kita dapat melacak sejarah awal agama kuno India berdasarkan penggunaan kata ini dalam sejarah. Kita harus mengetahui bahwa dalam kitab-kitab suci Hindu yang purba ini tak dapat ditemukan satu kata Hindu pun. Namun kita menemukan kata Sanatana Dharma (dharma yang kekal), vaidika-dharma (dharma dari Veda), bhagavata-dharma (dharma (yang berasal) dari Tuhan), dan sebagainya. Dharma ini senantiasa segar dan abadi. Artinya dia tidak pernah ketinggalan jaman dan ada untuk selamanya. Dijelaskan dalam sastra suci Veda bahwa kapanpun dharma ini melemah atau bahkan lenyap, maka Tuhan Sendiri akan turun membangunnya kembali. Salah satunya adalah ketika Beliau turun sebagai Sri Krishna 5000 tahun yang lalu. Beliau menegakkan kembali dharma dengan memusnahkan berbagai kekuatan jahat dan menyabdakan kembali Bhagavad-gita di tengah medan perang Kuruksetra. “yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srijamy aham, kapanpun prinsip-prinsip dharma mengalami kemunduran dan adharma merajalela, pada saat itu Aku (Tuhan) Sendiri turun untuk menegakkannya kembali” (Bhagavad Gita 4.7).

Kamis, 23 April 2009

Permulaan Hindu (1)

Sejauh kita perhatikan dalam sejarah, Hindudharma tidaklah memiliki satu pendiri yang mengawalinya seperti agama-agama lain. Pustaka-pustaka suci kuno India (Veda) menyatakan bahwa dharma ini sesungguhnya didirikan atau berasal langsung dari Tuhan Sendiri (dharman tu saksad bhagavad pranitam). Dari sudut pandang kitab suci, ‘agama’ atau dharma ini termanifestasi bersamaan dengan setiap kali penciptaan oleh kehendak Tuhan. Setelah penciptaan siklik dari alam semesta yang menjadi tempat kita hidup saat ini, Tuhan Tertinggi yang disebut sebagai Narayana dalam Veda, mengajarkan dharma kepada Brahma, insan pertama di alam semesta. Brahma kemudian mengajarkannya kembali kepada putra-putranya, salah satunya adalah Narada, yang kemudian menyampaikannya lagi kepada Vyasa Mahamuni. Dengan cara inilah dharma yang purba ini diturunkan melalui sebuah rangkaian garis perguruan yang bermula langsung dari Tuhan melalui jutaan tahun yang tak terhitung lamanya. Dengan demikian agama yang bersumber dari Veda ini dikenal sebagai Sanatana Dharma, atau agama yang kekal, karena ia melampaui segala konsep ruang dan waktu buatan manusia. Kita tidak boleh bingung antara Sanatana Dharma dengan keyakinan agama lain yang bersifat sektarian, karena Sanatana Dharma ini sungguh-sungguh merupakan ekspresi fungsi yang asli dari sang roh (jivatma), sebagaimana sifat cair tidaklah dapat dipisahkan dari air. Dalam sejarah Veda, ada tak terhitung banyaknya orang-orang suci yang datang dan menyebarluas-kan ajaran-ajaran rohani yang terkandung dalam Pustaka Suci Veda, tetapi tak satupun dapat disebut sebagai pendiri agama. Masing-masing adalah murid (sishya) dari seorang guru dan masing-masing juga menyampaikan pengetahuan yang sama sebagaimana diajarkan oleh gurunya terdahulu. Inilah sistem Veda, tidak ada pendiri, karena setiap orang pertama-tama dan utamanya adalah seorang murid. Dharma tidak bisa dibuat manusia, diawali oleh manusia, atau bahkan oleh makhluk-makhluk lain yang lebih dari manusia. Dharma dijelaskan sebagai ajaran dan petunjuk langsung dari Tuhan, dharman tu saksad bhagavad pranitam. Dharma ini tidak bermula dari makhluk fana apapun (apauruseya)

Rabu, 22 April 2009

Siapakah yang Disebut Hindu? (2)


Seorang Hindu adalah dia yang tidak lagi merasa agamanya sebagai sebuah tradisi kuno yang ketinggalan jaman. Bukan sekedar sebuah warisan nenek moyang penuh ketakhayulan yang harus dilestarikan. Bukan saja sebuah fosil peradaban manusia yang hanya dapat dibanggakan keunikannya. Bukan menjadi Hindu hanya karena terlahir demikian. Dia adalah seseorang yang paham betul bahwa Hindu sesungguhnya adalah salah satu jawaban terbaik yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rohani umat manusia. Mengerti bahwa Veda adalah penuntun dan pengetahuan yang selalu ada sepanjang masa dan selalu penuh kesegaran.
Dia sepenuhnya menerima Veda, yang telah membangun sebuah jalan yang bersifat satyam, sivam, sundaram, shanti, dan santosham. Satyam karena dia berdiri di atas dasar kebenaran yang nyata, mengajarkan kebenaran, dan dapat dibuktikan kebenarannya. Sivam karena dia memberikan kesucian dan kemujuran. Dia tidak memaksa seseorang menjadi suci, tetapi membangun kesucian itu dari dalam, membuat masyarakat menjadi suci dengan sendirinya. Dia membawa kemujuran dan manfaat secara lahiriah maupun rohaniah bagi semua umat manusia tanpa diskriminasi. Sundaram karena dia membangun segalanya dalam keindahan, mengubah sensasi duniawi menjadi keindahan rohani yang menarik hati. Seseorang tak mampu berpaling darinya bukan karena terikat atau terpaksa, tetapi karena telah jatuh cinta. Shanti karena dia memberikan kedamaian bukan saja bagi umatnya saja tetapi juga kepada semua makhluk hidup. Kehidupan yang selaras dengan alam semesta selalu menjadi perhatian dalam Hindu. Santosham karena dia selalu berusaha memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada semua orang. Dia menerapkan Ahimsa, prinsip tidak menyakiti, salah satu ajaran Hindu yang terpenting. Hindu tidak memaksa orang untuk berubah sehingga tidak akan membuat gangguan yang tidak perlu. Hindu membantu membangkitkan dan membangun potensi sejati dalam diri.
Seorang Hindu sejati memahami prinsip-prinsip ini, menerapkannya, dan selalu menghadirkannya dalam kehidupan. Seorang Hindu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, bahwa setiap proses disiplin rohaninya (sadhana) mampu meningkatkan kualitas baik setiap orang. Dia tunduk kepada hukum, menjauhi perbuatan berdosa, tanpa merasa terpaksa, tetapi karena dia suka hidup dalam keteraturan dan kesucian yang demikian itu. Dia mampu melihat dan memperbaiki kekurangan yang ada pada dirinya, namun tidak secara sengaja mencari-cari kesalahan orang lain serta menghakiminya. Inilah sebagian kualitas Hindu yang kita harapkan dapat tercermin dari setiap orang yang memilih Hindu, Sanatana Dharma, sebagai penuntun hidupnya. Seorang Hindu adalah manusia yang tidak memberikan kesusahan pada makhluk lain dan gangguan terhadap keselarasan alam semesta. Orang seperti ini boleh disebut umat Hindu sejati.
Seorang Hindu diharapkan tidak sekedar mempelajari agamanya dengan membaca buku saja, lalu mengulanginya seperti burung beo. Dia hendaknya dengan serius menekuni jalan yoga apapun yang sesuai dengan dirinya dan melaksanakan penyerahan diri ke dalam proses sadhana yang diyakininya paling tepat. Bagi seorang Hindu sraddha atau keyakinan yang kuat, harus selalu disertai pengamalan ajaran dharma sesempurna mungkin. Perbuatan itu sendiri akan mencerminkan kebenaran dari keyakinan.

Selasa, 21 April 2009

Siapa yang Disebut Hindu? (1)

Pertama-tama kita harus memahami bahwa Hindu merupakan jalan rohani yang mendasarkan dirinya pada otoritas Veda. Jadi semua pemeluk Hindu harus menerima Veda sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran tertinggi atau pramana. Semua umat Hindu harus dengan segala daya upaya mencapai tataran spiritual yang sudah diberikan oleh Veda. Dengan kata lain mereka menerima teologinya, sistem etika, dan nilai-nilai moralnya. Mereka juga harus mengikat-kan diri secara spiritual dengan para pelindung Vedadharma, seperti para guru, siddha, rishi, dan deva Hindu. Dalam batasan tertentu adat istiadat dan nilai-nilai budaya asli, apalagi yang sejalan dengan ajaran Veda, memperoleh tempatnya dalam Hindu. Yang terpenting adalah mereka bersedia mengikatkan diri, menetapkan komitmen rohani menerima ajaran Veda, dan menerima konsep-konsep Veda dalam menjelaskan tradisi relijius yang mereka terapkan.
Kita harus membedakan umat Hindu dengan orang yang merasa mendapatkan manfaat dari ajaran Hindu. Saat ini pemikiran Vedanta, yoga, dan banyak aspek-aspek ajaran Hindu lainnya telah dipelajari dan dipraktekkan oleh mereka yang tidak secara resmi menyatakan diri Hindu. Semua orang memang bisa memperoleh berbagai manfaat dari ajaran Veda, dan Hindu tidak melarang siapapun untuk mendapatkannya. Akan tetapi tidak begitu saja menjadikannya seorang Hindu, pengikut Veda, atau Sanatana Dharmi. Orang-orang seperti Schopenhauer, Emerson, Muller, dan sebagainya, sekalipun telah mempelajari teks-teks Veda, bahkan mungkin sudah menerima atau meyakini sebagian darinya tidak bisa dikatakan umat Hindu. Sepanjang hidupnya mereka belum pernah menetapkan komitmen untuk menerima Veda sebagai sumber kebenaran atau pramana tertinggi.
Beberapa agama yang ada di dunia sekarang telah mengembangkan konsep ketuhanan yang sama sekali berbeda dengan Veda. Mereka juga menetapkan tujuan akhir yang berbeda. Para umat agama-agama ini tentu tidak bisa disebut Hindu, dan umat mereka yang mempelajari Hindu atau mendapatkan manfaat dari ajaran Hindu, selama tidak memutuskan ikatannya dengan agama-agama ini tentu juga tidak bisa disebut umat Hindu.
Sampai saat ini kita sudah menyimpulkan bahwa Hindu adalah Vaishnava, Saiva, Sakta, dan Smarta beserta semua cabang yang berafiliasi ke dalamnya dan berbagai ordonya. Tradisi rohani yang memiliki konsep spiritualisme sama dengan salah satu dari keempatnya, memiliki teologi yang sama, sekalipun telah mengambil bentuk lahiriah yang berbeda, dan kembali bersedia menerima Veda sebagai pramana, dapat disebut Hindu.
Sebagai contoh di Borneo, Indonesia ada yang disebut tradisi rohani Kaharingan. Mereka menyebut Tuhan dengan nama non-Sanskrit yang tidak dikenal dalam Veda. Tetapi konsep ketuhanan mereka sesuai dengan Veda. Mereka juga menerapkan prinsip-prinsip relijius dan nilai-nilai yang sama dengan Veda. Di Maharastra, Tuhan disebut dengan nama lokal Vittobha dan shakti-Nya disebut Rakhuma. Kedua nama ini tidak ditemukan dalam Veda. Nama Tuhan Jagant Kitung dalam kepercayaan suku di Orissa juga tidak ditemukan dalam Veda. Tetapi mereka menyatakan konsep ketuhanan yang sama dengan Veda. Mereka bisa diterima sebagai sebagai bagian dari Hindu. Apabila mereka lebih lanjut secara resmi menetapkan komitmennya untuk menerima Vedadharma, maka sudah dipastikan mereka adalah Hindu.

Umat Hindu dari berbagai bangsa dan budaya: Para Srivaishnava dari India Selatan
Seorang ibu-ibu Goudiyavaishnava dari Manipur
Umat Hindu di Bali

Minggu, 19 April 2009

Goudiya Vaishnava Sampradaya (5)

Untuk melengkapi posting terdahulu tentang Sri Goudiya Guru Varga, sekarang saya tambahkan bagan silsilah garis perguruan yang lebih mudah dilihat. Dengannya kita dapat membayangkan, bagaimana ajaran mulia ini diwariskan dari masa ke masa sejak awal dunia, tanpa pernah terputuskan.

Mengapa Selalu Ada Bencana?

Selama beberapa tahun belakangan ini kita selalu mengalami berbagai macam bencana. Mulai dari gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang, sampai dengan serangan teroris. Bencana-bencana ini semakin meluas seperti wabah, mengenai seluruh pelosok dunia. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Veda mengatakan bahwa pola hidup adharmika, yang tidak sejalan dengan hukum alam dan mengesampingkan peranan Tuhan dalam kehidupan adalah merupakan akar penyebab dari semua kesengsaraan ini. Pola hidup dan jalan pikiran adharmika yang dianut oleh sebagian penduduk dunia, mempengaruhi bukan saja individu itu sendiri, tetapi dapat menyebar mempengaruhi keluarga, masyarakat, dan negara. Dahulu kala Rishi Agnivesha dan Rishi Atreya juga sudah membicarakan permasalahan yang sama dan mencari upaya untuk mengatasinya.

Begitu melihat keadaan alam yang sangat menyengsarakan dan membawa kehancuran pada masyarakat, Agnivesha bertanya kepada Atreya yang terpuji, “Tunjukkanlah sebabnya kepada kami, wahai Tuan, apakah yang menyebabkan angin, air, dan tanah menjadi mengganas, dan dengan keganasannya itu mereka berusaha menghancurkan para penduduk dunia.” Atreya yang agung lalu berkata, “ O Agnivesha! Kekacauan yang mempengaruhi angin, tanah, air, panas, dan sebagainya berasal dari pelanggaran. Segala sesuatunya berjalan dalam keteraturan, namun perbuatan-perbuatan manusia dalam memanfaatkan potensi alam melanggar keteraturan itu. Segala bencana ini berasal dari ketidakpatuhan terhadap dharma.
Dengan demikian ketika otoritas yang berwenang di suatu negara, kota, dunia perdagangan, dan segala bidang kehidupan masyarakat lainnya, melaksanakan pemerintahannya atas rakyat dan wilayahnya dengan melanggar aturan-aturan dharma, maka semua yang ada di bawahnya, penduduk kota maupun desa, atau mereka yang hidup dengan menekuni berbagai pekerjaan, akan turut mengembangkan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak sejalan dengan dharma. Akibat dari semua ini, secara perlahan-lahan, ketidakteraturan, kekacauan, dan pelanggaran atas hukum alam, akan menelan semua tingkatan masyarakat. Maka dari itu semua orang-orang ini, yang telah membuat hukum menjadi tidak berharga, akan diabaikan dan dicampakkan bahkan oleh para deva yang pengasih.

Kemudian musim-musim akan berubah menjadi musuh manusia, yang telah mengabaikan hukum, yang tindakannya tidak sejalan dengan dharma, dan yang telah diabaikan oleh para deva. Hujan tidak turun tepat pada waktunya, atau bahkan tidak turun sama sekali, atau justru turun dengan membawa bencana. Angin tidak bertiup sebagaimana seharusnya, tanah menjadi tidak subur, mata air mengering, tumbuh-tumbuhan kehilangan khasiatnya dan terserang berbagai jenis hama penyakit. Sebagai akibatnya, manusia akan mati karena terinfeksi penyakit, baik melalui kontak langsung maupun melalui pencernaan.

Begitu pula sesungguhnya hanya adharma ini saja yang mengarahkan kehancuran umat manusia akibat senjata. Mereka yang digerakkan oleh kesombongan, loba, amarah, kesewenangan, dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari kekalahan pihak yang lebih lemah, sesungguhnya tengah mempersiapkan kehancuran diri mereka sendiri. Mereka mati terbunuh dalam menyerang orang lain atau karena serangan orang lain. Lagi-lagi semua bencana ini hanyalah akibat dari pelanggaran terhadap dharma, disebabkan pula oleh kekuasaan yang didapatkan dari kekuatan-kekuatan ternoda, bukan berlandaskan kesucian. Ini adalah akibat pemerintahan yang bersifat keraksasaan. Ketika penguasa atau pemimpin negara adalah mereka yang terpengaruh oleh Asura-vesha. Kutukan dijatuhkan kepada mereka akibat mereka menghindar dari kewajibannya, melakukan penghinaan yang merendahkan guru kerohanian, para tetua, leluhur, orang-orang suci (rishi), dan pribadi-pribadi yang layak dipuja seperti para deva. Tindakan ini akan melukai mereka semua, dan sebaliknya juga akan melukai mereka yang melakukannya. Akibat dikutuk oleh pribadi-pribadi yang sepantasnya diluhurkan ini akan menyebabkan pemimpin itu, berikut mereka yang mendukungnya, sanak saudaranya, handai taulannya, dan siapapun yang berada dalam lingkaran pergaulannya akan musnah menjadi abu. Ingatlah bagaimana bangsa sekuat Yadava menjadi musnah hanya karena kutukan seorang rishi! Sejak dahulu kala kehancuran dan kesengasaraan yang menimpa suatu bangsa tidak memiliki sebab selain ketidakpatuhan terhadap dharma yang sejati.

Kejujuran, belas kasih kepada semua makhluk, kedermawanan, persembahan upacara kurban suci, penghormatan kepada para deva, rishi, dan leluhur, ketenangan diri, mengusahakan perlindungan diri dengan melindungi orang lain, hidup dalam negeri yang selalu bersatu padu, senantiasa berpuas hati dan selalu berada dalam pergaulan mereka yang berpuas hati, hanyalah menerima petunjuk dan nasehat dari kitab-kitab suci yang disampaikan oleh para rishi agung yang sudah menaklukkan semua dorongan jasmaniahnya, hidup di lingkungan orang-orang yang benar, yang diberkati oleh para deva, rishi, dan tetua atau leluhur, semua ini akan dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan yang disebabkan oleh keadaan alam yang tidak menentu ini.

Bahkan Konfutse, filsuf besar dari Cina, juga telah merumuskan hal-hal yang sama untuk menjauhkan negara dari bencana. Dia yang menginginkan agar tercipta kemakmuran di seluruh negeri, pertama-tama harus mampu memimpin wilayahnya dengan baik. Agar dapat memimpin dengan baik maka mereka harus memperbaiki pemikiran keluarganya. Agar keluarganya dapat diatur, maka kepribadian mereka harus baik. Agar memiliki pribadi yang baik, maka hati haruslah diperbaiki. Agar hati menjadi baik, maka haruslah berpikir tulus. Agar dapat berpikir tulus, dia harus memperluas pengetahuannya. Pengetahuan diperoleh dengan meneliti semua hal dengan baik. Apabila semua hal telah diteliti dengan baik, maka pikiran terbuka luas, pengetahuan menjadi lengkap. Pengetahuannya sempurna, pikiran akan menjadi tulus. Pikiran tulus, hati menjadi baik. Hati menjadi baik, kepribadian menjadi baik pula. Dengan kepribadian yang baik maka keluarga akan tertata dengan baik. Keluarga tertata baik, rakyat dipimpin dengan baik. Bila rakyat baik maka negara akan makmur sejahtera.

Sabtu, 18 April 2009

Sekte-sekte dalam Hindu (2)

Lalu bagaimana dengan religi yang digolongkan bersifat heterodoks?

Heterodoks dalam hal ini adalah digunakannya rujukan-rujukan yang berbeda dari sumber-sumber yang diakui sebagai Vaidika maupun Tantrika. Boleh juga dikatakan mereka adalah yang menerapkan ajaran Hindu yang lebih bersifat lokal, di luar empat denominasi utama Hindu. Beberapa bangsa di dunia sudah mengembangkan bentuk-bentuk pemahaman tertentu terhadap fenomena-fenomena rohani. Tentang roh dan kekuatan yang lebih tinggi daripada kemampuan manusia, yang mengendalikan seluruh alam semesta. Ada banyak tradisi rohani yang mungkin sudah diterapkan dan diyakini oleh suatu bangsa itu, sebelum mendapatkan pengaruh Veda.

Ketika ajaran Veda mencapai tempat-tempat dan budaya rohani seperti itu, Veda tidak serta merta menghapuskan tradisi-tradisi ini. Seperti disebutkan sebelumnya, Veda dan para pengajarnya sangat menghargai potensi internal dan keunikan masing-masing individu. Mulai dari posisi mana-pun, dalam keadaan apapun, pada tingkat spiritual yang bagaimanapun, semuanya diterima dalam pelukan Sanatana Dharma. Veda akan memulai dari mana setiap orang siap secara rohani. Dia akan mengembangkan setiap unsur yang terdapat dalam budaya masyarakat tempatnya tumbuh, sampai mencapai kesempurnaan yang mereka butuhkan dan inginkan.

Jadi bukanlah hal yang aneh apabila Hindu dapat berkembang dalam berbagai bentuk yang unik dan dengan beragam penampilan berbeda di seluruh dunia. Selain itu umat Hindu meyakini bahwa suatu ketika pada jaman dahulu seluruh bumi ini menerima Veda dan Jalan Sanatana Dharma. Hanya karena pengaruh waktu saja, persatuan dan hubungan internasional ini menjadi terputus. Kami percaya bahwa setiap tradisi rohani yang ada di dunia seperti agama-agama suku (tribal religions) dahulu kala memiliki hubungan dengan ajaran Veda. Kepercayaan tradisional di berbagai belahan dunia, seperti agama asli Amerika, Skandinavia, Inggris, Cina, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya memiliki banyak kemiripan dengan aspek-aspek tertentu dalam ajaran Veda.

Tentu saja pada saat mereka kembali kepada Hindu, kami menganggap mereka sebagai anggota keluarga yang kembali lagi ke rumah. Sepanjang perpisahan yang panjang ini mereka tentu sudah mengembangkan tradisi spiritualnya sendiri yang tampak berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh masya-rakat Hindu secara umum. Ini membuat berkembangnya bentuk religi Hindu yang bersifat heterodoks. Bagi Hindu sendiri ini bukanlah masalah. Secara perlahan-lahan mereka dapat memanfaatkan kembali ajaran apapun yang terdapat dalam Veda untuk membangun bentuk agama Hindu yang sesuai untuk keadaan mereka saat ini. Mengatakannya sebagai Hindu heterodoks tidak menjadikan sebagian umat Hindu yang mengikuti religi ortodoks menjauhi mereka atau menolak mereka. Justru di sinilah kita harus hidup bersama-sama secara harmonis, saling membantu mengembangkan potensi rohani kita masing-masing. Keyakinan yang bersifat heterodoks terhadap Veda dapat diterima sebagai anggota keluarga besar Hindu dalam batasan-batasan tertentu, seperti adanya pengakuan terhadap kebenaran sastra suci Veda. Sampai mereka siap menerima Veda sepenuhnya dan menjadi bagian dari tradisi ortodoks, tak seorangpun berhak merubah secara paksa tradisi rohani yang sudah mereka jalankan dari masa para leluhurnya itu.

Jumat, 17 April 2009

Sekte-sekte Hindu (1)

Apakah tidak ada selisih paham dan perpecahan dengan banyaknya denominasi dalam Hindu ?
Ketidaksetujuan filosofis tentu saja ada. Tetapi keempat denominasi utama ini (Vaishnava, Saiva, Sakta, Smarta) telah mencapai kedudukannya yang mapan dalam dunia Hindu. Perlu diperhatikan pula bahwa Sanatana Dharma meyakini bahwa setiap jivatma memilih jalan rohani yang akan ditempuhnya berdasarkan atas guna (sifat bawaan) dan karmanya (perbuatan dan pahala perbuatannya) masing-masing. Tak seorangpun dapat memaksakan mengubah keyakinan seseorang atau ketertarikan internalnya terhadap suatu konsep ketuhanan. Segala sesuatunya berjalan secar
a alamiah. Masing-masing mazhab utama dalam Hindu ini diyakini juga mewakili bakat, minat, dan ketertarikan manusia yang paling mendasar terhadap kerohanian. Dengan masing-masing caranya yang unik, keempatnya memenuhi kebutuhan rohani para pengikutnya sesuai dengan keadaan alamiah mereka. Bagi para bijak Veda, dorongan rohani alamiah yang bersumber dari sang roh secara pribadi, dengan alasan apapun tidak berhak dicampuri secara eksternal oleh siapapun. Para penganjur, penyebar, dan guru-guru dari masing-masing denominasi mengutarakan kebenaran yang sesuai dengan keinsafan rohani yang diterima dalam garis perguruan dan ordonya. Mereka berbicara dengan kejujuran, bahkan sering berkata-kata keras mengenai ajaran garis perguruan lain, namun ini hanya berada pada tataran filosofis dan intelektualitas saja. Mereka tidak memaksakan ajarannya agar diterima oleh masyarakat. Bahkan adalah hal yang biasa seorang Vaishnava menerima guru Saiva dengan hormat di rumahnya, sekalipun dia tidak sependapat dengan pemaha-man filosofisnya. Begitu pula dengan masyarakat Sakta dan Smarta.

Sebagai contoh, perguruan Sankara dan Vaishnava boleh dikatakan musuh bebuyutan yang selalu saling serang dan bahkan saling hujat dengan berbagai karya filosofisnya. Tetapi ketika kedua Acharyanya bertemu di luar perdebatan filsafat, mereka duduk berdampingan dan saling menghormati. Begitu pula para pengikutnya. Para Vaishnava selalu menyebut ajaran Sankara sebagai mayavada (paham khayalan) dan pasanda (atheis dungu) serta selalu bersikap menentang paham mereka. Walau demikian ketika Acharya mereka atau bahkan seorang sannyasi biasa dari ordo Sankara datang, seorang perumahtangga Vaishnava bersujud kepadanya dengan hormat. Begitu pula sebaliknya. Inilah etika dalam masyarakat Veda. Tidak ada perselisihan pendapat yang berakhir dengan upaya saling memusnahkan.
Dalam sejarah kita mengenal Krishnadevaraya, Maharaja Vijayanagar, penguasa kerajaan terbesar di India Selatan yang melindungi agama Hindu selama beberapa abad. Dia adalah seorang Vaishnava yang menerima inisiasi dari Sri Vyasa Tirtha atau Vyasaraja, salah satu Acharya terbesar dalam garis perguruan Madhva. Pengaruh Vyasaraja bagi Vaishnava Madhva adalah ketiga setelah Jayatirtha dan Madhvacharya sendiri. Vyasaraja juga bertindak sebagai pendeta utama, guru kerohanian, dan penasehat tertinggi kerajaan Vijayanagar. Maharaja Krishnadevaraya bahkan mendudukkan guru Vaishnava ini di atas singgasananya sendiri dan memuja kakinya, menyebutnya sebagai Kuladevata, junjungan seluruh dinastinya. Anda bisa bayangkan bagaimana posisi politis yang bisa didapatkan oleh mazhab Vaishnava di masa itu. Krishnadevaraya membangun, memperindah, dan memberikan banyak sumbangan harta kepada tempat-tempat suci Vaishnava seperti Thirupathi, Kanchi Varadaraja, Srirangam, dan sebagainya. Tetapi Krishnadevaraya juga membangun tempat-tempat suci Saiva seperti Chidambaram, Thiruvana-malai, Sri Kalahasti, dan lain-lain. Sekalipun dia seorang Maharaja berkuasa yang menganut Vaishnava tetapi tak pernah sekalipun dia menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan paham-paham lain. Begitu pula Sri Vyasaraja tentu bisa saja memerintahkan seorang maharaja, yang baginya adalah seorang murid yang tunduk di bawahnya, melakukan pemusnahan semua paham non-Vaishnava. Tetapi hal ini tidak pernah terjadi. Itulah keunikan Hindu.

Rabu, 15 April 2009

Adakah Penebusan Dosa dalam Hindu? (2)

Bagaimana seseorang bisa terbebas dari karmanya? Ini hanya dimungkinkan melalui kripa atau karunia Beliau. Bagaimana cara mendapatkan kripa ini? Itu bisa didapatkan dari Bhagavata, Krishna-kripa-sri-murti, Perwujudan karunia dan belas kasih Tuhan, yaitu Sri Sad-gurudeva. Bhakti itu sendiri disebut sebagai klesha-ghni, pemusnah segala jenis klesha. Seseorang memasuki bhakti dimulai dari Saranagati atau Prapatthi, proses penyerahan diri. Lalu siapakah yang menerima penyerahan diri jiva itu? Tiada lain adalah Sri Sad-gurudeva melalui samasrayanam (menerima asraya atau perlindungan) atau diksham. Diksham sendiri bermakna kita menerima di – divyajnanam yaitu Sambandha-jnana, Abhideya-jnana dan Prayojana-jnana, dan ksha – kshayam pentahiran, pembersihan dari semua noda karma. Ketika kita menerima Vaishnava-diksha, kita memasuki jalan bhakti melalui gerbang Prapatthi-marga, ditandai dengan penerimaan Pancasamskara yaitu Tapa, Pundra, Nama, Mantra, dan Yaga. Tapa adalah pertapaan dan pertobatan yang ditandai dengan mengecap tubuh dengan lambang sankha – chakra yang panas (ini masih diterapkan terutama dalam Ramanuja-sampradaya) atau melaksanakan disiplin spiritual yang ketat di bawah pengawasan gurudeva. Ini merupakan pertapaan fisik maupun mental untuk menyatakan penyesalan kita atas semua dosa yang pernah diperbuat. Pundra adalah menerima tanda suci Tilaka atau Urdhva-pundra, menandakan bahwa sejak saat itu jiva menandai dirinya sebagai milik Krishna dan Krishna adalah satu-satunya junjungannya. Nama adalah pemberian dasya-nama, mengubah identitas lahiriah jiva yang berkaitan dengan badan jasmaninya lalu mengembalikan identitasnya yang asli sebagai hamba Krishna. Mantra adalah penganugerahan mantra yang berupa nama suci Bhagavan yang harus dilafalkan oleh murid sebagai tanda bahwa semenjak saat itu Sri Bhagavan senantiasa berada dalam hatinya. Terakhir adalah Yaga, yaitu penganugerahan kuasa dan juga metode sadhana yang digunakan untuk sepenuhnya menyibukkan badan, ucapan, dan pikiran dalam pelayanan kepada Krishna. Biasanya Gurudeva akan memberikan Sri Salagrama atau Sri Murti untuk dipuja.

Hanya setelah menerima pancasamskara dengan sepenuh hati dan jiwanya. Memasuki jalan Prapatthi atau Saranagati dengan mempersembahkan tubuh, ucapan, dan pikiran kepada Sri Sadgurudeva, maka beliau juga menerima semua karma yang kita miliki. Terkadang Sri Sadgurudeva memusnahkan karma itu sama sekali, seperti Srila Vyasaraja yang menghancurkan semua penyakit yang menyerang Krishnadevaraya muridnya, atau bisa juga Sri Sadgurudeva menerima penderitaan fisik yang ditimbulkan oleh karma itu sehingga muridnya justru dapat lebih melayani beliau dalam keadaan seperti itu. Sadgurudeva juga bisa memindahkan karma itu ke benda mati, ke batu, atau air. Semua dosa-dosa jiva dan karmanya akan dihapuskan apabila dia secara serius melaksanakan proses penyerahan diri ini. Tentu ini tidak berlaku apabila jiva itu hanya melakukannya tanpa keseriusan, sekedar melaksanakan ritual, atau justru berbuat kemunafikan dengan menolak perlindungan Gurupadapadmanya dan terus berbuat dosa kesalahan yang sama. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa dosa ini dan juga semua karma yang menghalangi akan terhapus hanyalah bagi seorang sat-sishya saja, murid sejati yang benar-benar menyerahkan diri. Karma ini juga bisa dihapus oleh Sadgurudeva saja, melalui proses yang otoritatif seperti di atas.

Penghapusan dosa itu dimungkinkan apabila prosesnya benar. Seperti Mahasivaratri-vrata dikatakan dapat menebus semua dosa. Tetapi apakah Mahasivaratri adalah perayaan untuk menebus dosa-dosa kita? Tidak! Mahasivaratri-vrata adalah untuk memuja dan melayani Sivaji. Mengembangkan cintakasih kita kepada beliau agar beliau berkenan menganugerahkan bhakti kepada kita. Bila kita melaksanakan Vrata itu semata hanya untuk membersihkan dosa kita, berharap agar tidak menderita karena reaksinya, lalu untuk membuat kesalahan kembali, maka Vrata ini tidak akan berhasil. Tetapi itu bukan berarti Mahasivaratri-vrata tidak dapat memusnahkan segala dosa. Sastra mengatakan demikian maka itulah kenyataannya. Demikian pula saat diksha dikatakan bahwa Gurudeva menerima karma kita. Ini memang benar, tetapi hanya ketika melalui diksha itu kita sungguh-sungguh menyerahkan tubuh, ucapan, dan pikiran sepenuhnya dalam pelayanan kepada Krishna dan tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama atau justru membuat kesalahan-kesalahan baru. Seorang bhakta memahami bahwa dosa adalah suatu halangan dalam pelayanan cintakasih. Dia memohon agar halangan ini disingkirkan demi dapat melayani Krishna lebih sempurna lagi. Maka bagi dia penghapusan semua karma dimungkinkan. Tetapi bila tujuannya egoistis, hanya agar dirinya tidak menderita, lalu mengapa Krishna atau Gurudeva harus campur tangan?

Beberapa agama mengajarkan bahwa penebusan dosa dimungkinkan dengan menerima Acharya mereka dan Jalannya. Kita mungkin bisa terima ini. Tapi kalau kita masuk kelompok ini hanya untuk sekedar bebas dari dosa, agar tidak menderita, lalu bisa berbuat dosa lagi, apakah ini masuk akal. Tidak ada pengampunan dan penebusan dosa untuk orang-orang seperti itu. Kalau mereka punya konsep bahwa penebusan dosa itu untuk dapat mencintai Tuhan, sama seperti kita. Lalu untuk apa kita harus menerima atau bergabung dengan kelompok mereka, toh kita di sini diajarkan bagaimana memuja Sri Bhagavan dan mencintai-Nya dengan jauh lebih baik dan sempurna. Apabila ada kelompok yang mengatakan bahwa dosa atau karma tidak dapat ditebus, dihapus, atau paling tidak dialihkan, lalu untuk apa kita mengikuti ajaran yang tidak berguna seperti itu? Untuk apa kita membuang-buang waktu hanya untuk sadar bahwa karma adalah segalanya dan tidak ada cara bebas darinya? Bila kelompok lain lagi hanya bisa menawarkan pembebasan, maka untuk apa kita berbicara tentang Tuhan. Untuk apa kita harus melaksanakan bhakti, mengembangkan cinta kepada-Nya, toh pada akhirnya kita mencapai pembebasan menyatu dengan-Nya? Ketahuilah dengan pasti bahwa semua pendapat lain ini adalah tidak berguna, khayal, tidak didukung sastra, dan tidak memiliki kesempurnaan yang lengkap.

Adakah Penebusan Dosa dalam Hindu? (1)

Seorang Mumuksu atau jiva yang berkehendak mencapai kesempurnaan rohani dalam kedudukan sejatinya yang bebas dari samsara sebenarnya tidak saja memperhatikan apa yang disebut Paapa yang biasanya diterjemahkan sebagai reaksi dosa, tetapi juga apa yang kita sebut karma – phala, aksi – reaksi, perbuatan dan hasilnya. Dosa sebenarnya adalah hasil dari unskillful acts, tindakan atau karma yang dilakukan tidak selaras dengan hukum semesta yang dapat mengakibatkan timbulnya dukacita dan penderitaan fisik sebagai buahnya. Dukacita dan penderitaan ini juga kita sebut klesha. Klesha atau noda dukacita berasal dari tiga jenis yaitu avidya (kegelapan batin), paapa-bija (benih reaksi dosa), dan paapa (reaksi dosa). Avidya merupakan sumber dari perbuatan berdosa atau disebut juga perbuatan yang tidak memberikan kemujuran (asubha-karma). Dari asubha-karma muncullah paapa-bija, dosa yang belum menampakkan efeknya, dan akhirnya paapa, reaksi dosa yang berupa duhkha, dukacita, kemalangan, penderitaan, dan hal-hal tidak mujur lainnya. Semua jenis dosa ini menimbulkan pula apa yang kita sebut duskriti, ketidakbajikan. Jadi di sini perlu kita ingat bahwa klesha (avidya, paapa-bija, paapa) adalah penyebab dari duhkha.
Selanjutnya klesha ini kita pahami dari satu sisi lainnya, yaitu berkenaan dengan menempuh jalan bhakti. Hal-hal yang tidak diinginkan dalam bhakti, yang dapat menimbulkan gangguan dalam tercapainya kesempurnaan bhakti, disebut anartha. Klesha ini menimbulkan anartha yang berasal dari duskriti (ketidakbajikan atau kemalangan) yang kita kenal sebagai duskrityuttha-anartha. Anartha ini seperti juga anartha yang lainnya menghambat kemajuan bhakti, dengan demikian juga menghambat jiva dalam mewujudkan pelayanan cintakasihnya yang murni kepada Tuhan Yang Maha Esa Sri Bhagavan।
Anartha juga bisa berasal dari buah kebajikan atau sukriti, disebut sukrityuttha-anartha. Sukriti berasal dari perbuatan yang berkebajikan dalam pengaruh tiga sifat alam atau subha karma, sehingga disebut karma-unmukhi-sukriti. Bisa juga dari mengembangkan pengetahuan (jnana) dan ketidakterikatan (vairagya) secara terpisah dari bhakti, yang disebut juga jnana-unmukhi-sukriti. Jadi baik duskriti maupun sukriti yang bersifat tidak sepenuhnya transendental dalam bhakti akan dapat menimbulkan anartha bagi pertumbuhan bhakti itu sendiri. Kedua jenis anartha ini, duskriti dan sukriti, sama-sama berasal dari karma, yang bersifat subha maupun asubha.
Sekarang kita bertanya apakah mungkin karma ini dihapuskan? Sangat mungkin dan harus. Kalau tidak bagaimana kita menyingkirkan anartha? Apabila segala sesuatunya berjalan menurut hukum sebab-akibat yang disebut karma ini, lalu dimana peran Tuhan? Beliau adalah karma-phala-data, yang melalui berbagai shakti-Nya menganugerahkan hasil dari karma ini, baik berupa dukacita maupun sukacita. Jadi hanya Beliau yang memiliki kuasa mengubah karma seseorang. Sri Bhagavan sungguh-sungguh dapat membatalkan semua jenis karma ini, kalau tidak Beliau sama sekali tidak pantas menjadi Tuhan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh Tuhan?

Selasa, 14 April 2009

गौडीय Goudiya Vaishnava Sampradaya (4)

Srila Laksmipati Tirtha dinyatakan sebagai salah satu murid dari Srila Vyasaraja Tirtha, sehingga beliau termasuk dalam Vyasaraja Math. Tampaknya Srila Laksmipati Tirtha kemudian membawa ajaran ini dan pewarisan silsilah perguruan ke India Utara. Vaishnava yang agung Srila Madhavendra Puri Goswami menjadi murid dari Sri Laksmipati Tirtha. Srila Madhavendra Puri adalah perintis dari Viraha Bhajan, pemujaan dalam kerinduan yang menjadi ciri khas dari Goudiya Vaishnava saat ini. Beliau adalah peletak benih yang kemudian akan tumbuh, berbunga dan berbuah pada masa Tuhan Sri Caitanya. Beliau adalah guru dari Advaita Acharya, Nityananda Prabhu dan Isvara Puri Goswami. Srila Isvara Puri Goswami melayani dan mendampingi gurunya sampai saat-saat terakhir lila beliau di bumi. Sebagai hasil dari pengabdian sucinya kepada Sri Guru, Isvara Puri memperoleh Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu sebagai muridnya.


Madhavendra Puri mendapatkan darshana Sri Gopaladeva, Tuhan sebagai Sang Anak Gembala

Tuhan Caitanya adalah yang dipertuan oleh semua Goudiya Vaishnava, yang merupakan cabang dari Brahma-Madhva Sampradaya. Tuhan Sri Caitanya menjelaskan seluruh filsafat Goudiya kepada enam Goswami dari Vrndavana. Srila Sanatana Goswami dikenal sebagai Sambandha Tattva Acharya (Acharya atau Guru Besar ilmu mengenai hubungan roh dengan Tuhan). Srila Rupa Goswami sebagai Abhideya Tattva Acharya (Acharya dalam tindakan yang dilakukan dalam hubungan antara roh dengan Tuhan) dan Srila Raghunatha dasa Goswami sebagai Prayojana Tattva Acharya (Acharya dalam pengetahuan tentang tujuan tertinggi). Para Goswami lainnya yaitu, Srila Gopala Bhatta Goswami, Srila Raghunatha Bhatta Goswami, dan Srila Jiva Goswami juga merupakan murid langsung dari Tuhan Caitanyadeva, mereka juga dikuasakan untuk mengajarkan berbagai pokok pengetahuan yang sangat luas, mulia dan mendalam dari garis perguruan ini. Parampara Goudiya khususnya dilanjutkan oleh Srila Rupa Goswami Prabhupada, sebagai Acharya kedua dan peletak dasar utama garis perguruan Goudiya. Oleh pengaruh beliau yang begitu besar, beliau dianggap teladan bagi para Acharya selanjutnya. Dan semua Acharya berikutnya disebut rupanuga (para pengikut Sri Rupa Goswami).
Acharya ketiga adalah Srila Raghunatha dasa Goswami. Beliau menganggap Sri Rupa dan Sanatana sebagai siksa gurunya, yaitu guru yang memberikan ajaran kepadanya. Acharya keempat adalah Srila Jiva Goswamipada, beliau adalah otoritas utama Goudiya setelah Sri Caitanya dan para Goswami lainnya kembali ke dunia rohani. Srila Jiva Goswami adalah pengajar yang paling sistematis dan beliaulah yang menata persatuan dalam garis perguruan Sri Caitanya. Acharya ke lima adalah Srila Krishna dasa Kaviraja Goswami, murid dari Srila Raghunatha dasa Goswami. Kaviraja Goswa-mi menganggap Sri Jiva Goswami sebagai siksa-gurunya. Setelah Sri Jiva berpulang maka Srila Kaviraja Goswami menggantikannya sebagai Acharya.
Srila Krishna dasa Kaviraja Goswami memiliki sahabat karib yang bernama Srila Lokanatha Goswami, murid dari Sri Gadadhara Pandita. Satu-satunya murid Sri Lokanatha adalah Srila Narottama dasa Thakur. Srila Narottama dasa melayani gurudevanya dan sahabat gurudevanya. Setelah Kaviraja Goswami berpulang maka Srila Narottama dasa Thakura menjadi Acharya ke enam. Beliau dikatakan mewarisi Krishna-prema dari Mahaprabhu Sri Caitanyadeva, dan adalah penerus garis perguruan yang diramalkan oleh Mahaprabhu Sendiri. Melalui murid utama beliau yaitu Srila Ganganarayana Cakravarthi, ajaran Mahaprabhu tersebar sampai Manipura dan daerah Assam. Mereka kemudian menjadi Manipuri Goudiya Vaishnava.
Murid Srila Narottama berikutnya adalah Sriyuta Krishna charana Cakravarthi dan murid beliau adalah Srila Radha Ramana Cakravarthi. Murid dari Srila Radha Ramana Cakra varthi adalah Srila Visvanatha Cakravarthipada Mahamaho-padhyaya. Srila Cakravarthipada meneruskan ajaran Srila Narottama dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mem-buat Goudiya Parampara disegani lagi. Oleh karena itu Srila Visvanatha Cakravarthipada diangkat sebagai Acharya ke tujuh setelah Tuhan Caitanya. Murid utama Srila Cakravarthi pada adalah Srila Baladeva Vidyabhusana, termashyur sebagai Goudiya-vedanta-acharya, penyusun ulasan Vedanta menurut garis perguruan Goudiya yang disebut Sri Govinda-bhasya. Beliau adalah Acharya ke delapan. Murid beliau adalah Uddhava dasa Babaji. Murid Uddhava Baba adalah Srila Madhusudhana dasa Babaji, yang merupakan guru dari Srila Jagannatha dasa Babaji. Srila Jagannatha dasa Babaji adalah pemimpin seluruh masyarakat Vaishnava, termashyur sebagai Vaishnava Sarvabhauma. Beliau adalah Acharya ke sembilan.

Srila Saccidananda Bhaktivinoda Thakura dikenal sebagai saptama Goswami (Goswami ke tujuh). Beliaulah yang pertama-tama memiliki gagasan untuk membanjiri seluruh dunia dengan karunia Mahaprabhu. Srila Jagannatha dasa Babaji adalah siksa guru utama dari Srila Bhaktivinoda. Maka Srila Bhaktivinoda Thakur adalah penerusnya sebagai Acharya ke sepuluh. Srila Gaura Kishora dasa Babaji adalah murid dari murid Srila Jagannatha dasa Babaji yang bernama Sri Bhagavata dasa Babaji. Beliau kemudian menganggap Srila Bhaktivinoda sebagai siksa-gurunya. Jadi beliau adalah Acharya yang ke sebelas.



Babaji Maharaja hanya memiliki satu orang murid. Beliau adalah cahaya Sri Vishnu Sendiri, Saktyavesha Avatara bernama Srila Bhaktisiddhanta Saraswati Goswami Maharaja Prabhupada. Srila Prabhupada Sarasvati Thakura mendirikan Sri Goudiya Math dengan enampuluh empat cabang di seluruh India.







Murid kesayangan beliau adalah Srila Abhaya Charanaravinda Bhaktivedanta Swami Srila Prabhupada pendiri dan Acharya International Society for Krishna Consciousness (ISKCON), yang telah menyebarkan amanat ajaran agung Goudiya dan nama suci Krishna ke seluruh dunia. Selain itu juga berkembang berbagai cabang Sri Goudiya Math di bawah pimpinan para Acharya yang menurun dari Srila Prabhupada Sarasvati Thakura. Setiap cabang Sri Goudiya Math dan ISKCON yang berasal dari Srila Sarasvati Thakur dan secara khusus merupakan kelanjutan dari Bhaktivinoda-dhara atau misi pengajaran dan penerus ajaran Srila Saccidananda Bhaktivinoda Thakura, adalah termasuk dalam Rupanuga-guru-varga. Di samping ini kita mengenal garis perguruan tradisional para Goswami yang berasal dari Advaita-dhara dan Nityananda-dhara, yang berasal dari keturunan maupun murid yang diinisiasi oleh Sri Advaita Acharya dan Sri Nityananda Prabhu. Mereka termasuk para Goudiya Vaishnava, namun tidak semua menerima Rupa-anugatya, sehingga kita tidak menggolongkan mereka sebagai Rupanuga-guru-varga. Garis Goudiya lainnya juga ada yang disebut Syamanandi Goudiya, berasal dari silsilah rohani Srila Syamananda Prabhu atau Duhkhi Krishnadasa, murid dari Srila Hridaya-caitanya Goswami. Beliau menerima Rupa-anugatya dan ajaran lebih lanjut (siksa) di bawah bimbingan Srila Jiva Goswamipada. Namun dari beliau kemudian berkembang garis perguruan yang disebut Syamanandi, dengan ciri khasnya tersendiri, berpengaruh besar di daerah Orissa. Sri Goudiya Vaishnava Sampradaya dengan berbagai cabangnya ini yang berlindung kepada Sriman Mahaprabhu Sri Caitanyadeva adalah merupakan cabang dari Sri Brahma-Madhva Sampradaya yang tidak terpisahkan. Ini merupakan garis Tattvavada yang sama.

Senin, 13 April 2009

गौडीय Goudiya Vaishnava Sampradaya (3)

Vyasaraja Math
Murid Sri Madhva yang paling terkemuka adalah Srila Padmanabha Tirtha, Srila Narahari Tirtha, Srila Madhava Tirtha dan Srila Aksobhya Tirtha. Mereka adalah para Acharya penerus Madhva yang secara bergantian menduduki Sarvajna-pitha. Murid Aksobhya adalah Sripad Jaya Tirtha, yang dikenal sebagai Tikarajacharya, dan setelah beliau Sripad Vidyadhiraja Tirtha menjadi Acharya di Sarvajna-pitha. Setelah Acharya Vidyadhiraja terbentuk cabang. Srila Kavindra Tirtha memimpin cabang pertama dan seperti disebutkan sebelumnya, menjadi sumber dari Uttaradi Math serta Raghavendra Svami Math di Mantralaya. Cabang kedua dipimpin Acharya Srila Rajendra Tirtha. Kemudian oleh Srila Vijayadhvaja Tirtha, Srila Purusottama Tirtha, Srila Subrahmanya Tirtha, dan akhirnya Srila Vyasaraya Tirtha. Srila Vyasaraya atau Vyasaraja merupakan tokoh terbesar ketiga dalam Sampradaya Brahma, setelah Srila Tikarajacharya dan Srimadacharya Madhva.
Srila Vyasaraja merupakan guru dari Srila Purandara dasa. Beliau adalah yang berjasa mempopulerkan ajaran Madhva dalam bahasa Kannada, bahasa rakyat Karnataka. Inilah awal dari gerakan devosional paling revolusioner di daerah Karnataka yang dikenal sebagai gerakan Haridasa atau Dasakuta. Mereka menggubah berbagai lagu pujian dan menyampaikan ajaran bukan dalam bahasa Sanskrit sebagaimana layaknya golongan terpelajar. Namun mereka menjadikannya milik rakyat sepenuhnya dengan gerakan sankirtana berbahasa Kannada yang disebut Kannada-devaranama. Mereka juga membangkitkan kesusastraan berbahasa Kannada, Kannada Sahitya, yang secara khusus dikembangkan oleh para orang suci Haridasa, sehingga juga disebut Dasa Sahitya. Srila Vyasaraja sendiri dapat disebut sebagai ayah dari gerakan Haridasa ini. Haridasa juga merupakan bagian tak terpisahkan dari Sri Brahma-Madhva Sampradaya.

Srimad Vyasaraja Tirtha, matahari ketiga dalam Sampradaya. Beliau adalah guru dari Sri Laksmipati Tirtha yang menghubungkan Goudiya Vaishnava dengan parampara Madhva
















Sri Purandaradasa, penggagas gerakan Haridasa sekaligus salah satu bapak dari musik Carnatic (seni musik klasik India Selatan)

गौडीय Goudiya Vaishnava Sampradaya (2)

Math-math Dalam Madhva Parampara
Srimadacharya Madhva memiliki ratusan murid, namun pada akhir masa hidupnya di bumi, beliau memilih beberapa yang paling dekat sebagai penerusnya. Mereka ini menjadi para Acharya yang pertama dari Asta-math atau delapan biara utama yang masih ada sampai sekarang di Udupi, distrik Kannada Selatan, negara bagian Karnataka, India. Mereka meneruskan Brahma-Madhva Sampradaya atau yang juga dikenal sebagai Tattvavada Sampradaya.
Pembentukan delapan biara atau Astamath ini dilakukan oleh Srimadacharya dengan memanggil delapan murid utamanya secara berpasang-pasangan pada saat Caturmasya di Kanya Tirtha. Beliau mendudukkan mereka berdelapan di bawah sebatang pohon Pippala dan memanggilnya secara berpasangan, secara terpisah memberikan mereka mantra, metode puja, dan ritual yang diperuntukkan bagi bentuk-bentuk tertentu dari Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Mereka juga diserahi tanggung jawab untuk melanjutkan dan melestarikan ajaran-ajaran Srimadacharya sepeninggal diri beliau. Para Sannyasi yang memegang tahta suci delapan Math dari Tattvavada ini melaksanakan bhajana, pemujaannya kepada Sri Nrtya Gopala (Udupi Krishna), dalam perasaan cinta para Gopika, di bawah bimbingan delapan Nayika Gopi di Vrajabhumi. Sri Padmanabhachari, penulis dari biografi Sri Madhvacharya dalam bahasa Inggris, menyatakan, “Para pe-megang tahta Sri Krishna (di Udupi) secara bergiliran, adalah para Gopi di Vrindavan, yang digerakkan oleh perasaan cintanya kepada Sri Krishna dengan keluhuran yang tiada terlukiskan, kini menjelma ke dunia demi melaksanakan hak istimewanya memuja Beliau.” Mereka disebut Paryaya-svami.
Pasangan pertama yang dipanggil oleh Srimadacharya adalah Srila Hrisikesha Tirtha yang mendirikan Palimar Math dan Srila Narasingha Tirtha yang mendirikan Adamaru Math. Pasangan kedua adalah Srila Janardana Tirtha, mendirikan Krishnapur Math, dan Srila Upendra Tirtha, mendirikan Puttige Math. Pasangan ke tiga adalah Srila Vamana Tirtha, mendirikan Shiruru Math, dan Srila Vishnu Tirtha yang adalah saudara kandung Srimadacharya sendiri sebagai pendiri Sode Math. Pasangan terakhir adalah Sri Rama Tirtha, mendirikan Kaniyuru Math, dan Srila Adhoksaja Tirtha, yang menjadi Acharya pertama Pejawar Math. Pada awalnya mereka secara bergiliran setiap dua bulan sekali menjadi penanggung jawab pelaksanaan puja harian di Udupi Sri Krishna Math, pusat dari biara utama yang didirikan Srimadacharya, dan merupakan kedudukan Sarvajna-pitha, Tahta Yang Mahamengetahui.
Selain Astamath terdapat delapan Math atau biara lagi di daerah Karnataka. Mereka adalah Uttaradi Math, yang merunut silsilah pemegang tahta sucinya sampai pada Srila Padma-nabha Tirtha (murid utama Srimadacharya yang menduduki Sarvajna-pitha setelah beliau), lalu Sosale Math yang berasal dari Srila Narahari Tirtha, Kundapura Math dari Srila Madhava Tirtha, dan Raghavendra Math dari Srila Aksobhya Tirtha. Sosale dan Kundapura Math berada di bawah pengelo-laan Sri Vyasaraja Math. Lalu ada cabang lain yang disebut Mulabagilu Math, berasal dari Srila Padmanabha Tirtha juga, yang menjadi kedudukan tahta suci Srila Sripadaraja Tirtha. Berikutnya ada Majjigehali Math yang juga dirintis oleh Srila Madhava Tirtha, dan Kudli serta Balegaru (Banagara) Math yang dirintis oleh Srila Aksobhya Tirtha.
Selain enambelas Math ini masih ada empat lagi yang merunut garis perguruannya ke dalam Madhva Sampradaya yaitu Subrahmanya Math, Bhandarkeri Math, Bhimannakatte Math, dan Citrapura Math. Subrahmanya Math berasal dari garis Srila Vishnu Tirtha. Lalu garis perguruan yang berasal dari Acyutapreksacharya, yaitu sannyasa-guru dari Srimad acharya, dilanjutkan oleh murid beliau yang kemudian menerima Srila Purusottama Tirtha sebagai gurunya. Sehingga garis perguruan ini juga tergabung dalam garis perguruan Madhva. Dari garis ini terbentuk dua Math, yaitu Bhandarkeri dan Bhimannakatte. Bhandarkeri Math sekarang di bawah pengelolaan Palimar Udupi Math. Citrapura Math merupakan cabang dari Pejawar Math yang didirikan oleh Srila Adhoksaja Tirtha.
Dua Math lagi didirikan dalam tradisi Madhva yaitu Gokarna-Partagali-Jivottama Math, gabungan tiga biara yang didirikan Srila Narayana Tirtha, yang menerima sannyasa dari Srila Ramacandra Tirtha pemegang tahta suci Palimar Math yang ke sepuluh, dan Kashi Math di Kanyakumari. Sedangkan di utara terbentuklah Brahma-Madhva-Goudiya Math yang merunut silsilah garis perguruannya dari Sri Vyasaraja Math.

Srimad Madhvacharya Bhagavatapada memuja Udupi Krishna di Vedanta-pitha

















Srimad Jayatirtha Tikarajacharya, matahari kedua setelah Madhva sampradaya














Srimad Sripadaraja Tirtha, salah satu Acharya yang paling terkemuka dalam Madhva-sampradaya. Beliau dikenal sebagai kakek gerakan Haridasa

Minggu, 12 April 2009

गौडीय Goudiya Vaishnava Sampradaya (1)

Brahma Caturmukha, permulaan dari Sampradaya kita

Sebagian besar orang menganggap bahwa para Goudiya Vaishnava menjadi bagian dari Brahma-Madhva Sampradaya hanya sebatas hubungan dalam silsilah garis perguruan yang dapat ditelusuri sampai Srila Laksmipati Tirtha – Srila Madhavendra Puri Gosvamipada. Kebesaran garis perguruan yang luar biasa ini terutama di Indonesia mungkin hanya diketahui sebatas daftar para guru dalam parampara (silsilah garis perguruan) sebagaimana dimuat oleh Srila A.C. Bhaktivedanta Svami Prabhupada dalam Bhagavad-gita Menurut Aslinya.
Brahma Sampradaya sesuai dengan namanya adalah berawal dari Brahma, makhluk hidup pertama di alam semesta ini. Siapakah Brahmaji ini? Dalam Brhad-bhagavata-amrita 1.2.45-46 dikisahkan bagaimana Sri Narada menemui Ayahandanya, yaitu Brahma, yang dilayani dengan penuh kemewahan yang menakjubkan di alam tertinggi dari seluruh manifestasi kosmis ini yang disebut Satyaloka. Sri Narada bersujud kepadanya dan berkata, “Paduka adalah tempat tercurahnya segala karunia Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa Bhagavan Sri Krishna. Paduka adalah yang dipertuan oleh semua Prajapati dan nenek moyang dari semua makhluk. Paduka sendiri menciptakan, memelihara dan meleburkan keempatbelas sistem dunia. Paduka disebut Svayambhu, karena Paduka lahir sendiri sebagai penguasa seluruh alam semesta. Dari keempat bibir padmamu, Veda, Purana, dan semua sastra-sastra suci lainnya, tercipta sebagai penuntun yang menunjukkan tujuan hidup. Mereka kemudian mewujudkan diri dalam berbagai pribadi yang berkumpul di dalam ruang sidangmu. Tinggal di alammu adalah para makhluk suci, yang terbebas sepenuhnya dari keakuan palsu dan kebanggaan. Bersih dari segala noda kesalahan. Setelah menjalani seratus kehidupan dengan melaksanakan svadharma tanpa ada celanya. Di seluruh alam semesta ini tidak ada alam yang lebih tinggi dari kediaman Paduka ini, bahkan Vaikuntha dari Sriman Narayana tampaknya juga berada di sini. Di Satyaloka ini Bhagavan Padmanabha bersemayam dalam wujud Mahapurusha-Nya, memakan secara langsung segala persembahan korban suci, dan memberikan segala pahala kepada para penyembah langsung dari tangan-Nya. Ketika pada awal Paduka muncul, Paduka mencari-cari Beliau yang menjadi sumber diri Paduka, namun setelah begitu lama Paduka belum juga memperoleh darshan-Nya. Kemudian dengan kekuatan pertapaan Paduka, akhirnya Beliau hadir di dalam hati Paduka. Karena itu sungguhlah Paduka dikasihi oleh Tuhan Sri Krishna. Bahkan sesungguhnya Paduka tidak saja dikasihi oleh Sri Krishna, Paduka tiada berbeda dengan Beliau, yang telah menerima berbagai Rupa demi melaksanakan lila semata.” Seperti inilah Sri Narada memuliakan Brahma, sebagaimana pemujian yang telah didengarnya dari Deva Indra sendiri. Tetapi ketika Sri Brahmaji mendengar kemuliaannya dipuji-puji, beliau menjadi gelisah dan menutu-pi kedelapan telinganya. Beliau berkata berulang-ulang dengan keempat bibirnya, “Hamba hanyalah pelayan Tuhan.”
Pada bagian lain dari Brhad-bhagavatamrita (2.2.125-128) ada dikisahkan bagaimana Empat Kumara menggambarkan Brahma kepada Gopa-kumara. “Beliau adalah ayah bagi semua Prajapati. Beliaulah pencipta seluruh alam semesta dan juga adalah ayah kami. Beliau lahir sendiri dan dengan penuh kejayaan menduduki jabatan yang paling tinggi di alam ini. Beliau menjaga, melindungi, dan membimbing seluruh alam semesta. Beliau tinggal di Satyaloka, yang berada lebih luhur dari segala sistem dunia, yang hanya dicapai oleh mereka yang melaksanakan dharmanya tanpa cela selama seratus kelahiran. Sri Vaikunthaloka juga ada di sana, tempat Sri Jagadisvara Bhagavan hadir secara kekal sebagai Pribadi Tertinggi yang memiliki ribuan kepala. Kami telah mendengar bahwa Brahmaji adalah putra dari Sang Pribadi Tertinggi itu, karena beliau muncul dari pusar padma-Nya. Menurut kami bahkan beliau tiada berbeda dari Mahapurusha Sendiri.” Kemudian pada sloka 133-134 dijelaskan bahwa Sri Bhagavan Sendiri mengajar Sri Brahma segala intisari jalan rahasia Bhakti. Seperti inilah Brahma hadir di kediamannya yang luhur itu. Beliau senantiasa mendengarkan ajaran-ajaran langsung dari Sri Bhagavan dengan penuh sukacita, sedangkan beliau sendiri juga selalu memuliakan ajaran-ajaran itu dan mempersembahkan pranamanya berulang-ulang kepada Tuhan. Jadi kita mengenal Sri Brahmaji sebagai Adi-sishya, murid pertama dari Tuhan Sendiri. Pribadi yang paling dimuliakan di seluruh ciptaan ini. Inilah Brahma yang menjadi guru pertama dalam Sampradaya.
Dalam kitab Mani-manjari, Srila Narayana Panditacharya menjelaskan bahwa Brahma menerima inisiasi mantra dari Tuhan Sendiri sebagai Hamsanamaka Paramatma. Hamsa namaka Paramatma ini ada dijelaskan dalam Laghu-bhagavatamrita oleh Sri Rupa Goswamipada, "tubhyam ca narada bhrisam bhagavan vivriddhabhavena sadhi paritusta uvaca yogam jnanam ca bhagavatam atma-satattva-dipam yad vasudeva-sarana vidur anjasaiva, Bhagavan Sri Hamsa dijelaskan dalam Srimad Bhagavatam 2.7.19 sebagai berikut, Wahai Narada, engkau telah diajari mengenai ilmu pengetahuan tentang Tuhan dan pelayanan cinta kasih rohani kepada-Nya oleh Sri Hamsa, yang adalah Inkarnasi dari Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa Sendiri. Beliau begitu puas dengan dirimu, karena cinta bhaktimu kepada-Nya yang amat sangat besar. Beliau juga telah menjelaskan dengan sangat terperinci kepadamu, rahasia pengetahuan pengabdian suci yang selengkap-lengkapnya, yang hanya dapat dipahami oleh para jiva yang telah menyerahkan dirinya kepada Sri Vasudeva, Tuhan Tertinggi. Mengenai Inkarnasi-Nya sebagai Sri Hamsa, Tuhan Sendiri bersabda, “sakto 'khila-viveko 'ham ksira-nira-vibhaga-vat iti vyanjann ayam rajahamso vyaktim jalad gatah, Sesosok Angsa Mulia muncul dari dalam air. Sebagaimana seekor angsa yang dapat memisahkan susu yang tercampur dengan air, maka Aku mahamengetahui sifat segala sesuatu.”
Kemudian Sri Brahma memberikan inisiasi kembali kepada Caturkumara. Dari Caturkumara dilanjutkan kepada Durvasa Maharishi yang disebutkan dalam Sri Gopala-tapaniya Upanisad. Durvasa Maharishi memberikan mantra kepada Srila Jnananidhi Tirtha, kemudian Srila Garudavahana Tirtha, selanjutnya secara turun-temurun diwariskan kepada Srila Kaivalya Tirtha, Srila Jnanesha Tirtha, Srila Para Tirtha, Srila Satyaprajna Tirtha, dan Srila Prajna Tirtha. Setelah beberapa generasi guru dalam garis Srila Prajna Tirtha, maka sampailah kepada Srila Acyutapreksha Tirtha, diksa-guru sekaligus sannyasa-guru dari Srila Purnaprajna Ananda Tirtha atau Srila Madhvacharya Bhagavatapada.
Sedangkan dalam Gaura-ganoddesha-dipika oleh Srila Kavikarnapura, Prameya Ratnavali oleh Srila Baladeva Vidyabhusana, dan Guru-parampara oleh Srila Prabhupada Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura dijelaskan bahwa Brahma mewariskan pengetahuan rohani kepada Sri Narada, Sri Narada kepada Bhagavan Vedavyasa, lalu kepada Srila Madhvacharya. Kita memahami bahwa garis perguruan dalam Mani-manjari merupakan pewarisan mantra, sedangkan garis perguruan berikutnya adalah berdasarkan pewarisan Vedanta dan Tattva-siddhanta.

Sri Brahma menerima Omkara, Gopala-mantra, Gayatri, dan Catusloki Bhagavata dari Parambrahma Bhagavan Sri Krishna. Dari sinilah kemudian muncul Veda, yang memancar dari keempat bibir padma Brahma, sehingga disebut juga Nigama atau Amnaya. Parambrahma sebagai Hamsha-paramatma kemudian bersemayam di hati Brahma. Lalu Parambrahma sebagai Sri Sri Laksmi Hayavadana mengungkapkan pengetahuan Agamasastram atau Tantrasastram ketika Madhu Kaitabha mencuri Veda dari Mana (pikiran) Brahma. Nigama dan Agama menjadi penuntun utama bagi pengikut garis perguruan Brahma.
Narada Munindra, Putra Brahma, Acharya selanjutnya dalam garis parampara
Bhagavan Vedavyasa, penyusun Veda-Vedanta dan semua sastra pelengkapnya.

Plurk

Click untuk perbaiki dunia

Stop Smoking